My Article

Memberdayakan Wanita, Bukan Mengeksploitasi

(spiritislam.net) - Jauh sebelum jargon feminisme digaungkan, peluang mengembangkan diri bagi kaum wanita telah berjalan sejak peradaban Islam digelindingkan dimuka bumi. Eksistensi wanita sebagai diri pribadi, istri, ibu dan bagian dari masyarakat menuntut untuk menjadi wanita berkualitas sehingga keberadaannya menjadi berdaya guna. Namun perlu di garis bawahi, pemberdayaan wanita dalam spiritualitas Islam, semata-mata dalam rangka meningkatkan kecakapan atau kemampuan untuk meningkatkan kemandirian (self reliance) dan kekuatan dirinya (internal strength) tanpa keluar dari kodratnya sebagai wanita.

Rasulullah bersabda “Sesungguhnya sebagian manusia ada yang menjadi kunci-kunci pembuka kebaikan dan penutup berbagai kejahatan, serta ada yang menjadi kunci-kunci pembuka kejahatan dan penutup berbagai kebajikan. Berbahagialah orang-orang yang dijadikan Allah sebagai kunci-kunci pembuka kebaikan dan celakalah orang-orang yang dijadikan Allah sebagai kunci pembuka kejahatan.” (HR. Baihaqi)

Maka sudah semestinya wanita muslimah bergerak menjadi motor reformasi kebaikan. Berupaya semaksimal mungkin memberikan kontribusi berarti terhadap sebuah transformasi, terutama bagi pemberdayaan kaum wanita. Seperti menambah wawasan informasi, meningkatkan ilmu pengetahuan serta memiliki berbagai keterampilan. Salah satu jalan untuk memulai pemberdayaan wanita adalah meningkatkan keilmuannya. Karena Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu.

“…niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat…” (Al-Mujadalah : 11).

Figur wanita dalam bidang keilmuan Islam, seperti ‘Aisyah adalah sumber ilmu pengetahuan terutama dalam bidang Hadits.

Betapa pentingnya ilmu pengetahuan sehingga dalam surat At-Taubah ayat 122, Allah menganjurkan orang mukmin untuk tidak semuanya pergi (ke medan perang) karena sebagian dari mereka tinggal untuk memperdalam pengetahuan agama. Pendidikan merupakan kunci dari sebuah pemberdayaan, itulah mengapa wanita terdidik lebih produktif baik di wilayah publik maupun domestik, dan wanita terdidik cenderung untuk mendorong anak-anaknya juga terdidik.

Banyak keutamaan bagi mereka yang memiliki ilmu pengetahuan;

“…Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (Al-Qur’an), semuanya dari sisi Tuhan kam.” Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal.” (Ali-Imran : 7).

“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tidak ada yang akan memahaminya kecuali mereka yang berilmu.” (Al-Ankabut : 43).

“…Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran.” (Az-Zumar : 9).

Wanita berilmu tidak hanya menjadi lebih produktif, namun di pandang lebih terhormat dan bermartabat. Pada era globalisasi menjadi wanita yang berpendidikan bukan trend lagi, melainkan sudah menjadi kebutuhan yang mesti dipenuhi. Wanita menempati posisi utama dalam mengemban peradaban, karena memegang peran dominan untuk menumbuhkan, mengelola sekaligus memelihara kestabilan semua komponen kehidupan. Tidak bisa dipungkiri bahwa pada diri wanita bertumpu pusat pendidikan dan pembinaan generasi.

Menjadi wanita muslimah tidak hanya memiliki sifat taat beribadah dan akhlakul karimah saja, tapi muslimah pun harus didukung dengan wawasan memadai dan kemandirian. Ia harus mampu mempertahankan citra diri sebagai wanita yang mapan dalam kapasitas intelektual, khusuk kapasitas religius, dan bersahaja kapasitas sosial emosional. Untuk mencapai kesempurnaan itu bukanlah hal mudah. Diperlukan pembelajaran yang serius, terutama tarbiyah dzatiyah  (pembinaan diri sendiri). Pemberdayaan diri dimulai dengan membuat konsep manajemen diri, konsep manajemen diri dianggap sangat penting untuk perkembangan diri dan kesuksesan diri.

Pada dasarnya seseorang dianggap berdaya apabila ia mampu mengurus dan memimpin dirinya lebih dahulu, mampu membimbing dirinya sehingga bisa membawa pada posisi yang lebih terhormat dan mulia. Hal tersebut merupakan salah satu orientasi perjuangan Islam yang dari awal masuknya Islam Rasulullah telah mencontohkan untuk memuliakan wanita. Tinggal bagaimana kaum wanita bisa memelihara dan menjaga misi tersebut sehingga wanita tidak mudah tereksploitasi atau bahkan mengeksploitasi dirinya sendiri. (Syelly Alamsyah, Mahasiswa Pascasarjana UIN SGD Bandung, Magister Ilmu Hukum)

Wanita Muslimah dan Integritas Moral Bangsa

(spiritislam.net) - “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab : 21)

Sebagai mukmin, sudah menjadi keharusan untuk memilih tokoh idola yang berakhlakul karimah. Dalam Islam, sosok yang ideal mewujud pada pribadi-pribadi yang memiliki nilai-nilai spiritual yang mulia, seperti Rasulullah, istri-istri beliau dan sahabat-sahabat serta sahabiyah lainnya. Bagi wanita muslimah,  sosok ideal yang patut dijadikan teladan banyak diabadikan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Profil wanita dalam Al-Qur’an ditampilkan dalam identitas esensial sebagai sosok wanita mulia yang perannya dalam kehidupan amat siginifikan.

