Jumat, 23 September 2011

Hati Yang Terluka

Aku seperti tidak bisa menerima kenyataan yang sedang aku hadapi, ayahku telah beristri lagi dan dari pernikahan mereka Allah berikan aku adik tiri yang wajahnya mirip dengan adik kandungku, aku jadi punya dua orang adik lelaki. Entah mengapa saat itu jika aku melihat wajah adik tiriku rasanya ingin sekali menjitaknya.

Setelah beberapa hari bersama mereka, keluarga yang baru aku kenal setelah umurku beranjak dewasa, banyak informasi yang masuk ke telingaku tentang ayahku, semua buat aku gamang. Pada siang itu aku tanyakan semua pertanyaan yang berkecamuk di pikiranku, di mulai dengan pertanyaan; selama ini dia kemana?

Ketika semua teman-temanku bercerita tentang pekerjaan ayahnya, aku hanya terdiam atau mengarang cerita tentang pekerjaan ayahku, karena aku tidak tahu apa pekerjaannya. Ketika aku sudah bisa menulis, dengan ukuran tulisan yang besar aku menulis surat padanya bercerita tentang kabar kami, dari semua surat yang aku kirimkan tidak pernah ada satupun surat yang ia balas, hingga akhirnya pada usia sekitar 16 tahun aku lelah mengirim surat. Ketika ibuku melahirkan adikku tanpa kehadirannya, ya, ayahku meninggalkan kami ketika adikku masih di dalam kandungan.

Aku ungkapkan semua kekecewaanku, aku katakan tentang kebesaran hati ibuku yang mampu membesarkan kami tanpa didampingi olehnya dan aku bersyukur ibuku bukan orang yang tega meniggalkan anaknya di panti asuhan. Seorang wanita tangguh yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan anak-anaknya, mulai dari pagi buta sampai larut malam. Entah sudah berapa banyak tetesan air mata yang mengalir di pipiku siang itu, hatiku terasa perih, karena luka yang ia torehkan selama 15 tahun.

Allah, betapa pahitnya kenyataan ini! Aku putuskan untuk pulang ke Bandung malam nanti, namun situasi malam itu tidak mendukung karena kendaraan umum di daerah itu jika malam hari sudah tidak ada, aku semakin kecewa, maksudku jika pada malam hari tidak ada kendaraan umum di daerah itu, kenapa tidak memberi tahu, jadi aku bisa mengambil keputusan untuk pulang siang itu juga. Kembali ku teteskan air mata, sekitar dua jam aku menangis "Aku ingin pulang", aku ingin bersama ibuku.

Esok harinya setelah menelepon ibuku, akhirnya aku putuskan untuk pulang ke Bandung hari lusa. Mungkin kemarin aku terlalu emosi mengambil keputusan untuk pulang hari itu juga, aku coba menikmati suasana di sana. Tiba saatnya aku kembali ke kota kelahiranku, aku diantar oleh ayahku, namun sepanjang perjalanan tidak terlalu banyak komunikasi yang terjalin.

Tiba di Kota Bandung pukul satu malam,