Selasa, 08 Oktober 2013

Mentari Bulan Oktober

"Kerlingan matamu dan sentuhan hangat" Mentari pagi menyapa Sang Dewi.

"Berbahagialah bagi orang yang cerdas dalam memanfaatkan sisa umurnya hanya untuk mendapatkan cinta dari yang menciptakan cinta dan tidak pernah putus asa dalam setiap hidupnya." ucap Mentari pada Sang Dewi.

Minggu, 22 September 2013

Hangat Mentari Pagi

Aku menikmati tetes embun pagi, sebuah kesejukkan yang didapat dari bulir-bulir air di atas pucuk dedaunan yang mengawali pagi dengan nafas kehidupan. "Terjatuh aku dalam keindahan penantian".

Suara riuh gemericik mengajarkan pada rasa syukur setiap harinya ketika mata tak lagi terpejam karena lelap. "Ingatkah engkau kepada embun pagi bersahaja yang menemanimu sebelum cahaya?"

Pagi ini mentari besinar rekah, memanjakan mata oleh pernik keemasannya. Mestinya kau bersamaku melakukan ziarah hatiku, menapaki bukit matahari menelusuri rimba gelisahku. Tapi kau tak menyapa pagi ini, tak seperti hangat mentari pagi.

"Terucap keraguan hati yang bimbang yang terhalang kepastian cinta."

Ada saatnya aku diam dan menyentuh sepi karena tarian riuh kata tak memberiku ruang untuk sekedar bernyanyi dan biarkan suara hati menggelagayut kembali jemari tangan.

"Dengarkanlah permintaan hati yang teraniaya sunyi." 
 
Aku ambil kayuh dan mendayung pagi jelajahi samudera hari dan biarkan bulir keringat membasahi. Sejenak melepaskan senyum di pipi sambut mentari yang tiada berhenti berbagi cahaya warna warni karena mendung dan gemuruh yang telah berlalu.  

Aku telah menyimpan rapat kenangan kusam sepeninggal malam, kini pagi melagukan rindu begitu dalam dan menampilkan segala riuh tentang jejak langkah yang terus menjauh. Kenangan membahasakan dirinya dalam luruh dedaunan.
 
Ada saatnya aku pergi dan tak harus memberi kabar karena kereta pagi tak pernah bergeser waktu keberangkatannya menuju matahari. 

Minggu, 11 Agustus 2013

Sajak Untuk Mentari

"Kepadamu pemilik hati yang sempat termiliki, yang hadir sebagai bagian rangkaian takdir, aku menulis ini untukmu"

Dewi ingin menghapus sajak yang selalu ia tulis untuk Mentari. Bukan hanya sebait tapi seluruh, demi hatinya yang kian merapuh.

"Ya Tuhanku, tuangkanlah kesabaran atas diriku, kokohkanlah langkahku"

Luruh kembali airmatanya yang ia janji tak ingin menjatuhkannya lagi. Bukan hanya setitik rintik tapi menggerimis.

"Kau ingat aku pernah tumbuhkan perdu rindu, pada titian jembatan antara jurang, pada bebukit yang meninggi julang, hanya biar aku tahu ada jalan menujumu" tulis Sang Dewi. 

Andai Dewi mampu menumpahkan seluruh airmatanya lalu ia reguk hingga mabuk agar dahaga kerinduan itu terpuaskan.

Tapi kemarau panjang itu gersang, membunuh padang-padang ilalang, dan kerinduan itu mati ditelan musim berganti, terbakar Mentari yang terlampau terik.

***
Seharusnya aku tak menulis apa pun lagi untukmu.  Karena tiada kata yang sanggup melukiskan nganga luka.

Mentari Menorehkan Luka

Dalam kesendirian dan terik padang perjalanannya, cinta telah memberikan pelajaran berharga bagi jiwa Sang Dewi untuk bercermin.

"Aku tengah belajar cara lain memahami cinta. Terkadang aku tak mampu berbuat apa-apa atas hatiku." Dewi mulai membaca isi hatinya perlahan-lahan.

"Allah, ampunilah kebodohanku. Aku hanyalah orang yang tengah belajar menjadi pemimpin untuk diriku sendiri.

Pikiran adalah hal paling fana yang Dewi ketahui. Ia seperti membangun sarang dari angin dan hidup di pusaranya yang tak pernah henti mengajarkan kekecewaan.

"Ya Allah, ampunilah kepicikan hatiku yang tak mampu melihat rahasia-Mu." Tapi, siapa bisa mengira besar gelombang di bawah laut? Dewi mulai kecewa pada retorika Mentari yang menghantamnya dalam beku.

Danau di kelopak mata Dewi mulai terlihat, ia beberapa kali menghela napas dengan susah-payah, lantas menyerah pada air mata yang tak kunjung kering. Ia menelungkupkan punggungnya memeluk meja dan tersedu-sedu.