Siapakah wanita terbaik dalam Islam?

Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik wanita surga adalah Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti Muhammad, Asiyah binti Muzahim, dan Maryam binti Imran.” (HR. Ahmad).

Mereka adalah teladan cemerlang yang mengajarkan totalitas ketaatannya menjalankan perintah Allah, cinta kasih, perjuangan dan pengorbanan, kepribadian yang agung dan mulia. Khadijah binti Khuwailid, adalah wanita mulia yang hidupnya penuh dengan keutamaan pribadi dan akhlak. Dialah “Ummul Mukminin”, sosoknya menggambarkan bahwa beliau sangat layak untuk menjadi perdana menteri yang setia mendampingi Rasulullah. Dalam hal ini Khadijah adalah teladan penting terutama sebagai sosok istri sekaligus sebagai ibu bagi anak-anaknya.

Fathimah binti Muhammad memiliki kepribadian yang menawan sebagai putri Rasulullah. Meskipun putri seorang nabi yang berkedudukan tinggi, namun sama sekali tidak sombong dengan kedudukannya itu. Dengan keutamaan dan kesempurnaan yang dimilikinya, beliau dikenal sebagai “Sayyidatu Nisa’il Alamin”. Ia teladan terutama sebagai seorang “anak pejabat” dan sebagai seorang istri.

Maryam binti Imran dengan kemuliaannya sebagai wanita ahli ibadah. Gadis suci pilihan Allah yang diberi anugerah keturunan seorang manusia yang mempunyai integritas moral yang mulia, Nabi ‘Isa as. Beliau hamil tanpa memiliki suami. Hanya orang-orang beriman yang percaya akan mukjizat yang terjadi pada Maryam.

“Dan Maryam putri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh (ciptaan) Kami; dan dia membenarkan kalimat-kalimat Tuhannya dan Kitab-kitab-Nya; dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat.(At-Tahrim : 12)

Asiyah binti Muzahim, istri Fir’aun yang merawat dan mengasihi Nabi Musa Alaihissalam. Ia beriman atas risalah yang dibawa oleh Nabi Musa Alaihissalam. Beliau tetap teguh mempertahankan keimanannya kepada Allah hingga akhir hayatnya. Sehingga dalam Al-Qur’an beliau dijadikan perumpamaan bagi orang-orang yang beriman.

Dan Allah membuat istri Firaun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Firaun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang lalim.” (At-Tahrim : 11).

Mereka adalah panutan dan cermin bagi segenap kaum hawa. Keteladanan seperti itulah yang dapat mengilhami dan membangkitkan semangat orang lain serta dapat membangun rumah tangga yang ideal, lingkungan yang baik dan masyarakat yang mulia. Mereka figur yang layak dijadikan teladan.

Krisis Keteladanan
Sayangnya tidak sedikit di kalangan muda-mudi umat Islam mengidolakan selebritis yang justru tidak bermoral bahkan yang menentang ajaran Islam seperti Marilyn Monroe, Madonna atau Lady Gaga. Sungguh naïf jika seorang yang mengaku muslim mengidolakan sosok yang merusak moral bangsa. Kerusakan moral yang menimpa bangsa Indonesia berada pada kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Kerusakan moral tersebut sudah merembes ke segala bidang dan dilakukan di hampir seluruh komponen bangsa, baik pejabat negara maupun masyarakat umum.

Salah satu faktor merosotnya moral bangsa, adalah kurangnya keimanan. Sejarah telah membuktikan, kurangnya keimanan akan menghasilkan manusia-manusia yang buruk akhlaknya. Ia  dapat menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sekarang ini, generasi muda lebih mengidolakan para artis dan selebritis, tanpa memperhatikan sisi moralitas. Bukan tidak boleh mengidolakan artis dan selebritis, tetapi seharusnya bisa memilah dan memilih mana yang patut dicontoh.

Bangsa ini sedang mengalami krisis keteladan. Bahkan para pemimpin yang seharusnya menjadi teladan justru semakin memperkeruh keadaan. Mencari pemimpin yang masih konsisten memegang amanah di negeri ibarat mencari jarum di tumpukan jerami. Masalah ini menjadi sangat serius mengingat karakter masyarakat Indonesia yang masih paternalistik; apa pun yang dilakukan atau tidak dilakukan pemimpin biasanya ditiru secara lugu oleh rakyatnya. Integritas moral anak bangsa ini setelah tumbuh dewasa tidak terpelihara dengan baik, mentalitas mereka bahkan tergerogoti lantaran terpaksa larut oleh situasi bobrok yang tidak kondusif bagi pembinaan moral.

