Rabu, 02 November 2011

Meraih Cinta Ilahi

Ada pesan yang masuk di hapeku, sms dari sepupuku yang menyuruh aku untuk pulang ke Lampung pada hari pernikahan tanteku, tidak aku balas dan beberapa saat kemudian "Kriiing... Kriing..." suara hapeku, tidak aku angkat. Galau sedang melanda jiwa "Aku kecewa pada ayahku", aku buka media di hapeku dan aku pilih music, saat seperti ini sebaiknya aku mendengarkan ayat suci yang dilantunkan Musyari Rasyid, sampai di surat At-Takwir ayat 26, hatiku terusik ketika Allah bertanya "Fa aina tadzhabun?". Aku pertama kali mendapatkan penggalan ayat tersebut di buku "Memaknai Kematian" yang aku beli sekitar tahun 2008.

Kemudian aku search di google tentang penggalan ayat tersebut, kebetulan pekerjaan kantor tidak terlalu banyak, aku dihantarkan pada buku berjudul "Meraih Cinta Ilahi" dan ternyata pengarang buku tersebut sama. Di kata pengantar diceritakan tentang pengajian yang diadakan setiap hari ahad di Masjid Al-Munawwarah, pengajian tersebut di buka untuk umum dan murid SMA Plus Muthahhari setiap minggunya mendapat kewajiban untuk menghadiri acara itu secara bergiliran (aku jadi teringat masa-masa di SMA dulu).

"Hendak ke mana kalian pergi?" Sejenak merenungi perjalanan hidup yang telah aku lewati, tersadar setelah jauh melangkah. Wahai Tuhan seluruh alam semesta, betapa aku telah banyak menghabiskan waktuku dengan kesenangan dunia, padahal Engkaulah tempat kembali. Nabi Ibrahim berkata "Sesungguhnya aku pergi menghadap Tuhanku dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku" dalam surat Ash-Shaffat ayat 99. Ketika itu Nabi Ibrahim pergi ke suatu negeri untuk dapat menyembah Allah dan berdakwah. Seperti Nabi Ibrahim, seorang mukmin adalah ia yang telah mengambil keputusan bahwa perjalanannya adalah untuk menuju Tuhan.

Pertanyaan "Fa aina tadzhabun" juga dikenal dalam istilah Latin yang menyebutnya, "Quo Vadis?" Istilah Latin itu ditujukkan untuk orang yang menyimpang atau aneh, demikian pula dalam Al-Quran. Allah bertanya kepada orang-orang yang jalannya melenceng yaitu kepada kaum kafir karena mereka mengingkari Al-Qur'an, padahal sudah diterangkan bahwa Al-Qur'an itu benar-benar datang dari Allah dan di dalamnya berisi pelajaran dan petunjuk yang memimpin manusia ke jalan yang lurus. Maka ke manakah kalian akan pergi?

Apa sebenarnya tujuan akhir dari perjalanan hidup ini? Apakah itu berupa karir, kedudukan, kekayaan, atau kemasyhuran. Al-Quran senantiasa mengingatkan kita untuk mulai berangkat menuju Tuhan. Allah berfirman: Oleh karena itu, bersegeralah berlari kembali menuju Allah. (QS. Al-Dzariyat : 50). Allah tidak hanya menyuruh kita untuk berjalan, bahkan memerintahkan kita berlari kepadaNya. Hidup terlalu singkat jika kita pergi menuju Tuhan dengan cara berjalan, kita harus berlari sebelum waktu kita di dunia habis dan berakhir, sementara aku masih saja merangkak karena terlena dengan pesona dunia. 