Dewi berharap Mentari merengkuh pundaknya yang laksana kepundan gunung tengah bergolak-golak. Tapi Mentari berlalu tanpa mengucapkan sepatah kata.

Dewi hanya seorang manusia lagi tengah berusaha membagun keyakinan pada Mentari. Hatinya begitu ringkih, Mentari yang selama ini menyinarinya, menorehkan luka yang begitu dalam. Luka itu begitu terpeta di jiwanya.

"Anggaplah kesalahan itu sesuatu yang wajar melekat pada manusia." Dewi berusaha berdamai dengan hatinya.

Ia tak kuasa untuk tidak menangis. Kelopak itu menjelma sumber air yang terus memuntahkan isinya hingga kuyup seluruh pipi yang kian tirus itu.

Kamis, 18 Juli 2013

Padang Kerinduan Mentari

Dewi tersesat di padang kerinduan pada Mentari yang selama ini senantiasa membalut hatinya dengan kehangatan cahaya.  

"Aku telah lama mencintainya, aku tidak tahu apa yang terjadi padaku ketika aku melihat matanya" Dewi menunduk ketika matanya beradu pandang dengan Mentari.

Embun berbaris di lembaran daun yang masih berpelukan menanti Mentari menyeruput setiap butirannya. Mentari memberai kabut yang kerap mendaki di wajah sendu. 

"Begitu banyak rerupa keindahan di tiap lekuk lakumu. Warna langitmu jernih serupa laut menampung seribu biru."

Dewi mereguk sejuk di tiap teduh Mentari, dan yang ia tahu, ia selalu memucuk rindu di sebalik dendang Mentari yang mengalun menyalin rindu bersama lagu di kalbu. Ia mencoba melukis pelangi bersama jemarinya.

Bila waktu tiba, ia menunggu jeda menatap ilalang yang meliuk di setiap bayu menyapa, kerling hatinya hanya tertuju pada alamat Mentari, membenam senyap dalam senandung yang pernah Mentari kirimkan.

Dewi mengulum senyuman kala Mentari alirkan sinar ke hulunya, serupa pelangi yang senantiasa ia nanti di senja yang jingga. "Kau indah... Dan terindah di setiap rasa." 

"Kini aku tegak di sini menantimu dalam cinta yang kita punya. Sebab dari sini, mimpiku menjadi daya, jemariku terus menari di lembar-lembar cinta sederhana yang kau bingkiskan."

"Jiwaku segar tanpa gulana meski tanya kerap melebur di udara, aku kian mengenali waktu tak ingin tersudut pada jarak tertempuh, bersamamu menghapus jejak lalu yang kerap mengirim luka tanpa aku harap."

Selasa, 11 Juni 2013

Merengkuh Cinta Mentari

Dewi tak mampu menatap sorot netra matanya ketika Mentari hadir di hadapannya. Ritme jantung Dewi terasa berdegup lebih kencang, ia mencoba untuk mencairkan suasana dengan melempar senyum hangatnya pada Mentari.

"Dan kau hadir merubah segalanya menjadi lebih indah, kau bawa cintaku setinggi angkasa membuat ku merasa sempurna" bisik hati Sang Dewi.

Dewi mulai merasakan intensitas Mentari menumbuhkan benih-benih cinta di hatinya, kuncup-kuncup bunga pun mulai bermekaran, dan menebarkan wewangian yang semerbak.

Namun sesekali Dewi merasa ada yang salah dengan rasa yang bergejolak dalam dadanya. Terkadang ia tak merasa pantas untuk merengkuh cinta Mentari. Perasaan itu mengoyak batinnya dan meninggalkan secercah harapan.

Namun Dewi tak pernah bisa membunuh rasa cintanya pada Mentari. Rasa cinta yang telah tumbuh ribuan hari silam. Meski terkadang rasa ini menghunus hati Dewi dengan pedang kesedihan. Bagi Sang Dewi, Mentari adalah sosok yang "nyata" saat yang lain menjelma fatamorgana.

Rabu, 13 Maret 2013

Masih Menunggu Mentari

Apa yang terjadi dengan hatiku, ku masih di sini menunggu pagi, seakan letih tak menggangguku, ku masih terjaga menunggu pagi. 

Gejolak rasa yang selama ini silih berganti seperti musim tak memupuskan gairah Sang Dewi untuk tetap menunggu Sang Mentari. Meski letih kerap kali menghantam hati Dewi, namun semua itu seolah angin lalu yang hanya melintas begitu saja.


"Keputusanmu menentukan, harapan dan langkahku ke depan." ucap Mentari ketika Dewi mulai diterjang lagi badai yang menggoncangkan setiap lini hatinya.


