Rabu, 16 November 2011

Sabarlah Wahai Jiwa

Rona rembulan tersenyum simpul membawa damai pada gersangnya gurun-gurun jiwa, tikaman dingin semakin menusuk. Mataku menatap setiap sudut waktu yang berkelebat hitam. Aku masih harus melangkah menyusuri jalan ini, meskipun lelah hati menggapai bayang yang kian memudar, membawa diri tertatih pahami jiwa yang letih.  

Sesaat kemudian merinaikan air mata di kelamnya malam...

"Galau" bisikku pada malam menjelang shubuh, tengadahku kemudian pada semesta yang masih memperlihatkan warna kelamnya, warna yang tergelayut pada pekatnya malam. Kapan? Tanyaku ringkih pada selasar waktu, tidak ada reaksi. Terjebak dalam kebisuan dan aku kembali menatap semesta yang merajuk pada kaki langit.

Dengarlah hembusan angin yang merintih sekarat, menghapus setiap sketsa kepedihan meskipun tak semudah air meluruhkan tinta. Semua buat aku gamang menapaki hari yang makin garang, bayangan itu kembali mengukir perih, aku terlumat gurat penat. 

"Rabb, aku letih" tapi aku harus terus berjalan meskipun debu melukai mataku.  Aku tidak akan kalah dan tidak akan menyerah! Masih ada secercah harapan... Sabarlah wahai jiwa!

"Tuhan pasti kan menunjukkan kebesaran dan kuasanya, bagi hamba-Nya yang sabar dan tak kenal putus asa."

Kamis, 10 November 2011

Mengajak Dengan Bijak

"Tawaashau bil haq wa tawaashau bish-shabr"

Potongan ayat tersebut mulai eksis dalam kehidupanku sekitar tahun 2008, ketika aku berselisih paham dengan salah satu temanku, kemudian temanku yang lain menasehatiku dengan memberikan ayat tersebut. Beberapa bulan yang lalu ketika aku pulang ke Bandung, aku menemukan buku "Melukis Cinta" yang aku beli sekitar tahun 2007, sebelum aku berangkat ke Kota Tasikmalaya. Aku baca kembali buku yang isinya menceritakan para aktivis dakwah dalam meraih cinta sejatinya.

"Jika ada pesan yang ingin disampaikan, tunggulah sampai ada saat yang tepat untuk bicara. Jika ada nasihat yang ingin diutarakan, cermatilah kapan kebenaran itu sebaiknya diungkapkan. Ketika Allah menyuruh kita untuk saling menasehati dalam kebenaran, bersama itu pula Allah menyuruh kita saling menasehati dengan kesabaran".

Beberapa hari setelah aku membaca buku tersebut, ketika aku dan teman-temanku kembali belajar bahasa arab di Almanar setelah libur lebaran, sangat kebetulan sekali Ustadz Ahmad (Baarakallaah Yaa Ustadz) membahas tentang surat Al-Asr. Sering sekali ketika ada sesuatu yang berkecamuk dipikiranku, Allah selalu memberi jawaban dan itu seperti mata rantai. Di akhir pekan itu aku mendapat banyak ilmu dari beliau termasuk Fiqih Dakwah.

Seperti biasa aku search di google tentang hal tersebut, "Cara Cerdas Nabi Mengoreksi Kesalahan Orang Lain", itulah buku yang aku dapatkan. Santun dalam menuntun. Penuh hikmah dalam berdakwah. Bijak ketika mengajak kepada yang hak. Mengoreksi tanpa membuat orang sakit hati, malah menerimanya dengan senang hati. Banyak para sahabat tergetar ketika beliau meluruskan mereka ke jalan yang benar. Itulah Nabi Muhammad. Segala ucapan dan perbuatannya selalu dipandu oleh wahyu, begitu pula cara beliau menegur dan mengoreksi kesalahan seseorang.

Kata "dakwah" dari segi bahasa berarti "memanggil, menyeru, atau mengajak", persepsi yang aku dapatkan dari kata dakwah yaitu; merangkul bukan menyeret. Kalau kita ingin sukses mengajak seseorang, berarti kita mesti cerdas memahami watak dan perilaku orang-orang yang akan kita ajak, sehingga kita bisa memilih dan menerapkan metode yang paling efektif. Karena setiap manusia itu memiliki karakter yang berbeda.

