Jumat, 02 September 2011

Rasa Yang Tertinggal

Idul fitri kali ini tanpa adanya sosok lelaki itu, seseorang yang beberapa bulan lalu istirahat untuk selamanya, ada yang hilang! Tak seperti biasanya, rumah tua yang aku tempati sejak kecil itu, jika hari raya banyak saudara dan kerabat dekat yang berkunjung untuk bersilaturahmi, karena kakekku adalah anak lelaki tertua di keluarganya.

Beberapa tetangga mulai berkunjung ke rumah untuk bersilaturahmi dan saling memaafkan, kemudian aku dan ibuku pun bersilaturahmi ke rumah tetangga setelah itu kami berangkat ke rumah paman dan bibiku di Ujung Berung (nama daerah di Kota Bandung, tempat aku dilahirkan dan tempat pemakaman keluarga).

Ada yang menyentuh jiwa dan rasa yang tertinggal di hati ketika mendengar cerita tentang Azis dan Fauzi. Kedua anak lelaki itu adalah sepupuku, anak dari Mang Rahmat (adik dari ibuku). Pagi itu setelah mereka melaksanakan Shalat Ied, mereka pamit kepada Mang Nana (suami dari adik ibuku);

"Mang ka bumi heula nya" kata Azis. Rumah paman dan bibi dari ibuku bersebelahan.

"Nya sok" jawab Mang Nana.

Setelah beberapa menit kemudian, Azis dan Fauzi belum juga muncul di rumah bibiku, Mang Nana menyusul ke rumahnya, di rumah itu mereka berdua sedang diselimuti rasa sedih, tetesan air mengalir dari mata mereka.

"Hayu ka imah urang ngupat" ajak Mang Nana.

Ketika di rumah bibiku, Azis sungkem dan langsung memeluk bibiku sambil menangis.

"Geus ulah dicengceurikan da nu geus euweuh mah euweuh" kata Mang Nana.

Azis dan Fauzi baru saja di tinggal wafat oleh ibunya dan kini ayahnya berada di Palembang untuk mencari rezeki mengikuti jejak kakaknya. Rahmat adalah adik kedua ibuku, pekerjaannya sebagai tukang ojeg dan dia adalah seorang pemabuk namun mempunyai istri yang shalihah, seorang guru ngaji yang ketika wafatnya banyak sekali yang melayat, terkadang Allah menyatukan dua jiwa yang memiliki perbedaan sangat signifikan dalam satu ikatan pernikahan. Namun Sang Pemabuk itu mendapat hidayah Allah ketika bapaknya meninggal. Ia mulai rajin melaksanakan shalat lima waktu dan belajar mengaji pada istrinya, hatinya pun mulai terikat dengan masjid. Subhaanallah.

                                                                                             ***
Suatu hari dirumah Mang Rahmat;

"Lis, ajarkeun ngaji" kata Mang Rahmat.

"Sok" kata Bi Lisda.

"Ari iyeu huruf naon" tanya Mang Rahmat.

Pamanku baru tergugah hatinya untuk belajar mengaji, tapi tak pernah ada kata terlambat untuk belajar, malamnya Bi Lisda hendak melaksanakan Shalat Tahajjud;

"Rek kamana Lis?" tanya Mang Rahmat.

"Shalat Tahajjud" jawab Bi Lisda.

"Rahmat miluan" hatinya terketuk "Tapi Rahmat mah teu bisa jadi imam" lanjutnya.

"Teu nanaon teu jadi imam ge, shalat masing-masing weh, shalatna dua roka'at, bacaanna mah jiga shalat biasa, tah iyeu du'a tas shalatna.

Keharmonisan yang terbangun ketika suami istri saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran. Subhaanallaah, Subhaanallaah, Subhaanallaah. Meskipun suasana ini hanya berlangsung beberapa bulan tapi telah memberikan ibrah bagi Mang Rahmat, karena Allah berkehendak beberapa bulan setelah kepergian bapaknya, istrinya pun meninggalkannya.

Skenario yang cukup mengiris hati namun menghadiahkan berjuta hikmah; seorang pemabuk yang mendapat hidayah setelah bapaknya meninggal dunia namun harus berbesar hati ketika Allah pun mengambil nyawa istrinya, dua anak yang baru beranjak dewasa namun harus kehilangan sosok yang selama ini menaunginya dengan kasih sayang dan harus merayakan hari lebaran tanpa kehadiran sang ayah. Kematian adalah sesuatu yang pasti dan setiap jiwa akan merasakannya, banyak rasa yang tertinggal yang Allah pahatkan dengan tinta emas di relung hatiku setelah kepergian mereka.




*Mohon maaf kepada seluruh tokoh yang terlibat dalam kisah ini jika ada tulisan yang kurang berkenan.