Kembali Kepada Pendidikan Berbasis Moral
Karenanya, menanamkan pendidikan Islam bagi bangsa adalah sebuah keharusan  terutama untuk generasi muda. Pendidikan Islam hakikatnya bersifat religius dan lebih menekankan pada pendekatan keimanan. Penanaman pendidikan Islam ini tidak akan berjalan secara optimal tanpa dibarengi keterlibatan serius dari semua pihak. Semua elemen bangsa (pemerintah, tokoh agama, masyarakat, pendidik, orang tua dan sebagainya) harus memiliki niat dan keseriusan untuk merealisasikannya.

Perjuangan menegakkan moral bangsa menjadi hal yang sangat penting, karena moral bangsa adalah ideologi yang perlu ditopang oleh berbagai pihak, termasuk wanita. Wanita dengan segala potensi dan pesonanya menjadi ikon tersendiri bagi setiap perubahan, baik itu sebuah perbaikan maupun dekadensi. Maka disinilah perlunya wanita menjaga dan melindungi diri untuk tetap mempertahankan derajat, kehormatan, dan martabatnya.

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan menjaga kehormatannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya…” (An-Nur : 31).

Memulai Perubahan dari Diri dan Keluarga
Peran wanita dalam perjuangannya membangun mental dan karakter bangsa adalah mulai dari pembentukan individu, keluarga, dan masyarakat. Melalui tangan wanitalah generasi-generasi bangsa dibesarkan. Mengingat begitu fundamentalnya peranan wanita dalam membentuk moral suatu bangsa, sepatutnyalah wanita bercermin pada sosok para teladan. Seorang wanita muslimah diwajibkan berislam secara kaffah. Karena hanya Islam yang mampu menghormati, meninggikan, dan melindungi martabat wanita. Mereka yang tumbuh dan hidup dalam sistem pendidikan Islam, akan membentuk kelompok kedua dari para teladan.

Sejak awal wanita harus membangun rumah tangganya di atas pondasi taqwa. Karena sebuah bangsa atau masyarakat adalah komunitas yang terbentuk dari pribadi-pribadi, sedangkan yang membentuk karakter pribadi adalah keluarga. Peran wanita dalam perubahan moral ke arah yang lebih baik menjadi hal yang vital, dengan ilmu dan kemuliaan akhlak yang dimilikinya, seorang wanita bisa memberi contoh konkrit kepada masyarakat.

“Pondasi perbaikan bangsa adalah perbaikan keluarga, dan kunci perbaikan keluarga adalah perbaikan kaum wanitanya. Karena wanita adalah guru dunia. Dialah yang menggoyang ayunan dengan tangan kanannya dan mengguncang dunia dengan tangan kirinya. Hasan Al Banna.

Harus disadari bahwa seorang wanita tidak akan memiliki pengaruh ditengah masyarakat, kecuali ia memiliki kepribadian yang kuat untuk mengubah lingkungannya menjadi baik. Sehingga, masyarakat yang muncul adalah masyarakat yang berkarakter mulia. Wanita di tuntut untuk bergerak menjadi motor reformasi kebaikan bagi diri sendiri dan lingkungan sekitar dengan cara memperbaiki kualitas diri.

Perannya yang sangat krusial dalam membentuk karakter suatu bangsa memang tidak ringan. Di tengah gejolak zaman yang penuh tipu daya, wanita harus bisa menempatkan dirinya sebagai napas kehidupan yang meniupkan kedamaian, ketenteraman, dan keindahan. Dan  kiprahnya di ranah publik tersebut harus tetap memperhatikan tatanan moral yang telah ditetapkan Islam dan tidak melalaikan wanita itu dari fungsi dan peranan utamanya, yakni sebagai ibu dan pendidik di rumah tangganya. (Syelly Alamsyah)

Wanita, Antara Tonggak Moral dan Sumber Fitnah

(spiritislam.net) – Ketika melihat sebuah bangunan megah, kebanyakan orang mengaguminya sebatas pada keindahan fisiknya tidak lebih. Mereka jarang sekali berfikir, otak di balik keindahan itu adalah arsiteknya. Merekalah yang merancang setiap lekuk bangunan itu.

Keindahan apapun, baik fisik atau non fisik ditentukan oleh sejauh mana keahlian arsiteknya. Sebagaimana sebuah bangunan fisik, kemajuan sebuah negara dan umat banyak ditentukan arsitek dari sumber daya manusia yang berkualitas di bidangnya.

Berbicara tentang peran wanita dalam peradaban, kebanyakan orang sering melupakannya. Padahal bila menilik sejarah mereka juga arsitek yang turut serta dalam kemajuan suatu bangsa. Terutama perannya sebagai arsitek dalam mencetak SDM yang berkepribadian utuh. Karena itu wanita di tuntut berkiprah dalam membangun bangsa, tidak terbatas hanya “ikut berpartisipasi”, melainkan lebih mengarah ke “peran aktif” pada setiap tahapan penyelenggaraan, yaitu pengaturan, pembinaan, pelaksanaan hingga pengawasan. Wanita diposisikan sebagai arsitek yang mampu mendesain kontruksi sebuah peradaban bangsa, karena dari rahim wanita terlahir penerus masa depan bangsa.

