Rabu, 21 Desember 2011

Persimpangan Masa Silam

Dalam benakku
Lama tertanam
Sejuta bayangan dirimu...

Sebaiknya aku memang harus menyelesaikan semua ini, cukup sudah aku tertahan dalam persimpangan masa silam. Aku harus lebih berusaha untuk menghapus bayangan itu, meskipun sulit dan sungguh teramat sulit. Otakku sedang bekerja lebih extra untuk menentukan siapa nama orang yang akan bersanding dengan namaku di kartu undangan. Sekarang kita kesampingan masalah perasaanku pada seseorang yang membuat aku tertahan di persimpangan, karena aku harus segera menentukan jalan mana yang akan aku tempuh. Dan aku sangat membutuhkan Allah untuk menentukan pilihan ini.

Hari ini badan terasa remuk redam setelah dua hari kemarin berturut-turut pulang larut malam hanya untuk permainan dan senda gurau, lebih tepatnya mencoba mencari rasa meskipun ternyata aku tidak menemukannya, kemudian semalam aku ke Cibubur untuk fitting baju acara pernikahan temanku. Lelah, semoga masih ada kekuatan untuk nanti malam belajar di Almanar, semoga!

Apakah aku masih bisa jatuh cinta pada orang lain? Itulah yang sedang aku cari. Hampir tiga tahun aku mengenalnya, secara face cukup dan secara finansial pun seperti itu. Tapi entah mengapa hatiku masih saja beku, aku mencoba memaklumi tentang masa lalunya yang akrab dengan dunia malam, setiap manusia berhak berubah apalagi ke arah yang lebih baik.

Aku salut atas kejujurannya untuk bercerita tentang kehidupannya di masa lalu yang sering keluar malam untuk menghabiskan waktu di dunia gemerlap. Aku jadi teringat tentang cerita temanku, dia seorang akhwat dan ketika itu terlibat perbincangan dengan seorang ikhwan, temanku berkata: "Aku berharap mempunyai seorang suami yang bisa menjadi imam dan membimbing hidupku" kemudian ikhwan itu berkata "Seandainya Allah memberikan kamu pasangan hidup yang justeru sebaliknya, kamu diposisikan untuk membimbingnya". Mungkin dia bukan lelaki yang akan memberi jawaban dari semua pertanyaanku mengenai ilmu agama, atau bahkan aku yang akan lebih banyak mentransfer ilmu agama yang sudah aku tahu, meskipun harapanku memiliki suami yang bisa menjadi tempat bertanya dan berbagi ilmu agama tapi jika kehendak Allah tidak sama dengan harapanku berarti itulah yang terbaik untukku.

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 216).

Aku mencoba memahami semua kejujuran yang ia katakan, aku berusaha memberikan respon yang bijak, aku tidak ingin secara sengaja menyakiti perasaannya atas komentarku. Begitu juga jika pada akhirnya aku tidak menjatuhkan pilihan padanya, dan semoga dia mendapatkan pasangan hidup yang sesuai dengan apa yang ia harapkan. Karena jika aku memutuskan untuk memilihnya, rintangan yang menghadang cukup besar, karena ternyata keluargaku kurang setuju jika aku menikah dengan orang yang mempunyai latar belakang suku yang sama dengan ayahku.

Ketika ia bercerita tentang kehidupannya yang kelam, namun kemudian sadar bahwa kehidupan seperti itu tidak bagus dan aku berkata: bersyukur kalau sadar kehidupan seperti itu tidak bagus. Kemudian mengenai ibadah shalat lima waktunya yang baru full semenjak lebaran kemarin, dan aku berkata: iya sebuah proses. Aku berusaha untuk berkomentar bijak, seperti ketika aku bercerita pada Ustadz Ahmad mengenai aku yang pernah terlibat hubungan kasih dengan seseorang, yang sebenarnya hubungan itu tidak ada dalam Islam dan kemudian Ustadz berkata: bersyukur Allah sudah mengingatkan anti.

Yang sedang berkecamuk di pikiranku saat ini adalah, apakah aku akan meneruskan cerita ini atau memotongnya saja seperti yang aku lakukan pada beberapa orang walaupun pada akhirnya mereka kecewa dan berkomentar yang cukup mengiris hati. Aku sebenarnya tidak ingin memberi harapan kosong pada orang yang tidak aku suka. Meskipun sepupuku pernah berkata: ayo Teh nyanyi lagu gantung, Teh Seli kan sering menggantung perasaan orang. Dengan simplenya aku berkata: sekuat-kuat mereka bertahan.

Sepulang dari kantor aku langsung memanfaatkan waktu untuk tidur sebelum berangkat ke Almanar, sejam kemudian aku bangun dan bersiap-siap berangkat ke Almanar meskipun masih dalam keadaan mengantuk tapi aku harus pergi. Setelah selesai belajar aku bergegas pulang, rasanya badan ini terasa lemas, sesampainya di kostan udara terasa panas dan kepalaku terasa sakit.

Kata temanku "Kenapa Sel, kayak yang capek banget"

"Sakit kepala" jawabku dan kemudian sepupuku memberi obat sakit kepala.

"Hang" mengantuk tapi cukup sulit mata ini dipejamkan, kasur sudah basah oleh keringat, badan terasa sakit dan pegal, efek dari pulang larut malam. Ya Allah, ampuni hambaMu yang telah lalai dan membuang waktu untuk kesenangan dunia. Rabbi, inni dzalamtu nafsi faghfirli.