Ketika kita ingin melakukan "Ishlah" terhadap diri seseorang, hendaklah kita menyampaikannya dengan bijak. Aku juga termasuk orang yang seringkali menyampaikan sesuatu dengan tidak bijak yang terkadang membuat tali silaturahmi dengan orang tersebut jadi putus, padahal sesama muslim itu bersaudara.

Kalau kata Ukht Ririn "Jangan karena kita sudah tahu tentang suatu ilmu, lantas kita sombong akan ilmu tersebut dan merasa diri paling benar". Di atas langit masih ada langit.

Rabu, 02 November 2011

Meraih Cinta Ilahi

Ada pesan yang masuk di hapeku, sms dari sepupuku yang menyuruh aku untuk pulang ke Lampung pada hari pernikahan tanteku, tidak aku balas dan beberapa saat kemudian "Kriiing... Kriing..." suara hapeku, tidak aku angkat. Galau sedang melanda jiwa "Aku kecewa pada ayahku", aku buka media di hapeku dan aku pilih music, saat seperti ini sebaiknya aku mendengarkan ayat suci yang dilantunkan Musyari Rasyid, sampai di surat At-Takwir ayat 26, hatiku terusik ketika Allah bertanya "Fa aina tadzhabun?". Aku pertama kali mendapatkan penggalan ayat tersebut di buku "Memaknai Kematian" yang aku beli sekitar tahun 2008.

Kemudian aku search di google tentang penggalan ayat tersebut, kebetulan pekerjaan kantor tidak terlalu banyak, aku dihantarkan pada buku berjudul "Meraih Cinta Ilahi" dan ternyata pengarang buku tersebut sama. Di kata pengantar diceritakan tentang pengajian yang diadakan setiap hari ahad di Masjid Al-Munawwarah, pengajian tersebut di buka untuk umum dan murid SMA Plus Muthahhari setiap minggunya mendapat kewajiban untuk menghadiri acara itu secara bergiliran (aku jadi teringat masa-masa di SMA dulu).

"Hendak ke mana kalian pergi?" Sejenak merenungi perjalanan hidup yang telah aku lewati, tersadar setelah jauh melangkah. Wahai Tuhan seluruh alam semesta, betapa aku telah banyak menghabiskan waktuku dengan kesenangan dunia, padahal Engkaulah tempat kembali. Nabi Ibrahim berkata "Sesungguhnya aku pergi menghadap Tuhanku dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku" dalam surat Ash-Shaffat ayat 99. Ketika itu Nabi Ibrahim pergi ke suatu negeri untuk dapat menyembah Allah dan berdakwah. Seperti Nabi Ibrahim, seorang mukmin adalah ia yang telah mengambil keputusan bahwa perjalanannya adalah untuk menuju Tuhan.

Pertanyaan "Fa aina tadzhabun" juga dikenal dalam istilah Latin yang menyebutnya, "Quo Vadis?" Istilah Latin itu ditujukkan untuk orang yang menyimpang atau aneh, demikian pula dalam Al-Quran. Allah bertanya kepada orang-orang yang jalannya melenceng yaitu kepada kaum kafir karena mereka mengingkari Al-Qur'an, padahal sudah diterangkan bahwa Al-Qur'an itu benar-benar datang dari Allah dan di dalamnya berisi pelajaran dan petunjuk yang memimpin manusia ke jalan yang lurus. Maka ke manakah kalian akan pergi?

Apa sebenarnya tujuan akhir dari perjalanan hidup ini? Apakah itu berupa karir, kedudukan, kekayaan, atau kemasyhuran. Al-Quran senantiasa mengingatkan kita untuk mulai berangkat menuju Tuhan. Allah berfirman: Oleh karena itu, bersegeralah berlari kembali menuju Allah. (QS. Al-Dzariyat : 50). Allah tidak hanya menyuruh kita untuk berjalan, bahkan memerintahkan kita berlari kepadaNya. Hidup terlalu singkat jika kita pergi menuju Tuhan dengan cara berjalan, kita harus berlari sebelum waktu kita di dunia habis dan berakhir, sementara aku masih saja merangkak karena terlena dengan pesona dunia. 

