Kamis, 29 Desember 2011

Perhiasan Terbaik Dunia

“Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim no. 1467)

Aku berkaca pada diriku, masih sangat jauh untuk menjadi seperti itu, apalagi dua minggu ini aku telah banyak menghabiskan waktu hanya untuk permainan dan senda gurau. Rabbi, inni dzalamtu nafsi faghfirli. Sedih rasanya ketika kualitas ibadahku semakin hari semakin berkurang. Evaluasi pasca Iedul Fithri 1432 H; Berapa kali aku pergi ke tempat karaoke? Berapa kali aku nonton film di bioskop? Berapa sering aku menyanyikan lagu cinta? Berapa sering aku mendengarkan musik? Berapa kali aku pergi ke Almanar? Berapa kali aku pergi ke Masjid? Berapa sering aku melantunkan ayat suci? Berapa sering aku mendengarkan muratal?

Aku butuh teman seperti Ukhti Ririn yang selalu mengingatkanku, aku butuh teman yang seiring sejalan berada dalam koridor yang benar. Rabbi, aku butuh teman yang akan memegang bila perlu menarik tanganku ketika aku mulai berbelok dari jalan yang lurus. Bukan justeru membiarkan atau bahkan mendorong aku ketika aku mulai menyimpang dari jalanMu. Bukan teman yang menjadi kayu bakar ketika aku bermain api. Aku tidak ingin seperti dulu lagi!!!

Sepertinya dan memang harus aku berbenah diri untuk menjadi lebih baik, tidak ingin rasanya terus tenggelam dalam kesenangan dunia, aku harus berusaha dan terus belajar untuk menjadi perhiasan terbaik dunia. Mulai dari sekarang!!!

http://spiritislam.net/index.php/2012/03/30/perhiasan-terbaik-dunia-untuk-generasi-terbaik-2/

Rabu, 21 Desember 2011

Persimpangan Masa Silam

Dalam benakku
Lama tertanam
Sejuta bayangan dirimu...

Sebaiknya aku memang harus menyelesaikan semua ini, cukup sudah aku tertahan dalam persimpangan masa silam. Aku harus lebih berusaha untuk menghapus bayangan itu, meskipun sulit dan sungguh teramat sulit. Otakku sedang bekerja lebih extra untuk menentukan siapa nama orang yang akan bersanding dengan namaku di kartu undangan. Sekarang kita kesampingan masalah perasaanku pada seseorang yang membuat aku tertahan di persimpangan, karena aku harus segera menentukan jalan mana yang akan aku tempuh. Dan aku sangat membutuhkan Allah untuk menentukan pilihan ini.

Hari ini badan terasa remuk redam setelah dua hari kemarin berturut-turut pulang larut malam hanya untuk permainan dan senda gurau, lebih tepatnya mencoba mencari rasa meskipun ternyata aku tidak menemukannya, kemudian semalam aku ke Cibubur untuk fitting baju acara pernikahan temanku. Lelah, semoga masih ada kekuatan untuk nanti malam belajar di Almanar, semoga!

Apakah aku masih bisa jatuh cinta pada orang lain? Itulah yang sedang aku cari. Hampir tiga tahun aku mengenalnya, secara face cukup dan secara finansial pun seperti itu. Tapi entah mengapa hatiku masih saja beku, aku mencoba memaklumi tentang masa lalunya yang akrab dengan dunia malam, setiap manusia berhak berubah apalagi ke arah yang lebih baik.

Aku salut atas kejujurannya untuk bercerita tentang kehidupannya di masa lalu yang sering keluar malam untuk menghabiskan waktu di dunia gemerlap. Aku jadi teringat tentang cerita temanku, dia seorang akhwat dan ketika itu terlibat perbincangan dengan seorang ikhwan, temanku berkata: "Aku berharap mempunyai seorang suami yang bisa menjadi imam dan membimbing hidupku" kemudian ikhwan itu berkata "Seandainya Allah memberikan kamu pasangan hidup yang justeru sebaliknya, kamu diposisikan untuk membimbingnya". Mungkin dia bukan lelaki yang akan memberi jawaban dari semua pertanyaanku mengenai ilmu agama, atau bahkan aku yang akan lebih banyak mentransfer ilmu agama yang sudah aku tahu, meskipun harapanku memiliki suami yang bisa menjadi tempat bertanya dan berbagi ilmu agama tapi jika kehendak Allah tidak sama dengan harapanku berarti itulah yang terbaik untukku.

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 216).

Aku mencoba memahami semua kejujuran yang ia katakan, aku berusaha memberikan respon yang bijak, aku tidak ingin secara sengaja menyakiti perasaannya atas komentarku. Begitu juga jika pada akhirnya aku tidak menjatuhkan pilihan padanya, dan semoga dia mendapatkan pasangan hidup yang sesuai dengan apa yang ia harapkan. Karena jika aku memutuskan untuk memilihnya, rintangan yang menghadang cukup besar, karena ternyata keluargaku kurang setuju jika aku menikah dengan orang yang mempunyai latar belakang suku yang sama dengan ayahku.

Ketika ia bercerita tentang kehidupannya yang kelam, namun kemudian sadar bahwa kehidupan seperti itu tidak bagus dan aku berkata: bersyukur kalau sadar kehidupan seperti itu tidak bagus. Kemudian mengenai ibadah shalat lima waktunya yang baru full semenjak lebaran kemarin, dan aku berkata: iya sebuah proses. Aku berusaha untuk berkomentar bijak, seperti ketika aku bercerita pada Ustadz Ahmad mengenai aku yang pernah terlibat hubungan kasih dengan seseorang, yang sebenarnya hubungan itu tidak ada dalam Islam dan kemudian Ustadz berkata: bersyukur Allah sudah mengingatkan anti.

Yang sedang berkecamuk di pikiranku saat ini adalah, apakah aku akan meneruskan cerita ini atau memotongnya saja seperti yang aku lakukan pada beberapa orang walaupun pada akhirnya mereka kecewa dan berkomentar yang cukup mengiris hati. Aku sebenarnya tidak ingin memberi harapan kosong pada orang yang tidak aku suka. Meskipun sepupuku pernah berkata: ayo Teh nyanyi lagu gantung, Teh Seli kan sering menggantung perasaan orang. Dengan simplenya aku berkata: sekuat-kuat mereka bertahan.

Sepulang dari kantor aku langsung memanfaatkan waktu untuk tidur sebelum berangkat ke Almanar, sejam kemudian aku bangun dan bersiap-siap berangkat ke Almanar meskipun masih dalam keadaan mengantuk tapi aku harus pergi. Setelah selesai belajar aku bergegas pulang, rasanya badan ini terasa lemas, sesampainya di kostan udara terasa panas dan kepalaku terasa sakit.

Kata temanku "Kenapa Sel, kayak yang capek banget"

"Sakit kepala" jawabku dan kemudian sepupuku memberi obat sakit kepala.

"Hang" mengantuk tapi cukup sulit mata ini dipejamkan, kasur sudah basah oleh keringat, badan terasa sakit dan pegal, efek dari pulang larut malam. Ya Allah, ampuni hambaMu yang telah lalai dan membuang waktu untuk kesenangan dunia. Rabbi, inni dzalamtu nafsi faghfirli.

Kamis, 01 Desember 2011

Unit Galau Darurat

"Mati rasa" sepertinya ada yang konslet di hatiku ini, setiap kali aku mencoba untuk membuka hati pada orang yang menyukaiku, selalu saja tidak menemukan magnet yang membuat aku untuk tertarik padanya, bahkan pada orang yang sekitar 3 tahun aku telah mengenalnya. Aku mencoba untuk mencari taste itu tapi usahaku belum berhasil, entah karena aku kurang berusaha untuk menelusuri celah agar aku menemukan rasa itu. Atau aku masih terjebak di Unit Galau Darurat karena hatiku masih menyimpan memori tentang seseorang yang membuat aku kesulitan untuk menghapusnya.

Sebenarnya usaha mereka sudah cukup untuk membuat hatiku tergugah, mulai dari perhatian bahkan ungkapan hati mereka yang mungkin tulus dan itu cukup untuk membuat hati berbunga, seharusnya! Tapi mengapa semua terasa datar saja? Tidak ada getaran yang mengalir di hatiku. Apa hatiku sudah benar-benar mati rasa? Lebih parahnya lagi, aku merasa lelah dengan semua perhatian atau ungkapan hati mereka, yang akhirnya aku memilih untuk mengabaikan itu semua. Berbeda dengan orang yang membuat aku lama berada di Unit Galau Darurat, itu karena aku telah menyukainya, cukup salut untuknya karena "Nobody ever made me feel this way". Jika aku bertemu dengannya, jantungku terasa berdegup lebih kencang, membuat aku salah tingkah, atau mungkin wajahku berubah jadi merah, aku jadi khawatir orang itu bisa mendengar degup jantungku.

So, what I must stick with him? Tapi aku mungkin tak akan mengungkapkan perasaanku padanya, cukup aku dan teman-teman terbaikku yang tahu tentang ini. Meskipun aku merasa lelah ketika dihadapkan pada suatu keadaan yang tidak seimbang antara akal sehat dan nurani. Lelah ketika harus berlaku normal meski semuanya menjadi abnormal. Lelah ketika mata menjadi buta akibat dari perasaan yang membius tanpa ampun. Lelah ketika imaginasi menjadi liar oleh khayalan yang terlalu tinggi. Lelah ketika pikiran menjadi galau oleh harapan yang tidak pasti. Lelah untuk mencari suatu alasan yang tepat untuk sekedar melempar sesimpul senyum atau sebuah sapaan "Apa kabar?". Lelah untuk secuil kesempatan akan sebuah moment kebersamaan. Lelah karena menahan keinginan untuk melihatnya. 

Dan sampai saat ini aku masih terdiam! Diam menunggu sang waktu memberi sebuah moment. Diam untuk mencatat segala yang terjadi. Diam untuk memberi kesempatan otak kembali dalam keadaan normal. Diam untuk mencari jalan keluar. Diam untuk berkaca pada diri sendiri dan bertanya "Apakah aku cukup pantas?". Diam untuk menimbang sebuah konsekuensi dari rasa yang harus dipendam. Diam dan dalam diam kadang semuanya tetap menjadi tak terarah. Dan dalam diam itu pula, aku menjadi gila karena sebuah rasa dan pesona tetap mengalir.