Anak-anak ibarat salah satu karya arsitektur, ketika seorang anak dirancang oleh arsitek, maka karya arsitektur tersebut akan membentuk karakter bangsa. Seperti ditegaskan Anthony Smith, that symbols “have always possessed the emotive collective qualities” that can band a nation together, and architecture is one of the grandest examples of such a symbol. Sadar atau tidak sadar, arsitektur merupakan  identitas bangsa.

Karya arsitektur mencerminkan juga kepribadian dan perilaku para arsiteknya. Sama halnya dalam membentuk generasi yang baik, jika sang arsitek memiliki akhlak dan perilaku yang baik, maka kelak anak-anak tersebut akan menjadi karya arsitektur yang indah. Mereka akan mempunyai andil yang sangat besar dalam membangun bangsa jika memiliki akhlak yang baik.

“Muliakanlah anak-anak kalian dan baguskanlah adab mereka, karena anak-anak kalian itu adalah hadiah bagi kalian.”  (HR. Ibnu Majah)

Tidak ada pemberian yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya yang lebih baik dari pendidikan adab (akhlak) yang baik.” (HR. Tirmidzi).

Kesadaran tentang pentingnya seorang wanita dalam membangun bangsa yang beradab, membuat peran intelektual dan  kerja  pemikiran mereka akan terpola  dalam  kerangka  sebagai  arsitek  peradaban. Perannya sebagai subjek pembangun peradaban dapat teraktualisasi apabila mereka memiliki kerangka pemikiran yang kreatif, inovatif dan kompetitif dalam merancang. Targetnya, membentuk setiap anak menjadi manusia secara holistic, memiliki kesadaran individu bahwa ia bagian dari anggota keluarga, sekolah, lingkungan, masyarakat dan komunitas global.

Al-Quran banyak membahas peran wanita dalam kehidupan, baik sebagai individu, istri, ibu dan hubungannya dengan masyarakat. Wanita merupakan salah satu faktor penentu dalam pemberian arah budaya masyarakat –hubungan causative effect-. Dalam sejarah Islam, Khadijah Al-Kubra adalah salah satu sosok teladan yang patut di contoh.

Rasulullah Sallallu Alaihi wa Sallam bersabda, “Sebaik-baik wanita penunggang unta, adalah wanita yang baik dari kalangan quraisy yang penuh kasih sayang terhadap anaknya dan sangat menjaga apa yang dimiliki oleh suami.” (Muttafaq ‘Alaih).

Khadijah merupakan wanita pertama yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Figur wanita muslimah dengan peran strategisnya sebagai ibu rumah tangga yang amanah, ia merawat anak-anaknya dengan penuh kasih sayang. Kita bisa mengambil ibrah dari kesuksesan beliau dalam mendidik anak. Tetapi peran sebagai pendidik tidak mutlak menjadi tanggung jawab ibu. Sabda Rasul shallallâh ‘alaihi wa sallam secara jelas menunjukkan bahwa mendidik anak menjadi tanggung jawab kedua belah pihak dan masing-masing mempunyai peranan penting.

“Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakain kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah : 223).

“Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya. Kepala negara adalah pemimpin dan bertanggung jawab kepada rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin di rumah tangganya dan di bertanggung jawab terhadap keluarganya. Setiap istri adalah pemimpin di rumah suaminya dan dia bertanggung jawab terhadap rumah tangganya. Seorang pembantu adalah pemimpin pada harta terhadap benda majikannya dan dia bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya.” (HR. Muttafaq’Alaih).

Selain sebagai ibu, peran strategis Khadijah sebagai seorang istri mempunyai kontribusi besar dalam kesuksesan tekad Rasulullah melaksanakan risalah dakwah. Sumber kekuatan yang berada di belakang Rasulullah karena telah menjadi mitra yang sempurna baginya. Dalam sebuah riwayat diceritakan bagaimana Khadijah menentramkan hati Rasulullah.

Ketika Rasulullah mendapat wahyu pertama di gua Hira’, kemudian pulang ke rumah dalam keadaan gemetar. Rasulullah kemudian berkata kepada Khadijah, “Selimuti aku, selimuti aku! Sungguh aku khawatir dengan diriku.” Saat melihat hal tersebut, Khadijah kemudian berkata kepada beliau, “Tenanglah. Sungguh, demi Allah, sekali-kali Dia tidak akan menghinakan dirimu. Engkau adalah orang yang senantiasa menyambung tali silaturahim, senantiasa berkata jujur, tahan dengan penderitaan, mengerjakan apa yang belum pernah dilakukan orang lain, menolong yang lemah dan membela kebenaran.” (HR. Bukhari Muslim).

Sebenarnya, kiprah kaum wanita cukup  luas  meliputi berbagai  bidang. Oleh karena itu, peningkatan kualitas bagi wanita merupakan hal urgen. Tentu saja bagi wanita muslimah, kiprah tersebut harus diselaraskan dengan aturan Islam, dalam segi  akidah, akhlak dan semua masalah yang sudah digariskan atau ditetapkan oleh Islam untuk kaum wanita.

Selain sebagai subjek yang berpotensi membangun bangsa yang beradab, wanita pun berpotensi menghancurkan suatu bangsa, karena wanita adalah sumber segala fitnah jika sudah keluar dari kodratnya.

“Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau. Dan sesungguhnya Allah mempercayakan kalian untuk mengurusinya, Allah ingin melihat bagaimana perbuatan kalian. Maka berhati-hatilah kalian dari fitnah dunia dan takutlah kalian akan fitnah kaum wanita. Karena sesungguhnya fitnah pertama di kalangan Bani Isra’il adalah dalam masalah wanita.” (HR. Muslim).

“Tidaklah aku tinggalkan sesudahku suatu fitnah (cobaan) yang lebih membahayakan bagi kaum pria daripada fitnah kaum wanita.” (HR. Bukhari Muslim).

Tidak ada jalan lain bagi wanita agar tidak menjadi sumber fitnah, kecuali dia harus menjadi wanita yang taat aturan agama. Akhlak dan perilakunya senantiasa berpedoman pada Al-Qur’an dan Sunnah. Maka, wanita seperti itulah yang berkualitas sebagai arsitek peradaban. Jika akhlak wanita rusak akan berakibat rusaknya moral dan akhlak suatu bangsa, karena eksistensi suatu bangsa pun tergantung pada akhlak dan moral rakyatnya, dan wanita bagian dari rakyat itu. Seperti yang dikemukanan penyair Mesir Ahmad Syauqi Bey “Sesungguhnya keberadaan suatu bangsa tergantung pada akhlak, apabila akhlak mereka telah hancur; maka hancurlah bangsa itu.” (Syelly Alamsyah)

Wanita Shalihah Kunci Mencetak Generasi Qurani

(spiritislam.net) – Setiap orang tua tentu ingin anak-anaknya menjadi generasi yang unggul dan membanggakan disamping memiliki pribadi yang shalih. Tapi bagaimana mungkin bisa mencetak generasi yang shalih, sementara dalam diri sendiri belum atau bahkan tidak menyandang gelar tersebut. Lalu, bagaimana cara agar kita dapat berperan maksimal mencetak generasi yang shalih? Tentu saja modal utama untuk mencetak generasi tersebut adalah dimulai dari menshalihkan diri sendiri.

Untuk mencetak anak yang shalih diperlukan sosok yang kuat dalam mendidik serta membimbing cikal bakal generasi tersebut. Ini merupakan tugas dan tanggung jawab kedua orang tua. Akan tetapi, sosok yang sangat berperan penting dan berpengaruh besar dalam pembentukan generasi tersebut adalah ibu. Karena dalam kesehariannya, anak lebih dekat dan lebih banyak berinteraksi dengan ibunya.

Ibu ibarat seekor kerang di laut lepas. Untuk menghasilkan mutiara yang berkilau, seberapa pun keras ombak dan benturan batu karang yang menerpanya, kerang itu harus tetap mengatupkan bibir cangkangnya untuk melindungi mutiara yang ada di dalamnya. Hingga pada waktunya, mutiara yang ada di dalam kerang itu berkilau indah, bernilai tinggi dan akan mahal harganya.

Mutiara itu adalah anak-anak yang akan berkilau jika di didik oleh seorang ibu yang baik, cerdas dan memiliki tekad kuat. Ibu yang memiliki potensi dalam medidik mutiara tersebut harus mempunyai predikat shalihah yang akan mampu menghasilkan mutiara terbaik.

Wanita shalihah memang memiliki keistimewaan dalam segala hal. Mereka memiliki cara pandang yang hebat dalam mendidik anak-anak yang dilahirkannya untuk menjadi generasi mulia. Mereka taat menjalankan aturan agama, sehingga memiliki kedudukan khusus dan keutamaan yang tinggi di mata Allah. Itulah sebabnya Rasulullah berwasiat kepada kaum Adam untuk memilih pendamping hidup dengan lebih memprioritaskan agama ketimbang harta, kecantikan dan keturunan.

Setelah pendidik yang berkualitas, modal selanjutnya adalah sumber materi yang diberikan kepada anak tersebut. Sumber materi apa yang akan menghasilkan generasi yang shalih?

Rasulullah bersabda, “Didiklah anak-anakmu dengan tiga perkara: mencintai Nabimu, mencintai keluarga Nabi dan membaca Al-Qur’an.” (HR. Thabrani)

Poin terakhir dari hadits di atas menganjurkan kita untuk mendidik anak-anak dengan membaca Al-Qur’an. Tentu saja bukan perkara yang mudah menumbuhkan keinginan untuk membaca, memahami dan merefleksikan apa yang terkandung di Al-Qur’an tersebut dalam keseharian mereka. Butuh ketekunan, kesungguhan dan kesabaran dalam menanamkan rasa cinta terhadap Al-Qur’an. Kecintaan terhadap Al-Qur’an harus ditanamkan sejak dini sehingga akan membekas pada jiwa dan hatinya.

Membekali anak dengan Al-Qur’an akan membentuk generasi yang bersih hatinya, akalnya, gambaran hidupnya, dan jiwanya. Rasulullah dan para sahabatnya di awal permulaan Islam disebut oleh Sayyid Qutub sebagai “Generasi Qur’ani”. Mereka merupakan generasi terbaik Islam yang telah lahir di tengah umat manusia karena mereka menjadikan Al-Qur’an sebagai “The way of life”.

Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik kamu adalah generasiku kemudian generasi berikutnya, lalu generasi berikutnya lagi.” (Muttafaq ‘Alaih).

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk umat manusia, menyuruh kepada kebaikan, mengcegah dari mungkar dan beriman kepada Allah. (Ali-Imran :  110).

Keberhasilan Rasulullah mencetak generasi sahabat sejalan dengan misi beliau diutus ke dunia ini, “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR. Bukhari).

Kesempurnaan akhlak Rasulullah adalah manifestasi nilai-nilai dan ajaran Al-Quran. Hal itu diceritakan oleh Aisyah Radhiyallahu Anha, “Akhlak Rasulullah adalah Al-Qur’an.”  (HR. Ahmad)

Generasi Qur’ani tidak akan lahir tanpa ada rasa cinta yang mendalam terhadap Al-Qur’an. Generasi ini akan terlahir di tengah masyarakat yang bersedia untuk “membumikan” Al-Qur’an dan menjadikannya sebagai pedoman akhlak mereka.

Ini karena Al-Qur’an adalah kitab suci yang mencakup seluruh ajaran-ajaran Ilahi. Dalam banyak hadits Rasulullah menyebutkan keutamaan orang-orang yang kehidupannya senantiasa dekat dengan Al-Qur’an.

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan orang yang mengajarkannya.” (HR. Bukhari).

“Tidak ada hasud (iri yang dibenarkan) kecuali dalam dua perkara, yaitu terhadap seseorang yang dikaruniai Al-Qur’an lalu ia membacanya di waktu malam dan siang hari; dan terhadap seseorang yang dikaruniai harta kekayaan, lalu ia menginfakkannya di waktu malam dan siang hari.” (HR. Muslim).

Jika kita kembali kepada generasi sahabiyah maka kita akan temukan mereka telah memberikan teladan yang baik dalam mencetak Generasi Qura’ni. Sebut misalnya, Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti Muhammad Rasulullah, Aisyah binti Abu Bakar dan masih banyak sosok wanita agung lainnya. Bahkan Rasulullah Sallallu Alaihi wa Sallam sendiri yang menjadi saksi keutamaan mereka.

Demi Allah, tidak ada ganti yang lebih baik dari dia (Khadijah), yang beriman kepadaku saat semua orang ingkar, yang percaya kepadaku ketika semua mendustakan, yang mengorbankan semua hartanya saat semua berusaha mempertahankannya dan darinyalah aku mendapatkan keturunan. (HR. Ahmad).

“Fathimah ini adalah penghulu kaum wanita penghuni surga.” (HR. Bukhari).

“Keutamaan Aisyah atas segenap kaum wanita adalah bagaikan keutamaan roti campur daging (Merupakan salah satu makanan paling baik kala itu) atas seluruh makanan.” (HR. Bukhari).

Hanya wanita shalihah yang akan menularkan keshalihannya kepada anak-anaknya. (Syelly Alamsyah) 

Menjadi Ratu Bidadari di Surga 

(spiritislam.net)“Bikin bidadari lupa diri”. Ini penggalan salah satu iklan parfum di televisi. Bidadari dengan kostum seronok yang tergoda oleh keharuman seorang lelaki yang memakai parfum tersebut. Meski hanya iklan, agaknya terlalu berani menjadikan bidadari sebagai bahan joke semata. Tentu terlalu suci jika bidadari digambarkan dalam wujud wanita seperti dalam iklan tersebut. Tidak sepatutnya hal-hal keyakinan agama dijadikan bahan joke.

“Di dalam surga, terdapat bidadari-bidadari yang sopan, yang menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin. Maka nikmat Rabb-mu yang manakah yang kamu dustakan? Seakan-akan biadadari itu permata yakut dan marjan” (Qs. Ar-Rahman : 56-58)

“Di sisi mereka ada bidadari-bidadari yang tidak liar pandangannya dan jelita matanya.” (Qs. Ash-Shaffat: 48).

Bagaimana mungkin bidadari yang suci digambarkan sebagai sosok yang lupa diri. Padahal, seperti dijelaskan kedua ayat di atas, para bidadari selalu menjaga pandangannya. Pandangan para bidadari surga hanya tertuju untuk suami mereka dan tidak pernah melirik lelaki lain,  hal ini disepakati oleh seluruh ahli tafsir. Lelaki yang akan mendapatkan bidadari pun bukanlah sembarang lelaki.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Azza wa Jalla berfirman, “Aku siapkan bagi hamba-hamba-Ku yang shalih sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas oleh pikiran.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Allah berfiman:

“(Bidadari-bidadari) yang jelita, putih bersih dipingit dalam kemah.” (QS. Ar-Rahman : 72)

“Dan (di dalam Surga itu) ada bidadari-bidadari yang bermata jeli laksana mutiara yang tersimpan baik.” (QS. Al Waqiah : 22-23)

“Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan penuh cinta lagi sebaya umurnya.” (QS. Al Waqiah : 35-37)

Dalam banyak ayat dan hadits, dijelaskan gambaran tentang rupa bidadari surga. Dalam penampilan fisik, mereka memang dilukiskan sebagai sosok yang luar biasa cantik, jelita dan sempurna tanpa cela. Meski demikian, nalar manusia tidak akan bisa membayangkan aslinya. Setelah mengetahui sifat dan akhlak para bidadari surga, bagaimana dengan wanita dunia yang masuk surga? Apakah bidadari-bidadari lebih baik daripada wanita surga?

