Kamis, 29 Desember 2011

Perhiasan Terbaik Dunia

“Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim no. 1467)

Aku berkaca pada diriku, masih sangat jauh untuk menjadi seperti itu, apalagi dua minggu ini aku telah banyak menghabiskan waktu hanya untuk permainan dan senda gurau. Rabbi, inni dzalamtu nafsi faghfirli. Sedih rasanya ketika kualitas ibadahku semakin hari semakin berkurang. Evaluasi pasca Iedul Fithri 1432 H; Berapa kali aku pergi ke tempat karaoke? Berapa kali aku nonton film di bioskop? Berapa sering aku menyanyikan lagu cinta? Berapa sering aku mendengarkan musik? Berapa kali aku pergi ke Almanar? Berapa kali aku pergi ke Masjid? Berapa sering aku melantunkan ayat suci? Berapa sering aku mendengarkan muratal?

Aku butuh teman seperti Ukhti Ririn yang selalu mengingatkanku, aku butuh teman yang seiring sejalan berada dalam koridor yang benar. Rabbi, aku butuh teman yang akan memegang bila perlu menarik tanganku ketika aku mulai berbelok dari jalan yang lurus. Bukan justeru membiarkan atau bahkan mendorong aku ketika aku mulai menyimpang dari jalanMu. Bukan teman yang menjadi kayu bakar ketika aku bermain api. Aku tidak ingin seperti dulu lagi!!!

Sepertinya dan memang harus aku berbenah diri untuk menjadi lebih baik, tidak ingin rasanya terus tenggelam dalam kesenangan dunia, aku harus berusaha dan terus belajar untuk menjadi perhiasan terbaik dunia. Mulai dari sekarang!!!

http://spiritislam.net/index.php/2012/03/30/perhiasan-terbaik-dunia-untuk-generasi-terbaik-2/

Rabu, 21 Desember 2011

Persimpangan Masa Silam

Dalam benakku
Lama tertanam
Sejuta bayangan dirimu...

Sebaiknya aku memang harus menyelesaikan semua ini, cukup sudah aku tertahan dalam persimpangan masa silam. Aku harus lebih berusaha untuk menghapus bayangan itu, meskipun sulit dan sungguh teramat sulit. Otakku sedang bekerja lebih extra untuk menentukan siapa nama orang yang akan bersanding dengan namaku di kartu undangan. Sekarang kita kesampingan masalah perasaanku pada seseorang yang membuat aku tertahan di persimpangan, karena aku harus segera menentukan jalan mana yang akan aku tempuh. Dan aku sangat membutuhkan Allah untuk menentukan pilihan ini.

Hari ini badan terasa remuk redam setelah dua hari kemarin berturut-turut pulang larut malam hanya untuk permainan dan senda gurau, lebih tepatnya mencoba mencari rasa meskipun ternyata aku tidak menemukannya, kemudian semalam aku ke Cibubur untuk fitting baju acara pernikahan temanku. Lelah, semoga masih ada kekuatan untuk nanti malam belajar di Almanar, semoga!

Apakah aku masih bisa jatuh cinta pada orang lain? Itulah yang sedang aku cari. Hampir tiga tahun aku mengenalnya, secara face cukup dan secara finansial pun seperti itu. Tapi entah mengapa hatiku masih saja beku, aku mencoba memaklumi tentang masa lalunya yang akrab dengan dunia malam, setiap manusia berhak berubah apalagi ke arah yang lebih baik.

Aku salut atas kejujurannya untuk bercerita tentang kehidupannya di masa lalu yang sering keluar malam untuk menghabiskan waktu di dunia gemerlap. Aku jadi teringat tentang cerita temanku, dia seorang akhwat dan ketika itu terlibat perbincangan dengan seorang ikhwan, temanku berkata: "Aku berharap mempunyai seorang suami yang bisa menjadi imam dan membimbing hidupku" kemudian ikhwan itu berkata "Seandainya Allah memberikan kamu pasangan hidup yang justeru sebaliknya, kamu diposisikan untuk membimbingnya". Mungkin dia bukan lelaki yang akan memberi jawaban dari semua pertanyaanku mengenai ilmu agama, atau bahkan aku yang akan lebih banyak mentransfer ilmu agama yang sudah aku tahu, meskipun harapanku memiliki suami yang bisa menjadi tempat bertanya dan berbagi ilmu agama tapi jika kehendak Allah tidak sama dengan harapanku berarti itulah yang terbaik untukku.

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 216).

Aku mencoba memahami semua kejujuran yang ia katakan, aku berusaha memberikan respon yang bijak, aku tidak ingin secara sengaja menyakiti perasaannya atas komentarku. Begitu juga jika pada akhirnya aku tidak menjatuhkan pilihan padanya, dan semoga dia mendapatkan pasangan hidup yang sesuai dengan apa yang ia harapkan. Karena jika aku memutuskan untuk memilihnya, rintangan yang menghadang cukup besar, karena ternyata keluargaku kurang setuju jika aku menikah dengan orang yang mempunyai latar belakang suku yang sama dengan ayahku.