Sayangnya, dalam keheningan dan diam yang aku rasakan, lebih banyak rasa galau daripada sebuah usaha untuk mengembalikan pola pikir yang lebih logis. Galau ketika semua bahasa tubuh seperti digerakkan untuk bertindak bodoh. Apakah mencintai seseorang senantiasa membuat orang bodoh? Tentu tidak. Namun itu pula yang aku rasakan selama satu tahun lebih. Galau ketika mata terus meronta untuk sebuah sekelibat pandangan. Galau ketika mulut harus terkatup rapat meski sebuah kesempatan sedikit terbuka. Galau ketika mencintai menjadi sebuah pilihan yang menyakitkan. Galau ketika mencintai hanya akan menambah beban hidup. Galau ketika berpikir mungkin segalanya tidak akan  terjadi, tapi kemudian kembali berharap pada Yang Maha Berkehendak, Jika Dia menghendaki sesuatu, hanyalah berkata "Jadilah!" Maka jadilah.    

Dalam kelelahan, diam dan kegalauan yang aku rasakan selama ini, ada rasa syukur pada Sang Maha Rahim atas apa yang aku alami. Syukur ketika rasa pahit menjadi bagian dari mencintai seseorang. Syukur ketika berhasil memendam semua rasa untuk tetap berada pada zona diam. Syukur untuk sebuah pikiran abnormal namun tetap berusaha untuk bertingkah normal. Syukur ketika rasa galau merajalela tak terbendung. Syukur ketika rasa perih tak terhingga datang menyapa. Syukur karena tak ditemukannya sebuah nyali untuk mengatakan "Aku mencintaimu". Syukur ketika perasaan hancur lebur menjadi bagian dari mencintai. Syukur ketika harus menyembunyikan rasa sakit dan cemburu dalam sebaris ucapan "Aku tidak punya hak untuk cemburu".

Akhirnya bagiku, keputusan untuk mencintai melalui do'a menjadi pilihan yang paling pantas. Setidaknya, mencintai secara tulus melalui do'a mungkin akan menjadi lebih bermakna. Dalam do'a, akhirnya semua aku kembalikan kepada Yang Maha Mengabulkan. Bahwa mencintai seseorang itu butuh pengorbanan. Bahwa terkadang akal dan perasaan campur aduk tak tentu arah. Bahwa aku hanyalah manusia biasa. Bahwa aku tidak bisa berlaku pintar sepanjang waktu. Bahwa aku juga punya kebodohan yang kadang susah untuk diterima akal sehat. Bahwa dengan segala kekurangan yang ada, "Aku berani mencintai". Bahwa aku bersedia membayar harga dari mencintai seseorang. Bahwa aku bersedia menanggung rasa sakit yang luar biasa. Bahwa aku mampu untuk tetap hidup meski rasa perih terus menjalar. Bahwa "Aku belum mati rasa" karena aku masih bisa merasakan efek yang ditimbulkan oleh cinta.

Dan hari ini, dari semua pembelajaran yang telah aku terima, berkembang menjadi sebuah bentuk KEPASRAHAN. Sebuah zona yang terbentuk karena aku merasa tidak berdaya. Dimana aku merasa belum memiliki kemampuan untuk membuat segalanya menjadi mungkin. Mencintai dalam kepasrahan, meskipun masih berharap dan sangat sulit bagiku untuk tidak mengingatnya. Dan hingga hari ini, aku masih mencintainya. Aku sadar hal itu akan memberi rasa perih namun bagiku lebih susah untuk tidak mencintainya. Rabb, aku mencintainya namun jangan Engkau biarkan rasa cintaku padanya melebihi rasa cintaku padaMu, jika memang dia adalah jodohku maka halalkan cintaku, namun jika bukan karuniakan kepadaku kepasrahan atas kehendakMu bahwa Engkau telah menyiapkan seseorang yang terbaik untukku.

Rabu, 16 November 2011

Sabarlah Wahai Jiwa

Rona rembulan tersenyum simpul membawa damai pada gersangnya gurun-gurun jiwa, tikaman dingin semakin menusuk. Mataku menatap setiap sudut waktu yang berkelebat hitam. Aku masih harus melangkah menyusuri jalan ini, meskipun lelah hati menggapai bayang yang kian memudar, membawa diri tertatih pahami jiwa yang letih.  

Sesaat kemudian merinaikan air mata di kelamnya malam...

"Galau" bisikku pada malam menjelang shubuh, tengadahku kemudian pada semesta yang masih memperlihatkan warna kelamnya, warna yang tergelayut pada pekatnya malam. Kapan? Tanyaku ringkih pada selasar waktu, tidak ada reaksi. Terjebak dalam kebisuan dan aku kembali menatap semesta yang merajuk pada kaki langit.

Dengarlah hembusan angin yang merintih sekarat, menghapus setiap sketsa kepedihan meskipun tak semudah air meluruhkan tinta. Semua buat aku gamang menapaki hari yang makin garang, bayangan itu kembali mengukir perih, aku terlumat gurat penat. 

"Rabb, aku letih" tapi aku harus terus berjalan meskipun debu melukai mataku.  Aku tidak akan kalah dan tidak akan menyerah! Masih ada secercah harapan... Sabarlah wahai jiwa!

"Tuhan pasti kan menunjukkan kebesaran dan kuasanya, bagi hamba-Nya yang sabar dan tak kenal putus asa."

Kamis, 10 November 2011

Mengajak Dengan Bijak

"Tawaashau bil haq wa tawaashau bish-shabr"

Potongan ayat tersebut mulai eksis dalam kehidupanku sekitar tahun 2008, ketika aku berselisih paham dengan salah satu temanku, kemudian temanku yang lain menasehatiku dengan memberikan ayat tersebut. Beberapa bulan yang lalu ketika aku pulang ke Bandung, aku menemukan buku "Melukis Cinta" yang aku beli sekitar tahun 2007, sebelum aku berangkat ke Kota Tasikmalaya. Aku baca kembali buku yang isinya menceritakan para aktivis dakwah dalam meraih cinta sejatinya.

"Jika ada pesan yang ingin disampaikan, tunggulah sampai ada saat yang tepat untuk bicara. Jika ada nasihat yang ingin diutarakan, cermatilah kapan kebenaran itu sebaiknya diungkapkan. Ketika Allah menyuruh kita untuk saling menasehati dalam kebenaran, bersama itu pula Allah menyuruh kita saling menasehati dengan kesabaran".

Beberapa hari setelah aku membaca buku tersebut, ketika aku dan teman-temanku kembali belajar bahasa arab di Almanar setelah libur lebaran, sangat kebetulan sekali Ustadz Ahmad (Baarakallaah Yaa Ustadz) membahas tentang surat Al-Asr. Sering sekali ketika ada sesuatu yang berkecamuk dipikiranku, Allah selalu memberi jawaban dan itu seperti mata rantai. Di akhir pekan itu aku mendapat banyak ilmu dari beliau termasuk Fiqih Dakwah.

Seperti biasa aku search di google tentang hal tersebut, "Cara Cerdas Nabi Mengoreksi Kesalahan Orang Lain", itulah buku yang aku dapatkan. Santun dalam menuntun. Penuh hikmah dalam berdakwah. Bijak ketika mengajak kepada yang hak. Mengoreksi tanpa membuat orang sakit hati, malah menerimanya dengan senang hati. Banyak para sahabat tergetar ketika beliau meluruskan mereka ke jalan yang benar. Itulah Nabi Muhammad. Segala ucapan dan perbuatannya selalu dipandu oleh wahyu, begitu pula cara beliau menegur dan mengoreksi kesalahan seseorang.

Kata "dakwah" dari segi bahasa berarti "memanggil, menyeru, atau mengajak", persepsi yang aku dapatkan dari kata dakwah yaitu; merangkul bukan menyeret. Kalau kita ingin sukses mengajak seseorang, berarti kita mesti cerdas memahami watak dan perilaku orang-orang yang akan kita ajak, sehingga kita bisa memilih dan menerapkan metode yang paling efektif. Karena setiap manusia itu memiliki karakter yang berbeda.

Ketika kita ingin melakukan "Ishlah" terhadap diri seseorang, hendaklah kita menyampaikannya dengan bijak. Aku juga termasuk orang yang seringkali menyampaikan sesuatu dengan tidak bijak yang terkadang membuat tali silaturahmi dengan orang tersebut jadi putus, padahal sesama muslim itu bersaudara.

Kalau kata Ukht Ririn "Jangan karena kita sudah tahu tentang suatu ilmu, lantas kita sombong akan ilmu tersebut dan merasa diri paling benar". Di atas langit masih ada langit.

Rabu, 02 November 2011

Meraih Cinta Ilahi

Ada pesan yang masuk di hapeku, sms dari sepupuku yang menyuruh aku untuk pulang ke Lampung pada hari pernikahan tanteku, tidak aku balas dan beberapa saat kemudian "Kriiing... Kriing..." suara hapeku, tidak aku angkat. Galau sedang melanda jiwa "Aku kecewa pada ayahku", aku buka media di hapeku dan aku pilih music, saat seperti ini sebaiknya aku mendengarkan ayat suci yang dilantunkan Musyari Rasyid, sampai di surat At-Takwir ayat 26, hatiku terusik ketika Allah bertanya "Fa aina tadzhabun?". Aku pertama kali mendapatkan penggalan ayat tersebut di buku "Memaknai Kematian" yang aku beli sekitar tahun 2008.

Kemudian aku search di google tentang penggalan ayat tersebut, kebetulan pekerjaan kantor tidak terlalu banyak, aku dihantarkan pada buku berjudul "Meraih Cinta Ilahi" dan ternyata pengarang buku tersebut sama. Di kata pengantar diceritakan tentang pengajian yang diadakan setiap hari ahad di Masjid Al-Munawwarah, pengajian tersebut di buka untuk umum dan murid SMA Plus Muthahhari setiap minggunya mendapat kewajiban untuk menghadiri acara itu secara bergiliran (aku jadi teringat masa-masa di SMA dulu).