Wanita-wanita surga memiliki keutamaan yang sedemikian besar, sebagaimana disebutkan dalam hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, manakah yang lebih utama, wanita dunia ataukah bidadari yang bermata jeli?” Beliau shallallahu’‘alaihi wa sallam menjawab, “Wanita-wanita dunia lebih utama daripada bidadari-bidadari yang bermata jeli, seperti kelebihan apa yang tampak daripada apa yang tidak tampak.” Saya bertanya, “Karena apa wanita dunia lebih utama daripada mereka?” Beliau menjawab, “Karena shalat mereka, puasa dan ibadah mereka kepada Allah. Allah meletakkan cahaya di wajah mereka, tubuh mereka adalah kain sutra, kulitnya putih bersih, pakaiannya berwarna hijau, perhiasannya kekuning-kuningan, sanggulnya mutiara dan sisirnya terbuat dari emas. Mereka berkata, ‘Kami hidup abadi dan tidak mati, kami lemah lembut dan tidak jahat sama sekali, kami selalu mendampingi dan tidak beranjak sama sekali, kami ridha dan tidak pernah bersungut-sungut sama sekali. Berbahagialah orang yang memiliki kami dan kami memilikinya’.” (HR. Ath-Thabrani)

Gambaran wanita surga yang diuraikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sungguh teramat indah. Ini seharusnya menjadi motivasi bagi kaum hawa, untuk bersungguh-sungguh menjadi sebaik-baik perhiasan dunia agar menjadi wanita penghuni surga, karena kedudukan wanita surga lebih mulia daripada bidadari surga.

Ibnu Arabi berkata, “Wanita adalah bentuk tertinggi keindahan duniawi, tetapi keindahan duniawi tidak berarti apa-apa jika ia bukan merupakan perwujudan dan pencerminan nilai dan ajaran Tuhan”

Kedudukan wanita amat penting sebab mereka menjadi tolok ukur dari kebaikan suatu kaum, bangsa dan masyarakat. Jika pada suatu kaum  komunitas wanitanya baik, maka akan baik pula kehormatan dan harga diri kaum tersebut. Begitu pula sebaliknya, suatu kaum akan hancur jika wanitanya tidak dapat menjaga kehormatan dan harga dirinya.

Selain itu, Allah telah menganugerahkan rahim kepada wanita. Dengan rahim itu, wanita melindungi benih-benih jiwa lalu membasuhnya dengan kasih, mengajarinya cinta, membekalinya kelembutan dan mengarahkannya pada kebaikan dan kebenaran. Dengan kekuatan itu, wanita laksana bumi yang memberikan kesuburan pada setiap makhluk dalam nuansa cinta tanpa syarat. Suatu ketika seorang sahabat menyatakan ingin berperang, Rasulullah balik bertanya “Apakah kamu memiliki ibu?” Ia menjawab, “Ya” Kemudian beliau bersabda, “Tetaplah temani ibumu karena surga ada di bawah kedua kakinya.” (HR. Nasai). Hadits ini menegaskan bahwa Islam adalah agama yang menempatkan wanita sebagai makhluk yang mulia.

Wanita surga adalah wanita shalihah yang ketika di dunia taat menjalankan perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Karakter wanita shalihah selalu tampak dalam setiap gerak-gerik dan tindakannya yang selalu menjaga kehormatannya. Mereka pantas mendapatkan balasan kebaikan sedemikian mulianya berupa kenikmatan surga karena keshalihan pribadi, kedudukan dan peran mereka.

“…dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai sedang mereka kekal di dalamnya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. An-Nisa’ : 13)

Wanita shalihah adalah mereka yang mengatakan “sami’na wa atha’na” ketika perintah Allah berlaku baginya. Syariat yang mengatur tentang wanita bertujuan untuk mengangkat derajat dan menjaganya dari segala macam kehinaan. Aturan Islam terhadap wanita diberikan sesuai dengan fitrah wanita sebagai manusia, bukan sebagai pengekangan. Dalam hal pakaian misalnya, wanita shalihah selalu mengenakan pakaian yang menutup auratnya.   

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita…” (QS An-Nur : 31).

Menutup aurat tujuan utamanya adalah menjaga harga diri dan kehormatan diri secara totalitas. Ajaran ini merupakan salah satu identitas wanita muslimah. Rasulullah bersabda; “Sungguh tutup kepala salah seorang wanita surga itu lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hal ini menjelaskan keutamaan wanita menutup auratnya, sehingga dunia dan seisinya pun tidak bisa menyainginya. (Syelly Alamsyah)

(Sebuah refleksi dari seorang wanita yang sedang berusaha menjadi sebaik-baik perhiasan dunia dan wanita yang dirindu surga, bukan hanya sebatas jiwa yang berjasadkan wanita namun tidak memahami esensi wanita).

