Minggu, 30 Desember 2012

Menanti Sinar Mentari

Bila rindu ini masih milikmu, ku hadirkan sebuah tanya untukmu, harus berapa lama aku menunggumu, aku menunggumu... 

Rasa ini belum pergi, masih tetap bersemayam dalam hati Dewi. Meskipun ada perih yang menjalar, tapi itulah bagian dari mencintai.  Dalam kesunyian malam yang mencekam, Dewi masih menanti Mentari meski ia pun merasa lelah. Ia yakin, bahwa Mentari akan hadir.

"Mentari" Dewi menyebut namanya di tengah keheningan malam. Apakah Mentari mendengar seruan Sang Dewi?

Dewi sangat yakin, Mentari akan bersinar indah pada kalanya, cantik pada masanya. Dengan porsi yang sesuai, dengan ritme yang harmonis. Tentang Mentari yang menghias pagi, melembutkan hati, dan memberikan banyak pembelajaran.

"Seringkali hal yang bagimu itu biasa, tapi bagi orang lain itu luar biasa" ucap Mentari ketika hatinya tersentuh oleh pesona Sang Dewi.

"Maafkan aku jika telah mengusik hatimu" permohonan maaf ini masih tersimpan dalam benak Dewi. Menunggu moment yang tepat untuk disampaikan kepada Mentari.

Jumat, 21 Desember 2012

Elegi Sang Mentari

"Seperti butiran embun yang menitikan kesejukan pada sebuah kelopak daun, seputik hatimu pun menawarkan segala keindahan kasih." pesan terkirim untuk Mentari.

Meski hanya setitik, namun dapat menyentuh keangkuhan hati Dewi. Dan butiran kebeningan embun itu adalah sebentuk hati Mentari. Mentari memberikan siraman kelembutan yang selama ini hanyalah sebuah impian bagi Dewi, yang selalu berulang singgah dan sirna hanya dalam sekian masa. 


"Aku masih mencintainya" kembali batin Dewi berbisik.

Kapan rasa itu hadir Dewi pun tak menyadarinya. "Sungguh sebuah tanya yang terindah, bagaimana dia merengkuh sadarku, tak perlu ku bermimpi yang indah, karena ada dia di hidupku" pesan kembali terkirim untuk Mentari.  


Tapi Mentari tak selamanya menjelma menjadi embun pagi. Seringkali awan-awan kelabu menghalangi bias Sang Mentari.  Terkadang rasa ini mewujudkan tangisan-tangisan malam Dewi. "Mengapa jiwaku terasa perih?" tanya Dewi pada Sang Malam.
 

Seringkali Mentari menerbangkan asa Dewi di langit biru. Namun terkadang ia membiarkan Dewi terjatuh dalam kubangan harapan yang tak pasti.
 

"Pada akhirnya, segala sesuatu akan selalu kembali kepada takdirnya" ucap Mentari.
 

Dewi membuka jendela hatinya. Ia melihat hatinya retak.  Ia masih menanti Mentari yang akan mengganti sayapnya yang patah oleh cinta. Mentari yang mengumpulkan lembaran-lembaran elegi yang Dewi tulis dengan air mata.

Cinta tak henti-hentinya menguji Dewi. Gelombangnya begitu besar mengombang-ambing. Cahayanya terik meluluhkan pilar-pilar hati Dewi. Perlahan Dewi mulai memahami untuk melepaskan dan mengikhlaskan. "Allah, aku kembalikan hati ini kepadaMu. Sebab hanya Kaulah yang menggenggam sekeping hatiku ini" Dewi pun terlelap dalam tidurnya.

