Senin, 29 Agustus 2011

Untukmu Aku Bernyanyi


Di penghujung Ramadhan kali ini kondisi badanku kurang fit, virus mulai menguasai tubuhku "Ya Allah, Engkau Maha Penyembuh" tapi masih banyak kekuatan untuk menyambut hari kemenangan. Aku teringat kisah di balik Ramadhan beberapa tahun yang lalu.

Bulan Ramadhan tahun itu adalah pertama kalinya aku pergi ke Pulau Sumatera, umurku waktu itu sekitar 17 tahun, meskipun waktu kecil aku pernah tinggal di pulau ini namun terlalu samar untuk mengingatnya. Aku pamit pada kakek dari ibuku untuk mengikuti kegiatan pesantren kilat di sekolah, padahal tujuanku menjenguk nenek dari ayahku yang sedang sakit.

Malam itu aku berangkat dari Bandung pukul delapan malam menggunakan Bus Kramat Jati tujuan Metro Lampung, aku pergi seorang diri tanpa mengetahui seperti apa Kota Lampung, kakakku menitipkan aku pada sopir agar diturunkan di Kantor Polisi Terminal Rajah Basa (terminal yang terkenal rawan), esoknya aku sudah ada di Kota Lampung. Seperti pesan kakakku pada sang sopir, aku diturunkan depan kantor polisi, bergegas aku menuju kantor polisi tanpa menjawab orang yang bertanya aku hendak kemana.

Tiba di kantor polisi aku langsung menanyakan wartel untuk menghubungi tanteku, karena aku lihat hapeku tidak ada sinyal, waktu itu belum terlalu banyak orang menggunakan hape, posisi wartel berada di seberang kantor polisi. Aku pijit nomor telepon rumah tanteku;

“Hallo" suara di seberang sana.

"Ini Seli udah nyampe Rajah Basa” kataku.

“Oh, ya udah Seli tunggu aja disitu nanti Oomnya jemput” kata orang itu.

“Seli di kantor polisi ya, pake kerudung biru, baju biru, celana item terus sendal merah” menjelaskan posisiku nanti dan pakaian yang aku kenakan.

“Iya nanti Oom Jagat sama Oom Syaf yang jemput” suara tadi adalah tanteku.

Setelah membayar aku kembali ke kantor polisi, sambil menunggu aku berbincang-bincang dengan para polisi. Di sisi lain dua orang lelaki sedang menghubungi nomor  telepon yang aku hubungi tadi, salah seorang dari mereka membayar setelah selesai;

“Nomor  teleponnya kok sama dengan anak perempuan yang tadi” kata penjaga wartel.

“Iya, anak itu yang kami cari, dimana dia?” salah satu dari mereka bertanya.

“Itu tadi nyebrang ke kantor polisi” penjaga wartel menunjuk.

Di kantor polisi itu aku bercerita tentang tujuanku ke kota ini, kemudian dua orang lelaki masuk dan salah seorang dari mereka bertanya pada polisi di sampingku;

“Maaf pak, lihat anak perempuan pakai kerudung biru, baju biru, celana item dan sandal warna merah”

Polisi itu menunjuk padaku “Yang ini bukan?’’

Aku dan lelaki itu saling berpandangan, 15 tahun yang lalu terakhir kami bertemu ketika umurku masih 2 tahun, mungkin Pak Polisi melihat raut wajahku seperti tidak yakin bahwa aku mengenal lelaki itu.

“Yang ini bukan Oomnya” kata Polisi di sampingku.

Aku mengangguk dan mengulurkan tanganku untuk menyalami lelaki itu “Iya” kataku dalam keraguan.