"Hendak ke mana kalian pergi?" Sejenak merenungi perjalanan hidup yang telah aku lewati, tersadar setelah jauh melangkah. Wahai Tuhan seluruh alam semesta, betapa aku telah banyak menghabiskan waktuku dengan kesenangan dunia, padahal Engkaulah tempat kembali. Nabi Ibrahim berkata "Sesungguhnya aku pergi menghadap Tuhanku dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku" dalam surat Ash-Shaffat ayat 99. Ketika itu Nabi Ibrahim pergi ke suatu negeri untuk dapat menyembah Allah dan berdakwah. Seperti Nabi Ibrahim, seorang mukmin adalah ia yang telah mengambil keputusan bahwa perjalanannya adalah untuk menuju Tuhan.

Pertanyaan "Fa aina tadzhabun" juga dikenal dalam istilah Latin yang menyebutnya, "Quo Vadis?" Istilah Latin itu ditujukkan untuk orang yang menyimpang atau aneh, demikian pula dalam Al-Quran. Allah bertanya kepada orang-orang yang jalannya melenceng yaitu kepada kaum kafir karena mereka mengingkari Al-Qur'an, padahal sudah diterangkan bahwa Al-Qur'an itu benar-benar datang dari Allah dan di dalamnya berisi pelajaran dan petunjuk yang memimpin manusia ke jalan yang lurus. Maka ke manakah kalian akan pergi?

Apa sebenarnya tujuan akhir dari perjalanan hidup ini? Apakah itu berupa karir, kedudukan, kekayaan, atau kemasyhuran. Al-Quran senantiasa mengingatkan kita untuk mulai berangkat menuju Tuhan. Allah berfirman: Oleh karena itu, bersegeralah berlari kembali menuju Allah. (QS. Al-Dzariyat : 50). Allah tidak hanya menyuruh kita untuk berjalan, bahkan memerintahkan kita berlari kepadaNya. Hidup terlalu singkat jika kita pergi menuju Tuhan dengan cara berjalan, kita harus berlari sebelum waktu kita di dunia habis dan berakhir, sementara aku masih saja merangkak karena terlena dengan pesona dunia. 

Nabi pernah bertanya kepada para sahabatnya, "Bagaimana keadaan kalian, seandainya di antara kalian suatu saat berada di padang pasir membawa perbekalan dan unta, lalu kalian tertidur; dan ketika bangun, kalian mendapati unta dan perbekalanmu hilang?" Para sahabat menjawab, "Tentu cemas sekali, ya Rasulallah!" Rasulullah melanjutkan, "Di saat kalian cemas, tiba-tiba kalian lihat unta itu kembali dari tempat jauh dan menghampiri kalian dengan membawa seluruh perbekalanmu. Apa perasaan kalian?" Para sahabat kembali menjawab, "Tentu kami akan bahagia sekali." Nabi yang mulia lalu berkata, "Allah akan lebih bahagia lagi melihat hambaNya yang datang kepadaNya daripada kebahagiaan seseorang yang kehilangan unta kemudian ia melihat untanya datang kembali kepadanya."
 
Hadits riwayat Ahmad dan Al-Thabrani berbunyi, "Barangsiapa yang mendekati Allah sesiku, Dia akan mendekatinya sehasta. Barangsiapa mendekati Allah sambil berjalan, Allah akan menyambutnya sambil berlari." Balasan dari Allah selalu lebih hebat dari apa yang kita lakukan.
 
Dalam surat Luqman ayat 15, Allah juga menyuruh kita untuk mengikuti jalan orang yang kembali kepadaNya, jadi alangkah baiknya jika kita selalu berkumpul dengan orang-orang yang senantiasa berada di jalan menuju Dia. Dan perjalanan menuju Tuhan harus dilakukan dengan menyucikan diri dan membersihkan hati. Hati kita sering terkotori dengan dosa yang kita lakukan, dosa-dosa itu menghijab kita dari Tuhan. Mereka yang mampu berjumpa dengan Tuhan adalah mereka yang membawa hati yang bersih; bukan yang membawa harta dan anak-anaknya. Ya Allah, hamba adalah manusia yang bergelimang dosa, namun ingin kembali kepadaMu dalam keadaan fitri.

Dalam bahasa Arab, kata tazakka yang berarti menyucikan diri, juga berarti "tumbuh". Oleh karena itu, di dalam Islam, pertumbuhan seseorang diukur dari tingkat kesucian dirinya. Semakin suci dan bersih seseorang, semakin tinggi pulalah derajatnya. Psikologi Humanistik juga mengenal hal ini, Abraham Maslow menyebut puncak pertumbuhan manusia adalah pertumbuhan kepribadiannya, ia menyebutnya dengan aktualisasi diri atau self actualization.

Barangsiapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud untuk berhijrah kepada Allah dan RasulNya, lalu kematian menjemputnya, maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah... (QS. An-Nisa : 100).
 
Sebagian ulama menafsirkan kata "rumah" dalam ayat itu sebagai diri, egoisme, atau keakuan kita. Kita selalu berpikir akan kepentingan pribadi semata. Bila kita beribadah, itu pun dilakukan dalam konteks kepentingan diri kita. Kita bersedekah untuk menolak bencana demi keselamatan diri kita. Kita menunaikan shalat agar terhindar dari neraka dan mengharapkan surga. Kita sering beribadah dengan ibadah para pedagang, menjual ibadah kita untuk ditukar dengan pahala.

Hal ini berbeda dengan para ulama, mereka berupaya keluar dari "rumah" mereka untuk beribadah bukan karena mengharap pahala tetapi karena rasa terima kasih kepadaNya. Mereka merasa berhutang budi atas segala anugerah Allah, itulah ibadah yang sesungguhnya. Hubungan mukmin dengan Tuhannya bukanlah hubungan bisnis, melainkan hubungan cinta. Al-Quran menyebut orang yang beribadah kepada Tuhan tanpa meninggalkan dirinya karena terlalu cinta akan dirinya, sebagai orang yang telah mengambil Tuhan selain Allah. Ia mencintai dirinya lebih dari ia mencintai Tuhan. 

Di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sama seperti mereka mencintai Allah. Sementara orang-orang yang beriman sangat mencintai Allah. (QS. Al-Baqarah : 165).

Kamis, 13 Oktober 2011

Menanti Sebuah Jawaban

Menelusup hariku dengan harapan...

"Ah, kenapa hatiku masih tertaut padanya?" batinku berbisik, hari mulai senja ku lihat di luar sana jingga mulai menghiasi langit. Jam sudah menunjukkan waktu pulang, seperti biasa aku pulang bersama si Celi, setibanya di kostan aku lipat sepeda dan menyimpannya di bawah tangga.

Setelah menyimpan tas dan jaket di kursi sofa, aku ingin menikmati suasana senja, segera saja aku menaiki tangga menuju tempat jemuran. Aku tertegun karena tadi siang temanku mengatakan hal yang mengusik hatiku, sekejap saja siluet senja dan hembusan angin membuat aku hanyut dalam susasana. Aku menatap hamparan langit biru yang terbentang, "Allah" hanya dengan mengingatMu hati menjadi tenang.

Aku masih terpaku melihat indahnya lukisan Sang Khalik, lantunan pujian menemani kesendirianku. Beberapa ayat yang ku baca belakangan ini pas sekali dengan suasana hatiku "Laa yukallifullaahu nafsan illaa wus'ahaa" Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ya, segala sesuatu yang telah Allah tetapkan sudah dengan pertimbangan, seberat apapun beban yang sedang kita pikul itu semua sudah sesuai kadarnya.

"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.

                                                                            ***

Setelah wisata hati di ayat-ayat terakhir surat Al-Baqarah, kemudian penggalan surat Ali-Imran "Zuyyina linnaasi hubbusy-syahawaat" Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan". Tidak berapa lama di status facebook yang baru saja aku update, ada seseorang yang mengirim hadist:

"Ahbib habibaka haunan ma, 'asa an yakuna baghidhoka yauman ma. Wa abghidh baghidhoka haunan ma, 'asa an yakuna habibaka yauman ma" (Cintailah kekasihmu itu sekedarnya saja, boleh jadi kamu akan membencinya suatu ketika. Dan bencilah orang yang kamu benci sekedarnya saja, boleh jadi kamu akan mencintainya suatu ketika) (HR. Tirmidzi).

Aku tahu jawabannya; batas antara cinta dan benci itu sangatlah tipis.

Semoga kau tahu isi hatiku...

Kamis, 06 Oktober 2011

Perjalanan Separuh Purnama

"Perjalanan Separuh Purnama" dulu aku membeli buku ini karena ingin mengikuti perlombaan di Toko Buku Gramedia, ada beberapa judul lain dalam perlombaan tersebut namun aku memilih buku ini karena kata terakhir adalah nama seseorang yang aku suka. Aku sudah tidak ingat apa isi buku ini dan bukunya ku simpan di Bandung, aku teringat kembali karena ada seseorang yang memberikan jempolnya di facebook pada tiga statusku dan mengomentari salah satunya.

Seseorang itu adalah dia, aku dan dia pernah satu kelas ketika kami masih duduk di kelas 1 SMA, ketika itu aku sering digosipkan dengan salah satu teman kami yang sekaligus sahabat dekatnya. Aku membuka account facebooknya, ku perhatikan dia sedang berada di daerah yang jauh, Gaza Palestine. Dulu di sekolah kami ada kegiatan menghapal surat-surat pendek, pernah sebelum dia setoran pada guru agama kami, dia meminta tolong padaku untuk menyimak hapalan surat yang ia ucapkan.

Di kelas 2 kami berpisah, aku memilih untuk masuk kelas IPS dan dia di kelas IPA, namun kami masih berada dalam komunitas yang sama karena memilih ekstrakulikuler yang sama Bahasa Persia dan olahraga Badminton, ketika penerimaan murid baru kemudian kami berdua di pilih untuk mempresentasikan kemampuan berbahasa kami di depan adik kelas, agar mereka tertarik masuk ekstrakulikuler Bahasa Persia.

Setahuku dia tidak mengetahui perasaanku ini, karena aku memang bukan orang yang terbiasa mengungkapkan perasaanku pada orang yang aku suka, hanya teman-teman terdekatku yang mengetahui hal ini. Sekitar tahun 2006 aku bekerja di Bekasi, suatu hari ketika aku akan pulang ke Bandung, aku menunggu bus di Tol Timur dan tanpa sengaja bertemu dengannya, nama tol ini sama dengan nama panjangnya.

Sedikit intermezo dari judul yang akan aku bahas...