Rabu, 12 Desember 2012

Mentari Beranjak Pergi

"Bahkan saat kau memutuskan untuk membuang jauh-jauh bayangan dirinya dari hidupmu pun, dia tetap berjanji pada dirinya untuk memberi yang terbaik sekuat yang ia mampu untuk bidadarinya. Maka jika apa yang kau katakan dua hari yang silam itu benar, tolong sampaikan manfaat apa yang sudah ia peroleh dan harapkan dari cintanya yang telah luput dari pengetahuannya. Mentarimu hanya manusia biasa. Ada banyak hal yang alpa dari kesadarannya. Sampaikanlah padanya agar ia bisa menyebutnya dalam do'a dan istighfarnya." kalimat itu membuat Dewi terpaku dalam perenungan.

"Berikan aku waktu tuk menikmati rasa ini. Aku hanya butuh waktu tuk memahat puing-puing asa menjadi bangunan keyakinan yang kokoh." batin Dewi berbisik.

Seperti janji-Nya mempergilirkan siang dan malam, pun roda kehidupan terus berputar, adakalanya langit biru, terkadang gelap pekat memayungi. Jika kini panas terik ditingkahi rinai hujan, mungkin esok hujan sepanjang hari. Jika hari ini cerah menghangatkan, mungkin esok terik matahari membakar.

Ya, Mentari tak selalu hadir menyapa, terkadang mendung. Begitu pun dengan cintanya, tapi dengan segala keterbatasan yang ada, ia berani mencintai kekasihnya. Dewi bisa merasakan hangatnya sinar Mentari, meski terkadang terik panasnya menyengat. Dewi pun bisa merasakan pelita itu menerangi bilik-bilik hatinya, meski terkadang kegelapan memayungi. Mentari hanya manusia biasa yang jauh dari kesempurnaan. Hakikatnya, kesempurnaan hanya milik Sang Khalik.  

"Meski ku rapuh dalam langkah, kadang tak setia kepadamu. Namun cinta dalam jiwa hanyalah padamu. Maafkanlah bila hati, tak sempurna mencintaimu. Dalam dada ku harap hanya, dirimu yang bertahta" lirik lagu "Rapuh" menemani lamunan Dewi.  

Mentari tak selalu menemanimu setiap saat, jika senja tiba ia harus kembali ke peraduannya. Tapi tugasnya tak selesai sampai di situ, karena sejatinya Mentari sedang menyinari belahan bumi yang lain. Meskipun Dewi tak bisa melihat Mentari di malam hari, tapi cahaya rembulan adalah pantulan dari sinarnya. Lihat bagaimana cara Mentari mencinta, dalam ketiadaannya ia masih berusaha memberikan yang terbaik untuk kekasihnya. 

Ternyata kehadiran Mentari telah menggangu sistem keseimbangan hati Dewi. Tak terasa bulu mata Dewi yang lentik basah oleh air mata. "Dan matahari berjalan ke tempat peristirahatannya"

Senin, 03 Desember 2012

Rindu Sinar Mentari

"Kau seperti nyanyian dalam hatiku yang memanggil rinduku padamu, seperti udara yang ku hela kau selalu ada. Hanya dirimu yang bisa membuatku tenang, tanpa dirimu aku merasa hilang dan sepi"

"Ada yang menunggumu di telaga rindu" ucap sekeping hati pada Mentari. Telaga yang tak pernah kering akan kerinduan yang mendalam. 

Dewi rindu pada semburat cahaya di antara rindang pepohonan. Lalu ia berteriak  "Mentari, aku di sini!" tapi teriakan itu hanya bergema di hatinya. 

Diam penuh gejolak dalam hati yang tersamarkan oleh senyuman. Apa yang bisa terlihat saat senyum mengembang di antara perih yang masih tersisa? 

"Senyum itu melegakan hati" ucap Mentari beberapa tahun silam. 

Dewi menatap Mentari dari kejauhan, namun hanya sebatas menatap. Mulutnya seolah terkunci untuk memanggil Mentari. Rindu hanya sebuah rindu yang tak terkatakan. Dewi bersandar di bawah pohon rindang, dalam dinginnya kerinduan yang tak tersampaikan. Detik demi detik waktu terus berjalan. 

"Di mana Dewi?" Mentari terlihat gelisah, ada segurat kecewa di wajahnya.

