Jumat, 30 September 2011

Hati Seluas Samudera

Rasanya lelah dengan semua ini, aku ingin pergi jauh ke tempat yang sepi, meyepi dan sendiri. "Allah" ku hapus air mata yang mulai menetes. Aku tarik nafasku dalam-dalam, belajar memiliki "Hati Seluas Samudera" itulah sepenggal kalimat yang masih aku ingat, yang dikatakan oleh almarhum temanku Yudi beberapa tahun yang lalu. Kalimat itu sering hadir di benakku jika aku merasa terhimpit dalam dilema kehidupan seperti sekarang ini.

Allah tidak akan membebanimu di luar batas kemampuanmu, semua sudah sesuai kadarnya, kamu bisa melewati ini semua. Aku teringat tentang Kisah Telaga Hati;

Suatu hari seorang tua bijak didatangi seorang pemuda yang sedang dirundung masalah. Tanpa membuang waktu pemuda itu langsung menceritakan semua masalahnya. Pak tua bijak hanya mendengarkan dengan seksama, lalu ia mengambil segenggam serbuk pahit dan meminta anak muda itu untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya serbuk pahit itu ke dalam gelas, lalu diaduknya perlahan.

"Coba minum ini dan katakan bagaimana rasanya" ujar pak tua.

"Pahit, pahit sekali" jawab pemuda itu sambil meludah ke samping.

Pak tua itu tersenyum, lalu mengajaknya untuk berjalan ke tepi telaga belakang rumahnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan dan akhirnya sampai ke tepi telaga yang tenang itu. Sesampainya di sana, Pak tua itu kembali menaburkan serbuk pahit ke telaga itu, dan dengan sepotong kayu ia mengaduknya.

"Coba ambil air dari telaga ini dan minumlah"

Saat si pemuda mereguk air itu, Pak tua kembali bertanya lagi kepadanya:

"Bagaimana rasanya?"

"Segar" sahut si pemuda.

"Apakah kamu merasakan pahit di dalam air itu ?" tanya pak tua.

"Tidak" sahut pemuda itu.

Pak tua tersenyum sambil berkata: 

"Anak muda, dengarkan baik-baik. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam serbuk pahit ini, tak lebih tak kurang. Jumlah dan rasa pahitnyapun sama dan memang akan tetap sama. Tetapi kepahitan yang kita rasakan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkannya. Jadi saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu yang kamu dapat lakukan; lapangkanlah dadamu menerima semuanya itu, luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu"

Pak tua itu lalu kembali menasehati: 

"Hatimu adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi jangan jadikan hatimu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu menampung setiap kepahitan itu, dan merubahnya menjadi kesegaran dan kedamaian".

Persis seperti yang diucapkan Ustadz Ahmad, ketika aku bercerita tentang persoalan hidupku, katanya: "Lapangkan dadamu". 

"Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu" Al-Insyirah : 1

Semua tergantung bagaimana kita menyikapi sebuah persoalan, tinggal wadah hati kitalah yang menentukan persoalan tadi terasa berat atau ringan, jika wadahnya kecil maka persoalan kecil sekalipun terasa berat, sedangkan jika wadahnya semakin luas dan dalam, maka persoalan yang berat sekalipun bisa dijalani dengan ringan. Jadikan hatimu seluas samudera agar dapat menenggelamkan semua permasalahan yang ada.

Selasa, 27 September 2011

Dengan Segenap Cinta

"Hah, udah jam sembilan lebih" hatiku berteriak, segera aku ambil handuk, mandi, dan memakai baju yang tidak perlu di setrika, aku bangun kesiangan, untung saja sedang tidak ada kewajiban shalat. Mungkin karena beberapa hari ini aku kelelahan mengerjakan skripsi. Aku ingin hari kamis besok bisa mengajukan proposal, targetku awal 2012 sudah bisa sidang, agar aku bisa melanjutkan S2 Pendidikan di tahun itu, semoga.