Perhiasan Terbaik Dunia untuk Generasi Terbaik

(spiritislam.net) – Sejarah Islam mencatat betapa banyak sosok perempuan-perempuan berkarakter kuat yang turut berperan membangun peradaban. Sebut misalnya; Khadijah binti Khuwailid, Asma Binti Abu Bakar, Fatimah binti Muhammad Rasulullah, Maryam binti Imran, Khansa binti Amr, dan masih banyak perempuan lainnya yang mungkin tidak tercatat dalam tinta emas sejarah Islam. Mereka adalah representasi muslimah dengan kesuksesan perannya sebagai perempuan. Figur mujahidah yang memiliki kecerdasan, keberanian, dan puncaknya adalah keshalihan sehingga memenuhi kualifikasi sebagai perhiasan terbaik dunia. Mereka memiliki kecantikan ruhiyah yang terpancar dari akhlak dan kepribadiannya sebagai muslimah sejati. Jika sebagian mereka memiliki pesona lahiriyah sesungguhnya hanya nilai plus sebagai kehormatan dan amanah yang harus dijaga.

Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhuma meriwayatkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

الدُّنْيَا مَتاَعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ

“Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim no. 1467)

Ada pepatah mengatakan “perempuan adalah separuh masyarakat”. Ini membuktikan bahwa perempuan merupakan tonggak penting peradaban bangsa. Tepatlah jika ada ungkapan “al-ummu madrasah, in a’dadtaha a’dadta sya’ban thayyibal a’raqi” (ibu adalah sekolah. Jika engkau siapkan dia (dengan baik) maka sama artinya engkau siapkan satu bangsa yang baik dan bermartabat).  Ketika  seorang perempuan shalihah berperan menjadi seorang ibu, maka ia adalah ibu yang terbaik bagi putra-putrinya. Dialah yang mengasuh, mendidik serta menuntun anak-anaknya agar menjadi generasi yang unggul dan menjadi manusia yang bertaqwa kepada Allah, karena manusia terbaik di sisi-Nya adalah manusia yang bertaqwa. Karena itu, cara terbaik mencetak generasi mulia dan bermartabat adalah dengan memilih wanita shalihah yang akan melahirkan dan mendidik generasi itu.

Dalam hadist yang lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ ِلأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا. فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

“Wanita itu dinikahi karena empat perkara yaitu karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang punya agama, engkau akan beruntung.” (HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 1466)

Hadits di atas menjelaskan empat faktor seorang perempuan dinikahi oleh lelaki; faktor harta, keturunan, kecantikan, akan tetapi menikahi perempuan karena agamanya menjadi kewajiban dan prioritas utama. Karena ketika seseorang menetapkan sebuah pilihan sebagai keniscayaan hidup, ada sebuah keharusan untuk selektif. Jangan sampai salah memilih. Adanya seleksi adalah bagian dari usaha kausalitas dalam proses menentukan sikap. Ketika perempuan shalilah berperan sebagai istri maka ia menjadi harta terbaik bagi suami, jika dipandang akan menyenangkan, bila diperintah ia mentaati, dan bila suami pergi ia akan menjaga dirinya.

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ maknanya: yang sepatutnya bagi seorang yang beragama dan memiliki kehormatan diri untuk menjadikan agama sebagai petunjuk pandangannya dalam segala sesuatu, terlebih lagi dalam suatu perkara yang akan tinggal lama bersamanya (istri). Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mendapatkan seorang wanita yang memiliki agama di mana hal ini merupakan puncak keinginannya.” (Fathul Bari, 9/164)

Ketika Umar bin Khathab Radhiallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,  “Wahai Rasulullah, harta apakah yang sebaiknya kita miliki?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

لِيَتَّخِذْ أَحَدُكُمْ قَلْبًا شَاكِرًا وَلِسَاناً ذَاكِرًا وَزَوْجَةً مُؤْمِنَةً تُعِيْنُ أَحَدَكُمْ عَلَى أَمْرِ الآخِرَةِ

“Hendaklah salah seorang dari kalian memiliki hati yang bersyukur, lisan yang senantiasa berdzikir dan istri mukminah yang akan menolongmu dalam perkara akhirat.” (HR. Ibnu Majah no. 1856, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Ibnu Majah no. 1505).

Hadits ini menegaskan, keberadaan istri mukminah di samping suaminya memiliki pengaruh dan manfaat yang sangat besar. Ia akan menyokong, menolong, membantu, dan memperteguh suami dalam perkara akhirat.

Dalam surat Al-Ahzab ayat 35, Allah banyak menyebut perempuan-perempuan istimewa yang telah disediakan oleh-Nya ampunan dan pahala yang besar. Mereka adalah perempuan muslimah, perempuan mukminah, perempuan yang tetap dalam ketaatannya, perempuan yang benar, perempuan yang sabar, perempuan yang khusu’, perempuan yang bersedekah, perempuan yang berpuasa, perempuan yang memelihara kehormatannya, dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah. Semoga Allah menganugerahkan kesadaran dan kekuatan kepada kita (kaum hawa) untuk senantiasa belajar dan memperbaiki diri agar menjadi perhiasan terbaik dunia. (Syelly Alamsyah)