Aku menyukai nuansa malam, mulai dari suasananya yang hening, kerlip bintang, sinar rembulan sampai kepekatan yang terkadang terasa mencekam. Sama seperti ketertarikanku pada pesona yang disuguhkan pantai, deburan ombak, butiran pasir, laut biru yang terhampar luas, dan yang paling aku suka saat terpaku menyaksikan matahari tenggelam perlahan dan siluet pantai senja yang indah, subhanallah.

Salah satu yang membuat aku tertegun pada pesona malam adalah ketika hamparan langit dihiasi indahnya bulan purnama. Purnama adalah fase di mana keadaan bulan nampak bulat sempurna dari bumi, pada saat itu bumi terletak hampir segaris di antara matahari dan bulan, sehingga seluruh permukaan bulan yang diterangi matahari terlihat jelas dari arah bumi. Kebalikannya adalah saat bulan mati, yaitu saat bulan terletak pada hampir segaris di antara matahari dan bumi, sehingga yang "terlihat" dari bumi adalah sisi belakang bulan yang gelap, alias tidak nampak apa-apa.

Di antara kedua waktu itu terdapat keadaan bulan separuh dan bulan sabit, yakni pada saat posisi bulan terhadap bumi membentuk sudut tertentu terhadap garis bumi - matahari. Pada saat itu, hanya sebagian permukaan bulan yang disinari matahari yang terlihat dari bumi. Fase yang paling aku suka adalah di mana bulan sedang dalam keaadaan sabit dan dalam keadaan purnama. Bulan sabit atau hilal yang muncul menandai datangnya awal bulan Hijriyah yaitu bulan dalam kalender Islam.

“Dari Ibnu Umar RA, dia berkata, dulu Rasulullah SAW apabila melihat Al-Hilal beliau mengucapkan doa: "Allahu akbar. Allahumma ahillahu ‘alainaa bil-amni wal-iimaan was-salaamati wal-islaami wat-taufiiqi limaa yuhibbu rabbunaa wa yardhaa. Rabunaa wa rabbukallaahu."  

Allah Maha Besar, Ya Allah, tampakkan al-hilal (bulan tanggal satu) itu kepada kami dengan membawa keamanan dan keimanan, dengan keselamatan dan Islam, serta mendapat taufik untuk menjalankan apa yang Engkau cintai dan Engkau Ridhai. Rabbku dan Rabbmu (wahai bulan sabit) adalah Allah”

Hadits tersebut diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan Ad-Darimi, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Kalimith Thayyib no. 162.

Dengan terbit bulan sabit dapat menggugah spirit untuk berharap bahwa bulan purnama akan datang. Seperti yang pernah dikatakan oleh Buya Hamka: "Apabila bulan sabit terbit di ufuk barat, maka bolehlah berharap bahwa akan datang bulan purnama". Belajar filosofi dari bulan sabit; semangat dan optimisme untuk terus bergerak maju menuju masa depan yang lebih cerah dan gemilang insya Allah akan menjadi kenyataan bagaikan bulan sabit yang kecil kemudian membesar menjadi purnama yang menyinari bumi.

Ada keadaan bulan yang ternyata bisa kita analogikan dengan kehidupan kita di akhir waktu nanti, "Separuh Purnama" menurutku fase paling  penting dalam kehidupan ini adalah akhir dari perjalanan hidup kita (husnul khatimah atau su'ul khatimah), ketika start dalam menjalani hidup banyak serangkaian proses yang mesti kita lewati, dan ketika kita akan mendekati garis finish biasanya rintangan yang menghadang akan lebih banyak. Kita tidak pernah tahu akhir dari perjalanan hidup kita, saat yang paling menentukan adalah detik-detik kita menghembuskan nafas terakhir, sedangkan kita tidak tahu kapan ajal menjelang. 

Mampukah kita menjalani kehidupan ini dengan baik sampai ajal menjemput?. "Perjalanan Separuh Purnama" ketika bulan sabit menuju proses bulan separuh kemudian mampu melengkapi separuh purnamanya, setelah melewati purnama bulan akan mulai meredup.

Rabu, 05 Oktober 2011

Ishbirii Yaa Nafsii

Aku terbangun dari tidurku, masih jam sembilan dan udara terasa panas hingga badanku keringatan, aku tadi tidur jam setengah delapan setelah pulang dari angkringan bersama Mas Udin, ku lihat ada pesan masuk di hape, balasan sms dari Pak Rahmat  "Iya, keenakan Udin. Ya udah nanti jangan Udin terus yang di ajak curhat. Gantian sama saya ya Din". Berarti tidurku tadi cukup lelap, karena biasanya aku sering terbangun jika ada bunyi sms.

Awalnya aku mengajak Mas Udin ke Angkringan Pramuka untuk menikmati susu jahe sekalian curhat, tapi setelah sampai di sana kami tidak membicarakan masalah yang sedang aku alami, hanya Allah yang tahu apa yang membuat aku menangis setelah menunaikan shalat maghrib (bukan masalah cinta), aku pasti akan mendapatkan jawaban segala risau hatiku, "La Tahzan". 

Aku belum menunaikan shalat isya, aku ambil air wudhu, malam itu isak tangis mewarnai shalat isyaku, “Wahai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar" Al-Baqarah : 153. Aku mengadu padaNya "Allah" ku dekap erat mushafku, aku pasti bisa melewati ini semua karena aku memiliki Hati Seluas Samudera yang akan menenggelamkan semua masalah yang ada. Ishbirii Yaa Nafsii (Bersabarlah wahai jiwaku).

“Tiada seorangpun yang dapat membedakan antara Sabar dan Mengeluh, melainkan ia menemukan diantara keduanya ada jalan yang berbeda.  Adapun Sabar dengan memperbaiki yang lahir, maka hal itu baik dan terpuji akibatnya. Dan adapun Mengeluh, maka orangnya tidak mendapat ganti yakni hanya sia-sia belaka” ku temukan kutipan ini dari 101 Kisah Teladan.

Minggu, 02 Oktober 2011

Senandung Lagu Cinta

Senadung lagu cinta, tercipta untukmu...

Di suatu pagi yang cerah ketika aku asyik meluncur dengan si Celi untuk beragkat ke kantor "Gubrak" aku menabrak pohon, aku berpapasan dengan seorang lelaki, padahal lelaki itu wajahnya biasa saja, sejak kapan levelku jadi turun? Ku ceritakan hal ini pada temanku di Yahoo Messenger, dia bilang: "Lo segh yang terbayang wajah si Aa mulu, udah bilang aja langsung, biar dia tau perasaan lo".

Mungkin karena orang di sekelilingku sering mengaitkan aku dengannya, aku jadi terbawa perasaan padanya, anehnya pernah ketika membeli bensin, pegawai bensin yang melayani bernama dia, terus ketika aku membaca novel Terminal Cinta Terakhir ada nama dia (novelnya tidak aku baca lagi karena terlalu vulgar), Irjen Polisi yang sering aku lihat di televisi bernama dia, kemudian ada salah satu pengamat sepak bola yang sedang berbicara di televisi bernama dia, lebih lucu lagi ketika aku menonton OVJ, si Sule yang sering memakai namaku itu sudah biasa tapi kebetulan sekali saat itu si Olga memakai nama dia.

Sepertinya nama tersebut memang sudah menjadi syndrome dalam hidupku, "Ya Allah, kenapa namanya ada di sekitarku? Kenapa aku jadi jatuh cinta padanya ya?". Mereka semua sering mengingatkan aku padanya, bahkan ketika dia mengupload foto bersama wanita, tiga orang yang laporan padaku mengenai hal itu dan menanyakan apakah aku cemburu atau tidak, masya Allah. Untuk apa aku cemburu pada sesuatu yang bukan hakku.

Perasaan ini persis ketika aku menyukai seseorang, yang kemudian namanya ada di mana-mana, namun aku harus patah hati karena ternyata dia telah beristri, aku menyukainya karena kepintaran dan sikap bijaknya, subhanallah "Uhibbuka lillah". Atau ketika dulu aku menyukai adik kelasku bernama Wildan, berawal karena dia mengucapkan "Assalamu'alaikum Teh" jadi tidak salah jika ada ungkapan "Love at the first sight", awalnya hanya aku yang menikmati sendiri kebahagian mencintainya, tetapi sahabatku Fatya yang juga temannya menyampaikan tentang perasaanku itu.

"Gayung bersambut" hingga pernah terjalin komunikasi yang sedikit melibatkan perasaan aku dan dia, akupun pernah berlebaran di Kota Pontianak karena temanku Mega mengajakku untuk mudik ke kota kelahirannya yang kebetulan itu adalah kampung halaman adik kelasku itu, dan ketika liburan sekolah akan berakhir secara tidak sengaja dalam perjalanan pulang kami berada di kapal yang sama. Ketika aku betemu dengannya di kapal, jantungku berdegup kencang, meskipun aku dan dia tidak mengobrol berdua, tetap saja aku tidak bisa berkutik, sesekali aku melihat wajahnya namun harus menunduk malu ketika pandangan kami beradu, seperti ada yang menusuk jantungku. Tapi karena banyak faktor yang membuat kami pada akhirnya tak pernah menjalin hubungan yang istimewa.

Berbicara soal cinta adalah berbicara soal hati dan perasaan, terkadang rasio tidak mampu menyimpulkan sesuatu yang terjadi karena reaksi cinta. Hakikatnya cinta adalah sebuah totalitas, di mana gagasan, emosi dan tindakan bergabung menjadi satu kesatuan yang utuh dan bekerja secara tim untuk kebahagiaan dan kebaikan orang yang dicintai. Seperti kata Serial Cinta:

Ukuran integrasi cinta adalah ketika ia bersemi dalam hati, terkembang dalam kata, terurai dalam laku. Kalau hanya berhenti dalam hati itu cinta yang lemah dan tidak berdaya, kalau hanya berhenti dalam kata itu cinta yang disertai kepalsuan dan tidak nyata, kalau cinta sudah terurai jadi laku cinta itu sempurna seperti pohon; akarnya terhujam dalam hati, batangnya tegak dalam kata, buahnya menjumbai dalam laku. Persis seperti iman, terpatri dalam hati, terucap dalam lisan, dan dibuktikan oleh amal.

