Minggu, 11 Agustus 2013

Sajak Untuk Mentari

"Kepadamu pemilik hati yang sempat termiliki, yang hadir sebagai bagian rangkaian takdir, aku menulis ini untukmu"

Dewi ingin menghapus sajak yang selalu ia tulis untuk Mentari. Bukan hanya sebait tapi seluruh, demi hatinya yang kian merapuh.

"Ya Tuhanku, tuangkanlah kesabaran atas diriku, kokohkanlah langkahku"

Luruh kembali airmatanya yang ia janji tak ingin menjatuhkannya lagi. Bukan hanya setitik rintik tapi menggerimis.

"Kau ingat aku pernah tumbuhkan perdu rindu, pada titian jembatan antara jurang, pada bebukit yang meninggi julang, hanya biar aku tahu ada jalan menujumu" tulis Sang Dewi. 

Andai Dewi mampu menumpahkan seluruh airmatanya lalu ia reguk hingga mabuk agar dahaga kerinduan itu terpuaskan.

Tapi kemarau panjang itu gersang, membunuh padang-padang ilalang, dan kerinduan itu mati ditelan musim berganti, terbakar Mentari yang terlampau terik.

***
Seharusnya aku tak menulis apa pun lagi untukmu.  Karena tiada kata yang sanggup melukiskan nganga luka.

Mentari Menorehkan Luka

Dalam kesendirian dan terik padang perjalanannya, cinta telah memberikan pelajaran berharga bagi jiwa Sang Dewi untuk bercermin.

"Aku tengah belajar cara lain memahami cinta. Terkadang aku tak mampu berbuat apa-apa atas hatiku." Dewi mulai membaca isi hatinya perlahan-lahan.

"Allah, ampunilah kebodohanku. Aku hanyalah orang yang tengah belajar menjadi pemimpin untuk diriku sendiri.

Pikiran adalah hal paling fana yang Dewi ketahui. Ia seperti membangun sarang dari angin dan hidup di pusaranya yang tak pernah henti mengajarkan kekecewaan.

"Ya Allah, ampunilah kepicikan hatiku yang tak mampu melihat rahasia-Mu." Tapi, siapa bisa mengira besar gelombang di bawah laut? Dewi mulai kecewa pada retorika Mentari yang menghantamnya dalam beku.

Danau di kelopak mata Dewi mulai terlihat, ia beberapa kali menghela napas dengan susah-payah, lantas menyerah pada air mata yang tak kunjung kering. Ia menelungkupkan punggungnya memeluk meja dan tersedu-sedu.

Dewi berharap Mentari merengkuh pundaknya yang laksana kepundan gunung tengah bergolak-golak. Tapi Mentari berlalu tanpa mengucapkan sepatah kata.

Dewi hanya seorang manusia lagi tengah berusaha membagun keyakinan pada Mentari. Hatinya begitu ringkih, Mentari yang selama ini menyinarinya, menorehkan luka yang begitu dalam. Luka itu begitu terpeta di jiwanya.

"Anggaplah kesalahan itu sesuatu yang wajar melekat pada manusia." Dewi berusaha berdamai dengan hatinya.

Ia tak kuasa untuk tidak menangis. Kelopak itu menjelma sumber air yang terus memuntahkan isinya hingga kuyup seluruh pipi yang kian tirus itu.