Mentari pun beranjak pergi, Dewi hanya menatap kepergiannya. Ia tak ingin menyentuh hati Mentari lagi. Senja menenggelamkan Mentari di ufuk kerinduan. Dewi menghela nafas, mencoba menerima dan tetap dalam kebisuan. Dan jarak menjadikan semuanya tetap dalam kerinduan.

Ketika gejolak itu semakin kuat, rindu itu membakar hati. "Terima kasih atas hari, aku bisa melihat Mentari meski dari jauh"

"Biarkan rindu itu tetap ada, akan aku titipkan rindu pada Mentari pagi" Mentari selalu berusaha mengahangatkan pagi dengan sinarnya. Dewi tertunduk, matanya mulai berkaca-kaca pada akhirnya air mata itu tak terbendung lagi. 

"Tak perlu meminta maaf, jika harus ada yang disalahkan itu adalah aku" Dewi teringat perkataan Mentari.

Sabtu, 01 Desember 2012

Setulus Cinta Mentari


“Terus melangkah melupakanmu, lelah hati perhatikan sikapmu. Jalan pikiranmu buatku ragu, tak mungkin ini terus bertahan”

Sekali lagi Dewi tersesat pada gulungan rasa cinta. Meskipun lelah, ia masih belum bisa mengusir seseorang yang telah membelenggu hatinya. Terdengar begitu random? Ya, begitulah. Untuk kesekian kalinya Dewi harus belajar melupakan seseorang.

Sore ini hujan, tanpa sengaja Dewi terseret dalam lorong kenangan, terpelanting bertubi-tubi. Hujan sangat sukses mendramatisir semuanya. Seakan cerita lama sedang bebas berkoar-koar dalam benak Dewi, menyemai benih-benih inspirasi.

Dewi membuang pandangan ke arah jendela yang sudah berlumur buih-buih rerintik, mereka seperti sedang menertawai perempuan berkerudung ungu itu. Dewi tengah jatuh di titik jenuh, tanpa sengaja bulir air menetes dari pelupuk matanya. Hujan selalu mengerti saat lengkung senyum terbentuk tapi jiwa meneriaki perih. Ia mewakili air mata yang terdiam.

"Aku butuh Mentari" batin Dewi. Tapi kali ini Dewi pun tak mungkin mengharapkan Mentari. Hujan membuat Mentari bersembunyi di balik awan.

"Kring... Kring..." suara dering telepon genggam. Pintu hati yang berdecit memaksa meraih kotak ungu itu.

"Apa yang tidak mungkin di dunia ini" begitu kata Mentari ketika mendengarkan keluh kesah Dewi.

"Bolehkah aku hadir dalam mimpimu? Menyelinap diam-diam sekedar menyapa dan berucap terima kasih" pinta Dewi. 

"Setelah itu?" tanya Mentari.

"Tenang saja, aku akan pergi secepat air yang terbakar matahari" dalam sadar Dewi berharap Mentari menahannya, sayangnya ragu terlanjur menyebar.

Pikiran Dewi mulai menjelajah waktu, memutar cuplikan cerita terdahulu, memproyeksikan sang Mentari. "Kau yang selalu merotasikan spektrum di bawah timbunan waktu. Namun akhirnya harus aku sudahi memimpikanmu. Kau yang masih jadi bagian do'aku" bulir air itu kembali menetes di pipinya.

Kabut rindu tumpah, kali ini semakin tebal. Dada Dewi mendadak sesak! "Mengetahuimu mencintaiku, seakan menjatuhkan musim sebelum waktunya. Sehingga merindukanmu dan tidak tersalur akan menjadi begitu meracun pada sirkulasi jantungku" Dewi sulit menepis rasa rindunya pada Mentari.

"Ah, aku masih mencintainya" dalam nanar Dewi masih berharap, tapi biar hujan menghapus jejak Mentari. Mungkin Dewi akan bertemu seseorang yang akan mencintainya setulus cinta Mentari.