Oleh sebab itu cinta tidak cukup hanya gagasan dan emosi saja tapi harus dibuktikan dalam tindakan nyata. Dan untuk menjadi pencinta sejati kita harus memiliki kepribadian yang kuat dan tangguh, karena orang-orang dengan kepribadian yang lemah tidak dapat mencintai dengan kuat. Mencintai membutuhkan perjuangan untuk mengembangkan kualitas cinta itu sendiri, dan hanya orang-orang yang berkepribadian kuat dan tangguh yang dapat merealisasikan senandung lagu cinta yang ia rasakan.

Sabtu, 01 Oktober 2011

Jawaban Segala Risau

Akhirnya ku menemukanmu
Saat raga ini mulai merapuh
Akhirnya ku menemukanmu
Saat hati ini ingin berlabuh

Mantab juga lagu yang dinyanyikan Lae Anton malam jum'at kemarin, setelah menyerahkan proposal pengajuan skripsi aku dan teman-teman pergi ke tempat karaoke bersama koordinator kelas, untuk membicarakan masalah intern kelas yang tidak bisa dibicarakan di kampus. Meskipun agak sedikit kurang nyaman dengan suasana di sana, tapi aku mencoba menikmatinya karena pemilihan tempat merupakan kesepakatan bersama.

Lagu ini pertama kali eksis tahun 2006 yang dibawakan oleh grup band Naff, aku pertama kali mengetahui lagu ini dari sahabatku Meyrina yang saat itu akan segera menikah, uniknya pertemuan mereka berawal di bus yang mengantarkan mereka ke Kota Palembang, ketika itu kekasih hatiku bernama Rizkia, jajaka Bandung berkulit putih dan tampan (kok mau ya dia sama aku?), dia sering memanggilku "imut", "tembem" yang lebih parah lagi "onta", aku meninggalkannya demi orang lain tanpa ada kata putus, tapi sampai sekarang hubungan kami masih baik, terkadang kami sering berbagi cerita termasuk kisah cintanya bersama seseorang yang sekarang menjadi tunangannya.

Sepertinya topik yang sedang hangat disekitarku sekarang ini adalah menikah, setiap kali bertemu dengan teman kantor lamaku yang ditanyakan oleh mereka adalah undangan, atau ketika teman kursusku satu persatu menikah Ustadz Ahmad pernah bertanya "Seli kapan nyusul?" (calonnya saja belum ada). Sebenarnya ada seseorang yang aku harapkan dia adalah jawaban segala risau hatiku, dan jika Allah mengizinkan aku bersamanya, semoga aku bisa mencintainya hingga ujung usiaku (sesuatu banget ya).

Tapi aku hanya bisa berharap, masalahnya aku bukan orang yang terbiasa mengungkapkan perasaanku pada orang yang aku suka, aku lebih memilih mencintai dalam hening, jadi cintaku padanya saat ini hanya sebatas teori karena aku belum mampu untuk mengembangkan kualitas cintaku menjadi praktek. Dan jika memang dia bukan jodohku, aku yakin Allah sudah siapkan yang terbaik untukku, sama seperti yang disampaikan Ustadz Ahmad "Allah sudah siapkan seseorang untuk anti".

                                                                           ***
Jika nanti ku sanding dirimu
Miliki aku dengan segala kelemahanku
Dan bila nanti engkau disampingku
Jangan pernah letih tuk mencintaiku

Siapapun pasti ingin memiliki pendamping hidup yang bisa menerima segala kelemahan yang dimilikinya. Aku jadi seperti pakar cinta, karena memang terkadang teman-temanku berkonsultasi masalah cinta padaku, dan ketika aku mengungkapkan pendapatku secara tidak langsung aku menasehati diriku sendiri. Teman kantorku bercerita tentang kisah cintanya bersama seorang lelaki yang umurnya terpaut 10 tahun lebih muda darinya namun mereka bisa menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing pihak. 

Yang jadi permasalahan diantara kedua belah pihak bukanlah umur, karena umur bukan suatu jaminan untuk mengukur tingkat kedewasaan seseorang, tetapi kesanggupan sang lelaki untuk melangkah ke jenjang pernikahan karena belum memiliki kemapanan secara finansial, sedangkan yang akan ia nikahi adalah seorang janda yang di tinggal wafat suaminya dan memiliki dua orang anak. Setelah menyimak curahan hatinya, aku katakan "Sekarang mah napsi-napsi aja atuh Teh, kalau memang jodoh pasti Allah persatukan, jangan berheti berharap dan berusaha,  inya Allah suatu saat nanti akan ada jawaban segala risau hati Teteh" ku berikan padanya catatan "Dengan Segenap Cinta". 

Sejatinya dengan menikah berarti juga membuka pintu rezeki dari Allah. Sebagai suami yang bertanggung jawab, dengan hadirnya seorang istri insya Allah akan memudahkan pertolongan Allah terhadap datangnya rezeki yang akan mencukupi kebutuhan rumah tangga. Rasulullah bersabda: "Carilah oleh kalian rezeki dalam pernikahan (dalam kehidupan berumah tangga)" (HR Imam Ad-Dailami dalam Musnad Al-Firdaus). Dalam hadist lain: "Tiga orang yang pasti mendapat pertolongan dari Allah, yaitu budak mukatab yang bermaksud untuk melunasi perjanjiannya, orang yang menikah dengan maksud memelihara kehormatannya, dan orang yang berjihad di jalan Allah" (HR Turmudzi, An-Nasa'i, Al-Hakim dan daruquthni).

Jumat, 30 September 2011

Hati Seluas Samudera

Rasanya lelah dengan semua ini, aku ingin pergi jauh ke tempat yang sepi, meyepi dan sendiri. "Allah" ku hapus air mata yang mulai menetes. Aku tarik nafasku dalam-dalam, belajar memiliki "Hati Seluas Samudera" itulah sepenggal kalimat yang masih aku ingat, yang dikatakan oleh almarhum temanku Yudi beberapa tahun yang lalu. Kalimat itu sering hadir di benakku jika aku merasa terhimpit dalam dilema kehidupan seperti sekarang ini.

Allah tidak akan membebanimu di luar batas kemampuanmu, semua sudah sesuai kadarnya, kamu bisa melewati ini semua. Aku teringat tentang Kisah Telaga Hati;

Suatu hari seorang tua bijak didatangi seorang pemuda yang sedang dirundung masalah. Tanpa membuang waktu pemuda itu langsung menceritakan semua masalahnya. Pak tua bijak hanya mendengarkan dengan seksama, lalu ia mengambil segenggam serbuk pahit dan meminta anak muda itu untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya serbuk pahit itu ke dalam gelas, lalu diaduknya perlahan.

"Coba minum ini dan katakan bagaimana rasanya" ujar pak tua.

"Pahit, pahit sekali" jawab pemuda itu sambil meludah ke samping.

Pak tua itu tersenyum, lalu mengajaknya untuk berjalan ke tepi telaga belakang rumahnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan dan akhirnya sampai ke tepi telaga yang tenang itu. Sesampainya di sana, Pak tua itu kembali menaburkan serbuk pahit ke telaga itu, dan dengan sepotong kayu ia mengaduknya.

"Coba ambil air dari telaga ini dan minumlah"

Saat si pemuda mereguk air itu, Pak tua kembali bertanya lagi kepadanya:

"Bagaimana rasanya?"

"Segar" sahut si pemuda.

"Apakah kamu merasakan pahit di dalam air itu ?" tanya pak tua.

"Tidak" sahut pemuda itu.

Pak tua tersenyum sambil berkata: 

"Anak muda, dengarkan baik-baik. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam serbuk pahit ini, tak lebih tak kurang. Jumlah dan rasa pahitnyapun sama dan memang akan tetap sama. Tetapi kepahitan yang kita rasakan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkannya. Jadi saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu yang kamu dapat lakukan; lapangkanlah dadamu menerima semuanya itu, luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu"

Pak tua itu lalu kembali menasehati: 

"Hatimu adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi jangan jadikan hatimu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu menampung setiap kepahitan itu, dan merubahnya menjadi kesegaran dan kedamaian".

Persis seperti yang diucapkan Ustadz Ahmad, ketika aku bercerita tentang persoalan hidupku, katanya: "Lapangkan dadamu". 

"Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu" Al-Insyirah : 1

Semua tergantung bagaimana kita menyikapi sebuah persoalan, tinggal wadah hati kitalah yang menentukan persoalan tadi terasa berat atau ringan, jika wadahnya kecil maka persoalan kecil sekalipun terasa berat, sedangkan jika wadahnya semakin luas dan dalam, maka persoalan yang berat sekalipun bisa dijalani dengan ringan. Jadikan hatimu seluas samudera agar dapat menenggelamkan semua permasalahan yang ada.

Selasa, 27 September 2011

Dengan Segenap Cinta

"Hah, udah jam sembilan lebih" hatiku berteriak, segera aku ambil handuk, mandi, dan memakai baju yang tidak perlu di setrika, aku bangun kesiangan, untung saja sedang tidak ada kewajiban shalat. Mungkin karena beberapa hari ini aku kelelahan mengerjakan skripsi. Aku ingin hari kamis besok bisa mengajukan proposal, targetku awal 2012 sudah bisa sidang, agar aku bisa melanjutkan S2 Pendidikan di tahun itu, semoga.

Hari berlalu dengan cepatnya, setelah pulang kerja temanku mengajak ke Toko Buku Gramedia, tidak ada yang aku beli di sana, maklum akhir bulan. Sepulang dari Gramedia aku melanjutkan skripsiku diselingi dengan membuka facebook untuk mengetahui kabar teman-temanku, hingga larut malam bahkan menjelang pagi. Aku hanya tidur dua jam itupun terjaga, di kantor rasa kantuk tak tertahankan, aku ingin segera pulang untuk tidur, kopi yang aku seduh tak ada efeknya sama sekali, padahal aku sudah diperingatkan teman kantorku untuk tidak mengkonsumsi kopi setiap hari, terkadang aku menyeduh 2 bungkus kopi sekaligus.

Karena kurang tidur seharian ini aku hang, badan terasa panas dan tidak nafsu makan, gawat bisa kambuh penyakitku, kalau sudah terserang maag rasanya ingin loncat dari gedung tinggi (lebay). Malam dapat meleburkan segala rasa yang tak terungkapkan, waktu menunjukkan hampir jam sebelas malam, aku terbangun dari tidurku karena memang sudah ku rencanakan, jadi seperti kelelawar jadwal tidurku. Tiba-tiba ada lirik lagu yang mampir di otakku;

Dengan segenap cinta
Aku bertanya...
Bila rindu ini, masih milikmu
Ku hadirkan sebuah, tanya untukmu
Harus berapa lama, aku menunggumu
Aku menunggumu...