Di satu sisi Dewi harus membanting semua retorika yang selama ini berkecamuk. Kemudian mulai berpikir realistis, bukan hanya dengan pertimbangan hati namun dengan pertimbangan akal juga. Satu persatu bayang-bayang silih berganti dalam benaknya. Siapa? 


"Aku mungkin belum yang terbaik, tapi akan berusaha menjadi yang terbaik." kalimat itu semakin meyakinkan Sang Dewi. 


"Percayalah, kasihmu lama tersulam di ruang paling dalam, terlalu jauh tak terselam" senandung bergema di ruang hati Sang Dewi.


Dewi berharap tak akan ada hati yang terluka atas keputusannya untuk tetap menunggu Mentari. Kemudian langit mulai meneteskan butiran mutiaranya membahasi bumi. 


"Suasana sepi begini panahan rindu menusuk hati tak mungkin kau sadari, lantas ku titip puisi kasih agar gelora tidak merintih sengsara pun menyisih." senandung itu kembali terdengar syahdu.


Waktu terus merangkak, tapi masih terlalu abstrak untuk memahami mengapa rintik hujan ini terus menetes, tapi Dewi mencoba menepis rasa rindu pada Mentari. 


"Terima kasih atas segalanya. Kau akan tetap menjadi Mentari di hatiku." pesan untuk Mentari.

Senin, 11 Februari 2013

Ranum Wajah Mentari

Ranum wajah Mentari jelas tergambar saat Dewi menyibak tirai hari. Ia melihat pagi sudah bersolek cantik, bergaun hijau segar dengan berbunga putih merekah. Rona wajah pagi berbinar terbelai Mentari yang mengusap perlahan. Dewi masih tergelayut di pelataran hati Mentari ketika melangkahkan kaki menyambut hari bersama hembusan angin yang setia mengantar.

Mentari berlalu dan berangkat meninggalkan Dewi yang masih saja terpaku di selembar keteduhan, termangu menatapnya dalam tanya yang tak tahu jawabnya. Dewi mengorek-ngorek lagi setiap lembar kertas yang terserak di hatinya, mencoba mencari jawabnya. Apakah Dewi mulai jatuh cinta? Ranum wajah itu kembali menyapa, mengerling manja membahasakan merdunya nyanyian hati di perputaran waktu.

"Kemana saja" tiba-tiba Dewi terhenyak ketika suara dari kotak ungunya berbunyi.

Seseorang yang selama ini selalu datang dan pergi tanpa pernah ada kepastian sampai kapan Sang Dewi harus menunggu. Dewi bercerita pada Mentari, mencurahkan semua gejolak yang membahana di setiap sudut hatinya.

"Berdo'alah agar Allah segera memberikan keputusannya yang terbaik" ucap Mentari.

Dewi meraba garis sketsa ketulusan rasa yang mulai tumbuh di persimpangan maya dan nyata. Menunggu mimpi terindah di ujung senja yang menghalau kejenuhan dunia. Dewi tertunduk mengulum senyum kala sorot netra Mentari teduh menatap. Dewi melempar pandangannya ke arah tebing hati saat tiga anak sungai mencuri perhatiannya. Selaras senyuman indah terbentuk di setiap lini hati Dewi yang mulai terseret dalam santunnya sikap.  

"Tetaplah dalam kesantunanmu ketika menyampaikan setiap bait-bait pesan, karena Allah selalu mengawasi kita" pesan Dewi untuk Mentari.

Selasa, 05 Februari 2013

Sinar Mentari Pagi

Rindu yang tertahan di antara derasnya hujan kini membahana di angkasa ketika pagi ini Mentari bersinar. Indahnya pagi bersenandung di antara gemericik embun yang menetes perlahan dari celah tebing hati. Percikan air hujan yang masih tersisa di kelopak daun berkilau-kilau tersorot cahaya Mentari. Siluet pun menjadi pemandangan yang menyejukkan dan tiada henti membuncah menggetarkan tiang-tiang penyangga kebekuan hati.

"Bertahtalah di singgasana hatiku dan senandungkanlah bait-bait aksara pada dawai kecapimu diiringi gamelan rindu yang bertalu syahdu" ungkap Dewi pada Mentari.

Dewi menikmati lukisan alam di antara semburat fajar yang masih malu menampakkan sinarnya. Ia menatap ranum wajah Mentari meracik rasa dengan alunan nada merdu. Tawa canda kupu-kupu riang gembira menyeruput sari yang bergelayut di pucuk-pucuk bunga terus menuju lembah jiwa membawa sejuta cerita cinta. Mentari menerpa dari sela-sela ranting dan menerobos masuk mengisi setiap ruas hatinya.