Ketika ia bercerita tentang kehidupannya yang kelam, namun kemudian sadar bahwa kehidupan seperti itu tidak bagus dan aku berkata: bersyukur kalau sadar kehidupan seperti itu tidak bagus. Kemudian mengenai ibadah shalat lima waktunya yang baru full semenjak lebaran kemarin, dan aku berkata: iya sebuah proses. Aku berusaha untuk berkomentar bijak, seperti ketika aku bercerita pada Ustadz Ahmad mengenai aku yang pernah terlibat hubungan kasih dengan seseorang, yang sebenarnya hubungan itu tidak ada dalam Islam dan kemudian Ustadz berkata: bersyukur Allah sudah mengingatkan anti.

Yang sedang berkecamuk di pikiranku saat ini adalah, apakah aku akan meneruskan cerita ini atau memotongnya saja seperti yang aku lakukan pada beberapa orang walaupun pada akhirnya mereka kecewa dan berkomentar yang cukup mengiris hati. Aku sebenarnya tidak ingin memberi harapan kosong pada orang yang tidak aku suka. Meskipun sepupuku pernah berkata: ayo Teh nyanyi lagu gantung, Teh Seli kan sering menggantung perasaan orang. Dengan simplenya aku berkata: sekuat-kuat mereka bertahan.

Sepulang dari kantor aku langsung memanfaatkan waktu untuk tidur sebelum berangkat ke Almanar, sejam kemudian aku bangun dan bersiap-siap berangkat ke Almanar meskipun masih dalam keadaan mengantuk tapi aku harus pergi. Setelah selesai belajar aku bergegas pulang, rasanya badan ini terasa lemas, sesampainya di kostan udara terasa panas dan kepalaku terasa sakit.

Kata temanku "Kenapa Sel, kayak yang capek banget"

"Sakit kepala" jawabku dan kemudian sepupuku memberi obat sakit kepala.

"Hang" mengantuk tapi cukup sulit mata ini dipejamkan, kasur sudah basah oleh keringat, badan terasa sakit dan pegal, efek dari pulang larut malam. Ya Allah, ampuni hambaMu yang telah lalai dan membuang waktu untuk kesenangan dunia. Rabbi, inni dzalamtu nafsi faghfirli.

Kamis, 01 Desember 2011

Unit Galau Darurat

"Mati rasa" sepertinya ada yang konslet di hatiku ini, setiap kali aku mencoba untuk membuka hati pada orang yang menyukaiku, selalu saja tidak menemukan magnet yang membuat aku untuk tertarik padanya, bahkan pada orang yang sekitar 3 tahun aku telah mengenalnya. Aku mencoba untuk mencari taste itu tapi usahaku belum berhasil, entah karena aku kurang berusaha untuk menelusuri celah agar aku menemukan rasa itu. Atau aku masih terjebak di Unit Galau Darurat karena hatiku masih menyimpan memori tentang seseorang yang membuat aku kesulitan untuk menghapusnya.

Sebenarnya usaha mereka sudah cukup untuk membuat hatiku tergugah, mulai dari perhatian bahkan ungkapan hati mereka yang mungkin tulus dan itu cukup untuk membuat hati berbunga, seharusnya! Tapi mengapa semua terasa datar saja? Tidak ada getaran yang mengalir di hatiku. Apa hatiku sudah benar-benar mati rasa? Lebih parahnya lagi, aku merasa lelah dengan semua perhatian atau ungkapan hati mereka, yang akhirnya aku memilih untuk mengabaikan itu semua. Berbeda dengan orang yang membuat aku lama berada di Unit Galau Darurat, itu karena aku telah menyukainya, cukup salut untuknya karena "Nobody ever made me feel this way". Jika aku bertemu dengannya, jantungku terasa berdegup lebih kencang, membuat aku salah tingkah, atau mungkin wajahku berubah jadi merah, aku jadi khawatir orang itu bisa mendengar degup jantungku.

So, what I must stick with him? Tapi aku mungkin tak akan mengungkapkan perasaanku padanya, cukup aku dan teman-teman terbaikku yang tahu tentang ini. Meskipun aku merasa lelah ketika dihadapkan pada suatu keadaan yang tidak seimbang antara akal sehat dan nurani. Lelah ketika harus berlaku normal meski semuanya menjadi abnormal. Lelah ketika mata menjadi buta akibat dari perasaan yang membius tanpa ampun. Lelah ketika imaginasi menjadi liar oleh khayalan yang terlalu tinggi. Lelah ketika pikiran menjadi galau oleh harapan yang tidak pasti. Lelah untuk mencari suatu alasan yang tepat untuk sekedar melempar sesimpul senyum atau sebuah sapaan "Apa kabar?". Lelah untuk secuil kesempatan akan sebuah moment kebersamaan. Lelah karena menahan keinginan untuk melihatnya. 