Sekedar berbagi cerita tetang rasa yang sedang bersemayam di hatiku, menunggu memang pekerjaan yang membosankan. Jadi teringat tentang curahan hati teman kursusku, tentang penantiannya untuk memiliki seorang istri, ku katakan padanya untuk bersabar dan semua indah pada waktunya padahal aku sendiri mengalami kesulitan untuk merealisasikan sikap sabar.

Suatu pagi setelah melaksanakan shalat shubuh aku buka mushaf, tadarusku saat itu di surat Al-Anbiya. Kemudian aku baca artinya, sampai di ayat 37 hatiku serasa di sentil "Manusia diciptakan (bersifat) tergesa-gesa. Kelak Aku akan perlihatkan kepadamu tanda-tanda (kekuasaan)Ku. Maka janganlah kamu meminta Aku menyegerakannya" (aku kirim sms pada temanku mengenai hal tersebut). Ayat tersebut ditujukan untuk orang kafir, di ayat selanjutnya dijelaskan bahwa orang kafir meminta disegerakan datangnya janji Allah (hari kiamat), tapi menurut pemahamanku hikmahnya bisa menjadi evaluasi untuk diri kita. Bahwa manusia terkadang sering tergesa-gesa dalam bertindak karena memang diciptakan bersifat seperti itu, dan selalu ingin menyegerakan segala sesuatu padahal belum tentu yang disegerakannya itu akan berbuah baik (wallahu a'lam bishshawab). Kecuali tiga hal yang memang harus disegerakan dan salah satunya adalah menikah bila sudah ada jodohnya.

"Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah mampu untuk kawin, maka hendaklah dia menikah. Karena dengan menikah itu lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu bisa menjadi perisai baginya". [Muttafaq Alaih].

Sebenarnya kalau memang sudah mampu maka dianjurkan untuk segera menikah, dapat artikel dari teman "Indahnya karunia Allah di dalam menikah", tapi kalau belum mampu hendaklah berpuasa. Terus, kalau misalkan sudah mampu tapi belum ada calonnya? Eng ing eng... Ishbirii Yaa Nafsu, apapun yang Allah tetapkan untuk kita, itulah yang terbaik. Jadi tunggulah dia dengan segenap cinta dan kesabaran, semoga bisa menjadi ladang amal untuk kita.

Cemburu Menguras Hati

Tiga hari ku nanti
Jawabanmu oh kasih
Setiap saat ku harap
Ada keajaiban dalam dirimu
Indahnya masa lalu
Tergores amarahku
Cemburu menguras hati
Galau kini menyiksa diri

Hatiku terasa panas ketika aku melihat dia mengirim pesan mesra di friendster, segera ku telepon meminta penjelasan darinya, dalam keadaan masih berbicara di telepon aku bergegas pulang dari kantor menuju kostan padahal saat itu hujan deras mengguyur Kota Jakarta, aku ingin air hujan mendinginkan hatiku, di kamar aku menendang kardus berisi buku-buku pelajaran dan aku tinju kaca lemari milik ibu kost, kacanya hancur berkeping-keping dan serpihannya melukai tanganku. (November 2008)

Seperti ada kobaran api di punggungku, dan betapa bodohnya aku waktu itu menghiasi hatiku dengan amarah karena terbakar rasa cemburu, padahal status yang aku jalani bersamanya adalah hubungan yang di dalam Islam tidak diperbolehkan. Itu pertama kalinya dia mengkhianatiku dan aku masih menerimanya ketika dia ingin memperbaiki hubungan kami, padahal karena masalah ini aku harus dua kali ke dokter karena terkena penyakit maag, kemudian dia mengulang kesalahan yang sama untuk yang kedua dan yang ketiga kalinya.

Pengkhianatan terakhir yang dilakukannya menghasilkan pisau yang terhujam di dinding kamarku, sebagai bentuk dari luapan emosiku dan itu adalah akhir dari segalanya, meskipun saat itu aku masih sangat mengharapkannya namun perlahan akal sehatku mulai berontak untuk tidak mengharapkan lelaki itu, jera dengan semua permainannya, mungkin ini kehedakNya dan "Allah tahu yang terbaik untukku". (Maret 2010)

Itulah salah satu dari sekian banyak tabiat burukku, aku sulit mengendalikan emosiku ketika amarah merasuk jiwa, padahal Rasul menasehati kita untuk menahan amarah "Laa taghdhab wa lakal jannah". Sifat itu semakin terpupuk saat aku menjalin hubungan dengannya, anak dari pemilik pesantren tempat aku menuntut ilmu, mungkin karena faktor kontroversi dari keluarganya yang membuat aku merasa tertekan dan mudah marah, syukurlah hubungan kami berakhir.

Tabiat burukku yang sering meluapkan amarah dengan anarkis terkadang berimbas pada orang lain, aku pernah melempar batu bata pada teman kantor lamaku yang berlaku kurang ajar, meskipun batu bata itu tidak mengenainya, dan aku pernah menyiram kopi panas di baju teman kantor baruku ketika dia untuk yang ketiga kalinya mengelus tanganku padahal aku sudah memperingatkannya dengan cara yang baik.

Kebiasaan ketika aku masih kecil sering berkelahi terbawa sampai sekarang, mengingat aku di apit diantara saudara lelaki yang membuat aku merasa terlindungi (aya dekengna mun ceuk urang sunda mah), waktu aku duduk di bangku SD ketika terjadi perselisihan, aku pernah menendang temanku Ferry, aku mendorong sahabatku Susi dengan bangku, atau ketika aku SMP, aku berkelahi dengan tetanggaku Ahmad karena masalah adikku, punggungnya terluka oleh cakaranku, dan masih banyak kekasaranku yang lain.

Sangat jelek perangaiku itu, sama sekali tidak mencerminkan seorang wanita yang seharusnya penuh dengan kelembutan. Namun manusia berhak berubah, terlebih untuk menjadi lebih baik, Alhamdulillah ya (ala Syahrini) sekarang ketika amarah mulai hadir, aku mulai bisa mengendalikan emosiku dengan cara menasehati diriku sendiri "La taghdhab, la taghdhab, la taghdhab".

                                                                           ***

Cerita di atas adalah intermezo dari pembahasan "Cemburu Menguras Hati", bagaimana kita mengelola hati ketika rasa cemburu datang. Orang bilang cemburu itu tanda sayang dan hal yang wajar, akan tidak wajar jika rasa cemburu telah meracuni hati dan dilampiaskan pada hal yang negatif.

Menurutku jika seseorang benar-benar mencintai pasangannya, sudah dipastikan akan merasa cemburu jika orang yang dicintainya dekat dengan yang lain, siapapun. Untuk yang sudah menikah cemburu itu seperti bumbu, tapi untuk yang belum terikat dalam pernikahan alias masih pacaran, apalagi pelampiasannya seperti kasus di atas, rugi. Aku berani bilang seperti ini karena pengalaman pribadi, tak ada gunanya menghabiskan energi untuk hal yang tidak ada faidahnya untuk kita. Yang lebih unik lagi jika kita cemburu ketika seseorang yang kita cintai dekat dengan yang lain, padahal tidak ada hubungan apapun dengan kita, "Untuk cemburupun aku tidak berhak".

Untuk wanita yang sudah menikah dan suamimu ingin menikah lagi, itu merupakan ujian kesabaran agar kamu naik derajat, dari hati yang terdalam; wanita mana yang sanggup di madu? Tapi Allah menjamin kamu dengan surga, kamu wanita pilihan (pelajari juga ya syarat poligami). Dan untuk yang sedang mengharapkan seseorang yang kamu cintai namun belum mempunyai hubungan apapun, dan kamu merasa cemburu jika dia dekat dengan yang lain, tenang saja kalau memang dia jodoh kamu, cepat atau lambat pasti Allah persatukan. Intinya jalani semua dengan ikhlas, karena sifat ini menjadi bagian terpenting dalam menyikapi semua masalah, apapun masalahnya.

Saran aku jika kamu sedang tenggelam dalam rasa cemburu, berpikirlah objektif, generalisasi semua duduk permasalahan dengan bijak, konsultasi pada teman yang kamu anggap memiliki jawaban yang bijak dan mohon petunjuk pada Sang Maha Bijak, perbanyak mengingat Allah "Hanya dengan menginat Allah hati menjadi tenang". Ingat! Jangan lampiaskan amarahmu (menasehati diriku sendiri); seseorang dikatakan berani bila ia tetap mampu ber-mujahadah li nafsi, melawan nafsu dan amarah. Kemudian ia tetap dapat mengendalikan diri dan menahan tangannya padahal ia punya kemampuan dan peluang untuk melampiaskan amarahnya. Temanku bilang; marah itu panas, panas itu api, api itu neraka dan neraka adalah tempatnya syetan.

Senin, 26 September 2011

Nostalgia Masa Kecil

Teringat indahnya masa kecilku ketika pertama kalinya aku belajar memanjat pohon jambu di halaman rumahku sehingga aku menjadi pemanjat pohon yang handal. Ketika aku belajar mengendarai sepeda dan kakakku mengejar sepeda yang aku ayuh karena meluncur cukup kencang ketika berada di jalanan yang menurun, sepeda itu tidak aku rem karena takut jatuh, maklum aku belajar naik sepeda langsung roda dua dan sepeda itu terlalu tinggi untuk digunakkan olehku. Ketika aku bermain layang-layang di genting rumahku bersama adik dan kakakku, "Kebebasan yang terkendali" itu filosofi yang aku dapatkan dari layang-layang.

Cerita yang masih melegenda adalah aku dan adikku sering mengayuh becak yang sedang parkir di depan rumahku, sementara tukang becaknya sedang makan di warung ibuku. Umurku dan adikku hanya berjarak sekitar dua tahun, suatu hari ketika kami sedang asyik bergiliran mengayuh becak dan melewati garasi becak, juragan becak itu marah;

"Heh becak saha eta, balikeun! Bangor pisan nya budak Ceu Ade teh"

Cerita yang tidak kalah menarik adalah waktu kecil aku sering di ajak bermain sepak bola oleh teman-teman lelaki, kemudian ketika aku belajar di Pondok Pesantren Istiqomah Mudawamah Tasikmalaya, aku pernah mengikuti perlombaan sepak bola wanita bersama penduduk kampung, sepulangnya aku dimarahi habis-habisan oleh salah satu pengajar di sana, padahal niatku hanya untuk meramaikan acara 17 agustus.