                                                                                           ***

Hari itu Allah pertemukan aku dan ayahku setelah 15 tahun tidak pernah ada kabar berita darinya, namun ketika bertemu dengannya rasa rindu yang selama ini ada seperti hilang di telan bumi, ketika aku menatap wajahnya hatiku berkata "Oh, ini ayah Seli teh" tidak seperti lagu Broery Marantika yang terkadang aku nyanyikan;

Dimana... akan ku cari
Aku menangis seorang diri
Hatiku ingin selalu bertemu
Untukmu aku bernyanyi

Untuk ayah tercinta
Aku ingin bernyanyi
Walau air mata di pipiku

Ayah dengarkanlah
Aku ingin berjumpa
Walau hanya dalam mimpi

Bersambung: Hati Yang Terluka

Senin, 22 Agustus 2011

Senyum Dalam Tangis

Kesedihan kerap merangkul saat terjebak dalam problematika, realita kehidupan yang pahit, nafas-nafas tersengal gontai sesak terasa di rongga dada, memacu mata tuk menumpahkan bulir air, rasa yang selalu membawa pilu hingga menjadi serpihan, hati pun terkoyak karena kegetirannya, perih... Sayatan luka yang teramat dalam.

Namun selalu ada hikmah, pahitnya kehidupan menghadiahkan bunga-bunga kedewasaan dan kebijaksanaan "Jika Allah menghendaki kebaikan bagi hambaNya, maka Dia mengujinya".

Ini hanya temporary! Akan menjadi masa lalu dan tak perlu larut dalam ratapan, ada pelangi setelah hujan, ada sinar mentari setelah gelap malam dan ada senyum dalam tangis "Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan"

22 Ramadhan 14:00

Perasaan sedih menghampiri setelah menutup telepon tadi siang, segera saja aku berjalan menuju BCA untuk menunaikan permohonan orang yang tadi meneleponku, selalu dan selalu seperti ini.

Aku menaiki anak tangga penyeberangan, hatiku mulai menjerit seolah letih dengan semua ini. Aku berusaha menahan gejolak rasa yang sudah berkumpul di ujung tenggorokanku "Ya Allah, aku lelah". Mencoba menahan tetesan air dari mataku namun tak mampu, ingin rasanya tersungkur dalam sujud.

Rasa sedih ini akumulasi dari dilematika yang terjadi dalam hidupku beberapa hari ini, masalah klise yang entah kapan akan berakhir. Tapi aku yakin "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya".

"Rabbanaa wa laa tuhammilnaa maa laa thaaqatalanaa bih"

                                                                               ***

Sore ini sepulang kerja aku berangkat ke Bekasi mengantarkan baju untuk ponakannku, katanya hadiah ultah pada tanggal 16 Agustus kemarin sekaligus THR. Tiba di Bulak Kapal sekitar pukul lima, di depan Taman Makam Pahlawan aku menunggu di jemput oleh kakakku, menunggu memang pekerjaan yang membosankan tapi justeru bisa menjadi tolok ukur untuk menguji kesabaran.

Alhamdulillah! Beberapa orang yang mengendarai motor mulai menepi untuk berbuka puasa, dan aku masih berusaha bersabar menunggu kedatangan kakakku. Dari jauh aku lihat sosok wanita tua renta dengan langkah yang terhuyung, membawa sekantong keresek yang entah apa isinya dan sebotol air mineral.

Nenek itu menyapa sepasang suami istri yang sedang berbuka puasa, terlihat si suami memberikan lontong (indahnya berbagi), lontong itu jatuh sebelum sampai di tangan nenek itu, namun wanita tua itu memungutnya. Kemudian dia berjalan kembali, jaraknya semakin mendekatiku. Aku rogoh uang lima ribu rupiah dari tas cokelatku (tas hadiah ultah dari Leli), aku berikan uang itu padanya berharap akan bermanfaat. Dia mengatakan sesuatu yang aku tidak mengerti.

Aku bertanya padanya "Mau kemana Nek?"

Lagi-lagi dia mengatakan sesuatu dengan bahasa yang tidak aku mengerti.

"Gak tau Nek" kataku sambil mengelengkan kepala, aku sama sekali tidak tahu apakah itu pernyataan atau pertanyaan, jika petanyaan "Ya Allah, aku tidak bisa menjawab pertanyaannya".

Wanita tua lusuh dan kumal yang sekilas seperti orang gila itu berlalu, mataku masih tertuju padanya sampai dia hilang diantara hiruk pikuk orang yang lalu lalang. Mungkin perihnya kehidupan yang aku alami masih lebih ringan di banding wanita tua itu, mataku berkaca-kaca sesaat kemudian aku pun tersenyum.

Kamis, 04 Agustus 2011

Berarti Untuk Dirinya

"Assalâmu'alaikum" aku membuka percakapan di telepon.