Nabi pernah bertanya kepada para sahabatnya, "Bagaimana keadaan kalian, seandainya di antara kalian suatu saat berada di padang pasir membawa perbekalan dan unta, lalu kalian tertidur; dan ketika bangun, kalian mendapati unta dan perbekalanmu hilang?" Para sahabat menjawab, "Tentu cemas sekali, ya Rasulallah!" Rasulullah melanjutkan, "Di saat kalian cemas, tiba-tiba kalian lihat unta itu kembali dari tempat jauh dan menghampiri kalian dengan membawa seluruh perbekalanmu. Apa perasaan kalian?" Para sahabat kembali menjawab, "Tentu kami akan bahagia sekali." Nabi yang mulia lalu berkata, "Allah akan lebih bahagia lagi melihat hambaNya yang datang kepadaNya daripada kebahagiaan seseorang yang kehilangan unta kemudian ia melihat untanya datang kembali kepadanya."
 
Hadits riwayat Ahmad dan Al-Thabrani berbunyi, "Barangsiapa yang mendekati Allah sesiku, Dia akan mendekatinya sehasta. Barangsiapa mendekati Allah sambil berjalan, Allah akan menyambutnya sambil berlari." Balasan dari Allah selalu lebih hebat dari apa yang kita lakukan.
 
Dalam surat Luqman ayat 15, Allah juga menyuruh kita untuk mengikuti jalan orang yang kembali kepadaNya, jadi alangkah baiknya jika kita selalu berkumpul dengan orang-orang yang senantiasa berada di jalan menuju Dia. Dan perjalanan menuju Tuhan harus dilakukan dengan menyucikan diri dan membersihkan hati. Hati kita sering terkotori dengan dosa yang kita lakukan, dosa-dosa itu menghijab kita dari Tuhan. Mereka yang mampu berjumpa dengan Tuhan adalah mereka yang membawa hati yang bersih; bukan yang membawa harta dan anak-anaknya. Ya Allah, hamba adalah manusia yang bergelimang dosa, namun ingin kembali kepadaMu dalam keadaan fitri.

Dalam bahasa Arab, kata tazakka yang berarti menyucikan diri, juga berarti "tumbuh". Oleh karena itu, di dalam Islam, pertumbuhan seseorang diukur dari tingkat kesucian dirinya. Semakin suci dan bersih seseorang, semakin tinggi pulalah derajatnya. Psikologi Humanistik juga mengenal hal ini, Abraham Maslow menyebut puncak pertumbuhan manusia adalah pertumbuhan kepribadiannya, ia menyebutnya dengan aktualisasi diri atau self actualization.

Barangsiapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud untuk berhijrah kepada Allah dan RasulNya, lalu kematian menjemputnya, maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah... (QS. An-Nisa : 100).
 
Sebagian ulama menafsirkan kata "rumah" dalam ayat itu sebagai diri, egoisme, atau keakuan kita. Kita selalu berpikir akan kepentingan pribadi semata. Bila kita beribadah, itu pun dilakukan dalam konteks kepentingan diri kita. Kita bersedekah untuk menolak bencana demi keselamatan diri kita. Kita menunaikan shalat agar terhindar dari neraka dan mengharapkan surga. Kita sering beribadah dengan ibadah para pedagang, menjual ibadah kita untuk ditukar dengan pahala.

Hal ini berbeda dengan para ulama, mereka berupaya keluar dari "rumah" mereka untuk beribadah bukan karena mengharap pahala tetapi karena rasa terima kasih kepadaNya. Mereka merasa berhutang budi atas segala anugerah Allah, itulah ibadah yang sesungguhnya. Hubungan mukmin dengan Tuhannya bukanlah hubungan bisnis, melainkan hubungan cinta. Al-Quran menyebut orang yang beribadah kepada Tuhan tanpa meninggalkan dirinya karena terlalu cinta akan dirinya, sebagai orang yang telah mengambil Tuhan selain Allah. Ia mencintai dirinya lebih dari ia mencintai Tuhan. 

Di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sama seperti mereka mencintai Allah. Sementara orang-orang yang beriman sangat mencintai Allah. (QS. Al-Baqarah : 165).