                                                                            ***

Lebaran kemarin setelah ba'da dzuhur meskipun kondisi badanku kurang sehat, aku putuskan untuk pergi bersilaturahmi ke Kota Sumedang, aku bersama adik sepupuku Uwi mengendarai motor Scoopy warna biru metalik, cukup meneganggkan juga track menggunakan motor yang berbody bohay dan ompong. Dulu ketika masih SD, kota ini menjadi tujuan untuk mengisi liburanku dengan menuntut ilmu agama, aku pesantren kilat di Pondok Pesantren Darul Qur'an Sumedang.


Bersambung...

Jumat, 23 September 2011

Hati Yang Terluka

Aku seperti tidak bisa menerima kenyataan yang sedang aku hadapi, ayahku telah beristri lagi dan dari pernikahan mereka Allah berikan aku adik tiri yang wajahnya mirip dengan adik kandungku, aku jadi punya dua orang adik lelaki. Entah mengapa saat itu jika aku melihat wajah adik tiriku rasanya ingin sekali menjitaknya.

Setelah beberapa hari bersama mereka, keluarga yang baru aku kenal setelah umurku beranjak dewasa, banyak informasi yang masuk ke telingaku tentang ayahku, semua buat aku gamang. Pada siang itu aku tanyakan semua pertanyaan yang berkecamuk di pikiranku, di mulai dengan pertanyaan; selama ini dia kemana?

Ketika semua teman-temanku bercerita tentang pekerjaan ayahnya, aku hanya terdiam atau mengarang cerita tentang pekerjaan ayahku, karena aku tidak tahu apa pekerjaannya. Ketika aku sudah bisa menulis, dengan ukuran tulisan yang besar aku menulis surat padanya bercerita tentang kabar kami, dari semua surat yang aku kirimkan tidak pernah ada satupun surat yang ia balas, hingga akhirnya pada usia sekitar 16 tahun aku lelah mengirim surat. Ketika ibuku melahirkan adikku tanpa kehadirannya, ya, ayahku meninggalkan kami ketika adikku masih di dalam kandungan.

Aku ungkapkan semua kekecewaanku, aku katakan tentang kebesaran hati ibuku yang mampu membesarkan kami tanpa didampingi olehnya dan aku bersyukur ibuku bukan orang yang tega meniggalkan anaknya di panti asuhan. Seorang wanita tangguh yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan anak-anaknya, mulai dari pagi buta sampai larut malam. Entah sudah berapa banyak tetesan air mata yang mengalir di pipiku siang itu, hatiku terasa perih, karena luka yang ia torehkan selama 15 tahun.

Allah, betapa pahitnya kenyataan ini! Aku putuskan untuk pulang ke Bandung malam nanti, namun situasi malam itu tidak mendukung karena kendaraan umum di daerah itu jika malam hari sudah tidak ada, aku semakin kecewa, maksudku jika pada malam hari tidak ada kendaraan umum di daerah itu, kenapa tidak memberi tahu, jadi aku bisa mengambil keputusan untuk pulang siang itu juga. Kembali ku teteskan air mata, sekitar dua jam aku menangis "Aku ingin pulang", aku ingin bersama ibuku.

Esok harinya setelah menelepon ibuku, akhirnya aku putuskan untuk pulang ke Bandung hari lusa. Mungkin kemarin aku terlalu emosi mengambil keputusan untuk pulang hari itu juga, aku coba menikmati suasana di sana. Tiba saatnya aku kembali ke kota kelahiranku, aku diantar oleh ayahku, namun sepanjang perjalanan tidak terlalu banyak komunikasi yang terjalin.

Tiba di Kota Bandung pukul satu malam,

Senin, 19 September 2011

Hingga Akhir Waktu

Beberapa hari yang lalu ada yang masuk di pesan facebookku dari seorang lelaki, dia mendapat alamat facebookku dari teman kursusku. Katanya dia sedang mencari pasangan dan ingin ta’aruf denganku, kemudian temanku setelah meminta izin memberikan nomor hapeku padanya. Kami mulai komunikasi, awalnya dia hanya menanyakan; Sedang apa? Lagi kerja ya? Sudah pulang ya? Dan beberapa sms yang hanya basa basi, hitungannya dari 3 sms yang dia kirim hanya 1 yang aku balas, karena memang bukan hal yang penting menurutku.

Setelah beberapa hari, dia menyampaikan niatnya untuk ta’aruf denganku, kurang lebih seperti ini;

Dia : "Maaf, bolehkah aku ta’aruf lebih dekat dengan kamu?"

Aku : "Silahkan, tapi sekarang saya lagi gak kepikiran untuk ta’aruf ke jenjang pernikahan, lagi fokus skripsi, awal 2012 sidang"

Dia : "Ta’aruf kan gak harus cepet-cepet nikah, tapi saling memahami sifat masing-masing dulu"

Tidak aku balas sms terakhir, karena yang aku maksud kalau untuk ta'aruf sebagai teman tidak masalah, karena untuk saat ini otakku sedang penuh dengan tugas akhir dan pekerjaan kantorku yang menumpuk, kemudian dia sms lagi menanyakan perihal nomor hape;

Dia : "Nomor hape kamu ganti yang ini ya?"

Aku : "Gak, sementara yang itu non aktif dulu terlalu banyak orang sms, lagi fokus tugas akhir"

Dia : "Kalau gituh aku gak akan ganggu kamu dulu, tapi kalau sms untuk bangunin shalat tahajjud gak apa-apa kan?" (Sebelumnya dia telah beberapa kali mengingatkan aku untuk shalat tahajjud dan dhuha).

Aku : "Terserah, tapi saya juga sudah pasang alarm, jadi percuma"

Dia : "Oh, terima kasih ya sudah kasih kesempatan untuk ta’aruf lebih dekat" aku tidak membalas sms terakhir karena aku sudah mengantuk.

Sebenarnya aku sudah mulai terbiasa dengan kesendirianku (Sally Sendiri), dan sekarang ada orang yang rajin membangunkanku untuk shalat tahajjud, aku bersyukur karena ada yang mau mengingatkanku dalam hal kebaikan, seperti salah satu do'aku padaNya bahwa aku ingin memiliki suami yang bisa membangunkanku untuk shalat tahajjud, mengingat waktu tidurku cukup panjang, setiap harinya rata-rata aku menghabiskan waktu untuk tidur 10 jam terkadang aku mampu tidur 12 bahkan 14 jam jika aku sedang tidak ada kewajiban menunaikan ibadah shalat. Tadi malam dia masih membangunkanku untuk shalat tahajjud meskipun selalu tidak aku balas, bahkan ketika aku pulang ke Bandung, dia mengirim sms padahal seingatku tidak memberitahunya tentang kepulanganku;

"Assalamu’alaikum, Syel jadi pulang ke Bandung hari ini? Hati-hati di jalan ya"

Terbersit tanya dalalam hatiku; ini mau ta’aruf apa mau pacaran islami? Karena menurutku kalau ta’aruf komunikasinya tidak seperti ini, jadi seperti orang pacaran saja. Karena meskipun aku dulu pernah dua kali pacaran (seperti kata temanku: kalau pernah pacaran mah bukan akhwat namanya, tapi ah gawat), walaupun aku tidak pernah mengaku-ngaku sebagai seorang akhwat dan aku memang belum kaffah mengikuti aturan islam tapi sekarang aku tidak pernah berminat untuk kembali bermain api (pacaran), karena aku tidak ingin membakar hatiku dengan hal seperti itu lagi, mengingat betapa sulitnya aku berjuang selama kurang lebih enam bulan untuk melupakan seseorang yang dahulu dia selalu berusaha ada untukku dan dia akhiri hubungan kami dengan pengkhianatan.

Aku sendiri tidak mengerti dengan semua gejolak yang sedang terjadi di hatiku "Hati wanita adalah lautan terdalam yang sulit diselami", jujur saja aku ingin segera menikah tapi dari beberapa orang yang pernah mengutarakan maksudnya padaku, termasuk salah satu temanku di pesantren yang ingin mempererat tali silaturahmi dengan ikatan pernikahan, namun sepertinya hatiku belum merasa mantap, hingga beberapa orang sering berkomentar yang sedikit mengiris hatiku dan membuat aku menangis dalam renungan. Jika mereka menganggap aku seorang pemilih, apakah aku salah? Karena menikah bukan untuk satu dua hari, mungkinkah aku membangun biduk rumah tangga bersama orang yang aku tidak mencintainya? Semua orang pasti berharap akan bersama orang yang dikasihinya hingga akhir waktu, seperti lirik lagu Sepanjang Hidup - Maher Zain;

Sepanjang hidup bersamamu
Kesetiaanku tulus untukmu
Hingga akhir waktu...
Kaulah cintaku, Cintaku
Sepanjang hidup seiring waktu
Aku bersyukur atas hadirmu
Kini dan selamanya aku milikmu
Yakini hatiku.

Lirik lengkapnya cari sendiri ya, ada dalam bahasa Inggris juga "For the rest of my life", penyanyinya orang Libanon, ganteng banget.

Senin, 12 September 2011

Wisata Pulau Dewata

Tak seperti hatiku yang riuh, suasana hening tanpa  gemuruh angin yang berbisik, aku masih terjaga hanyut dalam pergolakan batinku, waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari, padahal pagi ini aku akan berlibur ke Bali. Ada yang sedang aku pikirkan dan cukup menyita waktu tidurku. (08 Sep 2011)

Pulau Bali atau biasa di sebut Pulau Dewata adalah daerah wisata yang terletak diantara Pulau Jawa dan Pulau Lombok, aku pergi bersama Herta, Yanto, Dadan, Iwan, Selvy dan Rafli. Kami pergi ke pulau tersebut dengan menggunakan Maskapai Penerbangan Air Asia. Tidak terlalu banyak daerah wisata yang kami kunjungi di sana, namun cukup memberikan kesan bahwa pulau tersebut memang indah. Objek wisata yang kami kunjungi adalah GWK, Dream Land, Pantai Kuta, Tanah Lot, Bedugul, dan malam terakhir kami makan di Jimbaran.