Nabi pernah bertanya kepada para sahabatnya, "Bagaimana keadaan kalian, seandainya di antara kalian suatu saat berada di padang pasir membawa perbekalan dan unta, lalu kalian tertidur; dan ketika bangun, kalian mendapati unta dan perbekalanmu hilang?" Para sahabat menjawab, "Tentu cemas sekali, ya Rasulallah!" Rasulullah melanjutkan, "Di saat kalian cemas, tiba-tiba kalian lihat unta itu kembali dari tempat jauh dan menghampiri kalian dengan membawa seluruh perbekalanmu. Apa perasaan kalian?" Para sahabat kembali menjawab, "Tentu kami akan bahagia sekali." Nabi yang mulia lalu berkata, "Allah akan lebih bahagia lagi melihat hambaNya yang datang kepadaNya daripada kebahagiaan seseorang yang kehilangan unta kemudian ia melihat untanya datang kembali kepadanya."
 
Hadits riwayat Ahmad dan Al-Thabrani berbunyi, "Barangsiapa yang mendekati Allah sesiku, Dia akan mendekatinya sehasta. Barangsiapa mendekati Allah sambil berjalan, Allah akan menyambutnya sambil berlari." Balasan dari Allah selalu lebih hebat dari apa yang kita lakukan.
 
Dalam surat Luqman ayat 15, Allah juga menyuruh kita untuk mengikuti jalan orang yang kembali kepadaNya, jadi alangkah baiknya jika kita selalu berkumpul dengan orang-orang yang senantiasa berada di jalan menuju Dia. Dan perjalanan menuju Tuhan harus dilakukan dengan menyucikan diri dan membersihkan hati. Hati kita sering terkotori dengan dosa yang kita lakukan, dosa-dosa itu menghijab kita dari Tuhan. Mereka yang mampu berjumpa dengan Tuhan adalah mereka yang membawa hati yang bersih; bukan yang membawa harta dan anak-anaknya. Ya Allah, hamba adalah manusia yang bergelimang dosa, namun ingin kembali kepadaMu dalam keadaan fitri.

Dalam bahasa Arab, kata tazakka yang berarti menyucikan diri, juga berarti "tumbuh". Oleh karena itu, di dalam Islam, pertumbuhan seseorang diukur dari tingkat kesucian dirinya. Semakin suci dan bersih seseorang, semakin tinggi pulalah derajatnya. Psikologi Humanistik juga mengenal hal ini, Abraham Maslow menyebut puncak pertumbuhan manusia adalah pertumbuhan kepribadiannya, ia menyebutnya dengan aktualisasi diri atau self actualization.

Barangsiapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud untuk berhijrah kepada Allah dan RasulNya, lalu kematian menjemputnya, maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah... (QS. An-Nisa : 100).
 
Sebagian ulama menafsirkan kata "rumah" dalam ayat itu sebagai diri, egoisme, atau keakuan kita. Kita selalu berpikir akan kepentingan pribadi semata. Bila kita beribadah, itu pun dilakukan dalam konteks kepentingan diri kita. Kita bersedekah untuk menolak bencana demi keselamatan diri kita. Kita menunaikan shalat agar terhindar dari neraka dan mengharapkan surga. Kita sering beribadah dengan ibadah para pedagang, menjual ibadah kita untuk ditukar dengan pahala.

Hal ini berbeda dengan para ulama, mereka berupaya keluar dari "rumah" mereka untuk beribadah bukan karena mengharap pahala tetapi karena rasa terima kasih kepadaNya. Mereka merasa berhutang budi atas segala anugerah Allah, itulah ibadah yang sesungguhnya. Hubungan mukmin dengan Tuhannya bukanlah hubungan bisnis, melainkan hubungan cinta. Al-Quran menyebut orang yang beribadah kepada Tuhan tanpa meninggalkan dirinya karena terlalu cinta akan dirinya, sebagai orang yang telah mengambil Tuhan selain Allah. Ia mencintai dirinya lebih dari ia mencintai Tuhan. 

Di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sama seperti mereka mencintai Allah. Sementara orang-orang yang beriman sangat mencintai Allah. (QS. Al-Baqarah : 165).