Dan sampai saat ini aku masih terdiam! Diam menunggu sang waktu memberi sebuah moment. Diam untuk mencatat segala yang terjadi. Diam untuk memberi kesempatan otak kembali dalam keadaan normal. Diam untuk mencari jalan keluar. Diam untuk berkaca pada diri sendiri dan bertanya "Apakah aku cukup pantas?". Diam untuk menimbang sebuah konsekuensi dari rasa yang harus dipendam. Diam dan dalam diam kadang semuanya tetap menjadi tak terarah. Dan dalam diam itu pula, aku menjadi gila karena sebuah rasa dan pesona tetap mengalir.

Sayangnya, dalam keheningan dan diam yang aku rasakan, lebih banyak rasa galau daripada sebuah usaha untuk mengembalikan pola pikir yang lebih logis. Galau ketika semua bahasa tubuh seperti digerakkan untuk bertindak bodoh. Apakah mencintai seseorang senantiasa membuat orang bodoh? Tentu tidak. Namun itu pula yang aku rasakan selama satu tahun lebih. Galau ketika mata terus meronta untuk sebuah sekelibat pandangan. Galau ketika mulut harus terkatup rapat meski sebuah kesempatan sedikit terbuka. Galau ketika mencintai menjadi sebuah pilihan yang menyakitkan. Galau ketika mencintai hanya akan menambah beban hidup. Galau ketika berpikir mungkin segalanya tidak akan  terjadi, tapi kemudian kembali berharap pada Yang Maha Berkehendak, Jika Dia menghendaki sesuatu, hanyalah berkata "Jadilah!" Maka jadilah.    

Dalam kelelahan, diam dan kegalauan yang aku rasakan selama ini, ada rasa syukur pada Sang Maha Rahim atas apa yang aku alami. Syukur ketika rasa pahit menjadi bagian dari mencintai seseorang. Syukur ketika berhasil memendam semua rasa untuk tetap berada pada zona diam. Syukur untuk sebuah pikiran abnormal namun tetap berusaha untuk bertingkah normal. Syukur ketika rasa galau merajalela tak terbendung. Syukur ketika rasa perih tak terhingga datang menyapa. Syukur karena tak ditemukannya sebuah nyali untuk mengatakan "Aku mencintaimu". Syukur ketika perasaan hancur lebur menjadi bagian dari mencintai. Syukur ketika harus menyembunyikan rasa sakit dan cemburu dalam sebaris ucapan "Aku tidak punya hak untuk cemburu".

Akhirnya bagiku, keputusan untuk mencintai melalui do'a menjadi pilihan yang paling pantas. Setidaknya, mencintai secara tulus melalui do'a mungkin akan menjadi lebih bermakna. Dalam do'a, akhirnya semua aku kembalikan kepada Yang Maha Mengabulkan. Bahwa mencintai seseorang itu butuh pengorbanan. Bahwa terkadang akal dan perasaan campur aduk tak tentu arah. Bahwa aku hanyalah manusia biasa. Bahwa aku tidak bisa berlaku pintar sepanjang waktu. Bahwa aku juga punya kebodohan yang kadang susah untuk diterima akal sehat. Bahwa dengan segala kekurangan yang ada, "Aku berani mencintai". Bahwa aku bersedia membayar harga dari mencintai seseorang. Bahwa aku bersedia menanggung rasa sakit yang luar biasa. Bahwa aku mampu untuk tetap hidup meski rasa perih terus menjalar. Bahwa "Aku belum mati rasa" karena aku masih bisa merasakan efek yang ditimbulkan oleh cinta.

Dan hari ini, dari semua pembelajaran yang telah aku terima, berkembang menjadi sebuah bentuk KEPASRAHAN. Sebuah zona yang terbentuk karena aku merasa tidak berdaya. Dimana aku merasa belum memiliki kemampuan untuk membuat segalanya menjadi mungkin. Mencintai dalam kepasrahan, meskipun masih berharap dan sangat sulit bagiku untuk tidak mengingatnya. Dan hingga hari ini, aku masih mencintainya. Aku sadar hal itu akan memberi rasa perih namun bagiku lebih susah untuk tidak mencintainya. Rabb, aku mencintainya namun jangan Engkau biarkan rasa cintaku padanya melebihi rasa cintaku padaMu, jika memang dia adalah jodohku maka halalkan cintaku, namun jika bukan karuniakan kepadaku kepasrahan atas kehendakMu bahwa Engkau telah menyiapkan seseorang yang terbaik untukku.