Hari ketiga berada di Pulau Bali, pagi setelah shalat shubuh kami sudah keluar hotel ingin menikmati sunrise di Pantai Kuta, tapi ternyata salah prediksi di pantai ini keindahan matahari bisa dinikmati pada sore hari, aku bermain dengan ombak yang sedang pasang dan di pinggir pantai aku ukir namaku, tadinya aku ingin mengukir nama seseorang juga, tapi niat itu aku urungkan cukup namanya terukir di hatiku saja dan tak akan terhapus oleh sapuan ombak.

Sorenya kami pergi ke Tanah Lot untuk menikmati sunset, di sana mataku tertuju pada panah yang di jual pedagang souvenir, aku langsung menanyakan berapa harga panah tersebut dan Alhamdulillah setelah tawar menawar berlangsung aku dapatkan harga yang relatif murah karena sebelumnya aku sudah searching di internet. Kemudian temanku bertanya:

Aku: Mau manah apa Seli?

Dia: Mau manah hati seseorang.

Awalnya temanku sudah khawatir akan terjadi masalah di bandara jika membawa senjata tajam, dan memang kekhawatiran itu terjadi.


Bersambung...

Jumat, 02 September 2011

Rasa Yang Tertinggal

Idul fitri kali ini tanpa adanya sosok lelaki itu, seseorang yang beberapa bulan lalu istirahat untuk selamanya, ada yang hilang! Tak seperti biasanya, rumah tua yang aku tempati sejak kecil itu, jika hari raya banyak saudara dan kerabat dekat yang berkunjung untuk bersilaturahmi, karena kakekku adalah anak lelaki tertua di keluarganya.

Beberapa tetangga mulai berkunjung ke rumah untuk bersilaturahmi dan saling memaafkan, kemudian aku dan ibuku pun bersilaturahmi ke rumah tetangga setelah itu kami berangkat ke rumah paman dan bibiku di Ujung Berung (nama daerah di Kota Bandung, tempat aku dilahirkan dan tempat pemakaman keluarga).

Ada yang menyentuh jiwa dan rasa yang tertinggal di hati ketika mendengar cerita tentang Azis dan Fauzi. Kedua anak lelaki itu adalah sepupuku, anak dari Mang Rahmat (adik dari ibuku). Pagi itu setelah mereka melaksanakan Shalat Ied, mereka pamit kepada Mang Nana (suami dari adik ibuku);

"Mang ka bumi heula nya" kata Azis. Rumah paman dan bibi dari ibuku bersebelahan.

"Nya sok" jawab Mang Nana.

Setelah beberapa menit kemudian, Azis dan Fauzi belum juga muncul di rumah bibiku, Mang Nana menyusul ke rumahnya, di rumah itu mereka berdua sedang diselimuti rasa sedih, tetesan air mengalir dari mata mereka.

"Hayu ka imah urang ngupat" ajak Mang Nana.

Ketika di rumah bibiku, Azis sungkem dan langsung memeluk bibiku sambil menangis.

"Geus ulah dicengceurikan da nu geus euweuh mah euweuh" kata Mang Nana.

Azis dan Fauzi baru saja di tinggal wafat oleh ibunya dan kini ayahnya berada di Palembang untuk mencari rezeki mengikuti jejak kakaknya. Rahmat adalah adik kedua ibuku, pekerjaannya sebagai tukang ojeg dan dia adalah seorang pemabuk namun mempunyai istri yang shalihah, seorang guru ngaji yang ketika wafatnya banyak sekali yang melayat, terkadang Allah menyatukan dua jiwa yang memiliki perbedaan sangat signifikan dalam satu ikatan pernikahan. Namun Sang Pemabuk itu mendapat hidayah Allah ketika bapaknya meninggal. Ia mulai rajin melaksanakan shalat lima waktu dan belajar mengaji pada istrinya, hatinya pun mulai terikat dengan masjid. Subhaanallah.

                                                                                             ***
Suatu hari dirumah Mang Rahmat;

"Lis, ajarkeun ngaji" kata Mang Rahmat.

"Sok" kata Bi Lisda.

"Ari iyeu huruf naon" tanya Mang Rahmat.

Pamanku baru tergugah hatinya untuk belajar mengaji, tapi tak pernah ada kata terlambat untuk belajar, malamnya Bi Lisda hendak melaksanakan Shalat Tahajjud;

"Rek kamana Lis?" tanya Mang Rahmat.

"Shalat Tahajjud" jawab Bi Lisda.

"Rahmat miluan" hatinya terketuk "Tapi Rahmat mah teu bisa jadi imam" lanjutnya.

"Teu nanaon teu jadi imam ge, shalat masing-masing weh, shalatna dua roka'at, bacaanna mah jiga shalat biasa, tah iyeu du'a tas shalatna.

Keharmonisan yang terbangun ketika suami istri saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran. Subhaanallaah, Subhaanallaah, Subhaanallaah. Meskipun suasana ini hanya berlangsung beberapa bulan tapi telah memberikan ibrah bagi Mang Rahmat, karena Allah berkehendak beberapa bulan setelah kepergian bapaknya, istrinya pun meninggalkannya.

Skenario yang cukup mengiris hati namun menghadiahkan berjuta hikmah; seorang pemabuk yang mendapat hidayah setelah bapaknya meninggal dunia namun harus berbesar hati ketika Allah pun mengambil nyawa istrinya, dua anak yang baru beranjak dewasa namun harus kehilangan sosok yang selama ini menaunginya dengan kasih sayang dan harus merayakan hari lebaran tanpa kehadiran sang ayah. Kematian adalah sesuatu yang pasti dan setiap jiwa akan merasakannya, banyak rasa yang tertinggal yang Allah pahatkan dengan tinta emas di relung hatiku setelah kepergian mereka.




*Mohon maaf kepada seluruh tokoh yang terlibat dalam kisah ini jika ada tulisan yang kurang berkenan.

Senin, 29 Agustus 2011

Untukmu Aku Bernyanyi


Di penghujung Ramadhan kali ini kondisi badanku kurang fit, virus mulai menguasai tubuhku "Ya Allah, Engkau Maha Penyembuh" tapi masih banyak kekuatan untuk menyambut hari kemenangan. Aku teringat kisah di balik Ramadhan beberapa tahun yang lalu.

Bulan Ramadhan tahun itu adalah pertama kalinya aku pergi ke Pulau Sumatera, umurku waktu itu sekitar 17 tahun, meskipun waktu kecil aku pernah tinggal di pulau ini namun terlalu samar untuk mengingatnya. Aku pamit pada kakek dari ibuku untuk mengikuti kegiatan pesantren kilat di sekolah, padahal tujuanku menjenguk nenek dari ayahku yang sedang sakit.

Malam itu aku berangkat dari Bandung pukul delapan malam menggunakan Bus Kramat Jati tujuan Metro Lampung, aku pergi seorang diri tanpa mengetahui seperti apa Kota Lampung, kakakku menitipkan aku pada sopir agar diturunkan di Kantor Polisi Terminal Rajah Basa (terminal yang terkenal rawan), esoknya aku sudah ada di Kota Lampung. Seperti pesan kakakku pada sang sopir, aku diturunkan depan kantor polisi, bergegas aku menuju kantor polisi tanpa menjawab orang yang bertanya aku hendak kemana.

Tiba di kantor polisi aku langsung menanyakan wartel untuk menghubungi tanteku, karena aku lihat hapeku tidak ada sinyal, waktu itu belum terlalu banyak orang menggunakan hape, posisi wartel berada di seberang kantor polisi. Aku pijit nomor telepon rumah tanteku;

“Hallo" suara di seberang sana.

"Ini Seli udah nyampe Rajah Basa” kataku.

“Oh, ya udah Seli tunggu aja disitu nanti Oomnya jemput” kata orang itu.

“Seli di kantor polisi ya, pake kerudung biru, baju biru, celana item terus sendal merah” menjelaskan posisiku nanti dan pakaian yang aku kenakan.

“Iya nanti Oom Jagat sama Oom Syaf yang jemput” suara tadi adalah tanteku.

Setelah membayar aku kembali ke kantor polisi, sambil menunggu aku berbincang-bincang dengan para polisi. Di sisi lain dua orang lelaki sedang menghubungi nomor  telepon yang aku hubungi tadi, salah seorang dari mereka membayar setelah selesai;

“Nomor  teleponnya kok sama dengan anak perempuan yang tadi” kata penjaga wartel.

“Iya, anak itu yang kami cari, dimana dia?” salah satu dari mereka bertanya.

“Itu tadi nyebrang ke kantor polisi” penjaga wartel menunjuk.

Di kantor polisi itu aku bercerita tentang tujuanku ke kota ini, kemudian dua orang lelaki masuk dan salah seorang dari mereka bertanya pada polisi di sampingku;

“Maaf pak, lihat anak perempuan pakai kerudung biru, baju biru, celana item dan sandal warna merah”

Polisi itu menunjuk padaku “Yang ini bukan?’’

Aku dan lelaki itu saling berpandangan, 15 tahun yang lalu terakhir kami bertemu ketika umurku masih 2 tahun, mungkin Pak Polisi melihat raut wajahku seperti tidak yakin bahwa aku mengenal lelaki itu.

“Yang ini bukan Oomnya” kata Polisi di sampingku.

Aku mengangguk dan mengulurkan tanganku untuk menyalami lelaki itu “Iya” kataku dalam keraguan.


                                                                                           ***

Hari itu Allah pertemukan aku dan ayahku setelah 15 tahun tidak pernah ada kabar berita darinya, namun ketika bertemu dengannya rasa rindu yang selama ini ada seperti hilang di telan bumi, ketika aku menatap wajahnya hatiku berkata "Oh, ini ayah Seli teh" tidak seperti lagu Broery Marantika yang terkadang aku nyanyikan;

Dimana... akan ku cari
Aku menangis seorang diri
Hatiku ingin selalu bertemu
Untukmu aku bernyanyi

Untuk ayah tercinta
Aku ingin bernyanyi
Walau air mata di pipiku

Ayah dengarkanlah
Aku ingin berjumpa
Walau hanya dalam mimpi

Bersambung: Hati Yang Terluka