"Wa'alaikum salâm geulis" suara yang mengangkat telepon.

Aku tertawa mendengar sambutan dari orang itu, seorang wanita yang selama ini membesarkanku tanpa didampingi suaminya. Malam itu aku memberi kabar padanya perihal kepulanganku besok, mengingat lusa adalah hari pertama di bulan Ramadhân.

Esok harinya aku tiba di Kota Bandung sekitar pukul sepuluh pagi, di sambut cuaca yang cerah ceria senada dengan warna hatiku, di rumah hanya ada adikku Enti, sepupuku Diah, dan dua orang tamu yang beberapa hari ini menginap di rumah, sedangkan ibuku masih di pasar.

Malamnya aku, sepupuku dan guru ngajiku Ibu Mimin melaksanakan shalat tarawih di Masjid Al-Anwar yang berbasis Muhammadiyah, sayang sekali tidak bersama ibuku karena beliau sibuk memasak, persiapan untuk sahur nanti.

Alhamdulillâh, aku lalui hari pertama sahur di rumah bersama keluarga, setelah shalat shubuh aku berangkat ke terminal Leuwi Panjang di antar kakakku Ega, aku harus ke Jakarta karena meskipun hari pertama puasa kantorku tidak libur.

Ini adalah tahun ke empat aku berpuasa di Kota Jakarta, tempat aku mencari rezeki dan menuntut ilmu, seandainya aku bisa menghabiskan bulan Ramadhân ini bersama ibu. Jarak yang memisahkan aku dan ibu begitu terasa jika aku merindukannya, lagu Opick feat Amanda menemani pagiku hari ini;

Satu Rindu

Hujan kau ingatkan aku
Tentang satu rindu
Di masa yang lalu saat mimpi
Masih indah bersamamu

Terbayang satu wajah
Penuh cinta penuh kasih
Terbayang satu wajah
Penuh dengan kehangatan
Kau ibu... Oh Ibu...

Allâh Ijinkanlah aku
Bahagiakan dia
Meski dia telah jauh
Biarkanlah aku
Berarti untuk dirinya
Oh Ibu...

"Ratu Jiwaku" teringat salah satu judul puisiku yang dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat ketika aku masih duduk di bangku SMA.

                                                                                     ***

Sore ini sepulang dari kantor aku menyempatkan diri ke Toko Buku Sagung Seto untuk mencari poster organ tubuh (tugas bahasa arab dari Ustadz Ahmad), sebelum ke toko buku aku mampir dahulu ke kantor lamaku, salah satu dari temanku bertanya;

"Mana undangannya?" kata Mas Kiki.

"Ih, cariin dulu atuh" jawabku.

Di susul salah satu temanku yang lain;

"Gimana kabarnya dia?" Mas Janex menanyakan salah satu teman kami kepadaku.

"Loh, kok dia segh?" kataku spontan.

"Kan gosipnya terakhir sama dia" jawabnya.

"Oh, iya degh" ada yang terlintas di benakku.

                                                                             ***

Ternyata di toko buku tersebut aku tidak menemukan poster yang aku harapkan, hanya poster organ tubuh per kasus dan harganyapun sangat mahal. Aku pulang dengan tangan kosong, di tengah perjalanan aku berinisiatif untuk ke mini market mengingat sabun cuciku sudah habis, aku mampir dulu di warung sunda membeli makanan untuk sahur nanti, penjualnya seorang janda beranak dua yang di tinggal wafat suaminya.

Kisah hidup penjual nasi itu semakin memupuk kerinduanku pada ibu, seorang wanita yang mencari rezeki dengan membuka warung nasi di rumah kakekku, semua itu ia lakukan untuk membesarkan keempat anaknya, ia pernah bercerita padaku; Bahwa kepedihan hidup yang ia jalani karena ditinggalkan suaminya, terhapus seketika saat ia menginjakkan kaki di Tanah Suci Makkah, Subhanallâh.

Allâh aku mohon dengan sangat bahagiakan dia.

"Rabbighfirlii waliwaalidayya warhamhumaa kamaa rabbayaani saghiiraa"

Kabulkanlah Wahai Sang Penjawab Permintaan.