Dewi terhanyut di pelataran hati Mentari dalam alunan harpa yang menggetarkan sendi-sendi jiwanya. Ia mencoba menuangkan tinta rasa dalam kanvas syair bercorak rindu pada kain sutra yang biru dan menyimpannya di sebuah telaga kasih.

Senadung pagi ini mengalun merdu seirama detak jantung dalam nada seruling jiwa. Ia terharu pada keindahan makna yang sulit terungkap, ketika jemari rasa menyentuh kelopak hatinya. Kemudian debar rasa bertalu mengusap lembut bilik jantung terus menuju muara kalbu.

"Aku jatuh cinta pada kelembutan nurani" Dewi membuka jendela hatinya dan menemukan kuncup-kuncup rasa yang mulai bermekaran.

"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini" bait-bait kalamullah menghias kalbu Dewi.

Minggu, 03 Februari 2013

Mentari Tertutup Awan

"Kau memang Mentari di hati bidadarimu, tapi ada saat-saat dimana awan gelap menutup sorotan sinarmu dari dirinya. Tiba-tiba ia seolah tak mendamba kehadiramu, tak ingin dijamah sinarmu."

 Dewi merenung di bawah derasnya hujan ketika pesan itu sampai di kotak ungunya. "Mentari?"

Perlahan Dewi membacanya "Siapa yang mengirim pesan ini?"

"Mengapa ada nama Mentari dalam pesan tersebut? Dan siapa yang dimaksud bidadari?" Batin Dewi terus bertanya-tanya.

Dewi mencari sosok Mentari di antara derasnya hujan, jiwanya selalu merindukan hangatnya sinar Mentari. Ia terus berjalan meski ragu hati menggebu-gebu, laksana ombak deras yang menghempas. Dewi berhenti sejenak, renungkan tanda tanya yang setiap saat mengetuk pintu kalbu, adakah ketulusan?

"Bukan! Bukan ia tak percaya akan tulusnya kasihmu. Ia hanya sekedar butuh perhatian lebih darimu. Mendengar ia bertutur tentang beban hati yang sedang memenuhi rongga dadanya. Ia ingin berbagi denganmu karena ia sangat lemah dan dirimu lah harapannya untuk berbagi." pesan kembali masuk di kotak ungunya.

Dewi berjalan dalam lorong gelap, suasana berubah menjadi pilu, kemudian keraguan mewarnai pelangi di hatinya. Terbesit tanya dalam benaknya, "Benarkah semua itu?"

Biarlah Allah yang beri jawaban, dan biarkan pula Dewi terus mencari hingga menemukan terang, laksana pekat malam yang sabar menunggu hadirnya Mentari.

"Jadilah wanita penyabar" ucap teman Sang Dewi.

Sabtu, 05 Januari 2013

Simfoni Bersama Mentari

Pagi ini Dewi terduduk di bawah pohon bersama Mentari, kehadiran Mentari bertabur makna bagi Dewi. Mentari telah mampu menyegarkan bait-bait kerinduan Sang Dewi. Layaknya simfoni kehidupan yang tak pernah berhenti menginspirasi, menumbuhkan bibit kedamaian.

Keindahan Mentari jelas terpancar dalam benak Dewi, semburat cahaya Mentari pagi melukiskan tinta emas di langit. Mentari selalu membawa bingkisan senyum yang dibalut kehangatan, tanpa pernah berharap untuk tetap menyinari Dewi ketika suatu waktu ia harus pergi. Mentari datang dengan pasti membuka pintu cakrawala dalam jiwa dan pergi meninggalkan Dewi dengan kesederhanaan yang telah mengasuh tebaran pesona keikhlasan.

"Semoga berakhir bahagia baik itu dengan Sang Mentari ataupun dengan Mentari lainnya yang bisa mengisi hati Dewi" ucap teman Dewi.

Dewi sebenarnya tak ingin Mentari pergi. Simfoni bersama Mentari telah bergema dalam ruang hatinya, Mentari selalu melantunkan melodi indah meski terkadang iramanya manggores hati.

"Bagaikan Rembulan dan Mentari, tak mungkin seiring sejalan, simfoni ini sebuah elegi, dua irama di satu jalanan" senandung di telinga Dewi.

Tapi ia tak pernah merasa sia-sia telah mencintai kekasihnya, meski pada akhirnya ia pun harus kehilangan Mentari. Terutama semburat cahaya Mentari yang selalu menembus sela-sela rimbun dedaunan hatinya. 

Gemerincing angin bertiup sayup menguap, lalu mengatup letup. Gerimis pun berbaris manis mencipta derai di mata Sang Dewi, mengembun rimbun. Ia bersandar pada pijar yang mencurah dalam cercah cahaya, dan menikmati tiap tetes air yang jatuh dari langit. Gusar menampar sayu wajahnya, Mentari pun beranjak pergi menginggalkan debar yang berlayar di tepian hati.