Hari berlalu dengan cepatnya, setelah pulang kerja temanku mengajak ke Toko Buku Gramedia, tidak ada yang aku beli di sana, maklum akhir bulan. Sepulang dari Gramedia aku melanjutkan skripsiku diselingi dengan membuka facebook untuk mengetahui kabar teman-temanku, hingga larut malam bahkan menjelang pagi. Aku hanya tidur dua jam itupun terjaga, di kantor rasa kantuk tak tertahankan, aku ingin segera pulang untuk tidur, kopi yang aku seduh tak ada efeknya sama sekali, padahal aku sudah diperingatkan teman kantorku untuk tidak mengkonsumsi kopi setiap hari, terkadang aku menyeduh 2 bungkus kopi sekaligus.

Karena kurang tidur seharian ini aku hang, badan terasa panas dan tidak nafsu makan, gawat bisa kambuh penyakitku, kalau sudah terserang maag rasanya ingin loncat dari gedung tinggi (lebay). Malam dapat meleburkan segala rasa yang tak terungkapkan, waktu menunjukkan hampir jam sebelas malam, aku terbangun dari tidurku karena memang sudah ku rencanakan, jadi seperti kelelawar jadwal tidurku. Tiba-tiba ada lirik lagu yang mampir di otakku;

Dengan segenap cinta
Aku bertanya...
Bila rindu ini, masih milikmu
Ku hadirkan sebuah, tanya untukmu
Harus berapa lama, aku menunggumu
Aku menunggumu...

Sekedar berbagi cerita tetang rasa yang sedang bersemayam di hatiku, menunggu memang pekerjaan yang membosankan. Jadi teringat tentang curahan hati teman kursusku, tentang penantiannya untuk memiliki seorang istri, ku katakan padanya untuk bersabar dan semua indah pada waktunya padahal aku sendiri mengalami kesulitan untuk merealisasikan sikap sabar.

Suatu pagi setelah melaksanakan shalat shubuh aku buka mushaf, tadarusku saat itu di surat Al-Anbiya. Kemudian aku baca artinya, sampai di ayat 37 hatiku serasa di sentil "Manusia diciptakan (bersifat) tergesa-gesa. Kelak Aku akan perlihatkan kepadamu tanda-tanda (kekuasaan)Ku. Maka janganlah kamu meminta Aku menyegerakannya" (aku kirim sms pada temanku mengenai hal tersebut). Ayat tersebut ditujukan untuk orang kafir, di ayat selanjutnya dijelaskan bahwa orang kafir meminta disegerakan datangnya janji Allah (hari kiamat), tapi menurut pemahamanku hikmahnya bisa menjadi evaluasi untuk diri kita. Bahwa manusia terkadang sering tergesa-gesa dalam bertindak karena memang diciptakan bersifat seperti itu, dan selalu ingin menyegerakan segala sesuatu padahal belum tentu yang disegerakannya itu akan berbuah baik (wallahu a'lam bishshawab). Kecuali tiga hal yang memang harus disegerakan dan salah satunya adalah menikah bila sudah ada jodohnya.

"Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah mampu untuk kawin, maka hendaklah dia menikah. Karena dengan menikah itu lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu bisa menjadi perisai baginya". [Muttafaq Alaih].

Sebenarnya kalau memang sudah mampu maka dianjurkan untuk segera menikah, dapat artikel dari teman "Indahnya karunia Allah di dalam menikah", tapi kalau belum mampu hendaklah berpuasa. Terus, kalau misalkan sudah mampu tapi belum ada calonnya? Eng ing eng... Ishbirii Yaa Nafsu, apapun yang Allah tetapkan untuk kita, itulah yang terbaik. Jadi tunggulah dia dengan segenap cinta dan kesabaran, semoga bisa menjadi ladang amal untuk kita.

Cemburu Menguras Hati

Tiga hari ku nanti
Jawabanmu oh kasih
Setiap saat ku harap
Ada keajaiban dalam dirimu
Indahnya masa lalu
Tergores amarahku
Cemburu menguras hati
Galau kini menyiksa diri

Hatiku terasa panas ketika aku melihat dia mengirim pesan mesra di friendster, segera ku telepon meminta penjelasan darinya, dalam keadaan masih berbicara di telepon aku bergegas pulang dari kantor menuju kostan padahal saat itu hujan deras mengguyur Kota Jakarta, aku ingin air hujan mendinginkan hatiku, di kamar aku menendang kardus berisi buku-buku pelajaran dan aku tinju kaca lemari milik ibu kost, kacanya hancur berkeping-keping dan serpihannya melukai tanganku. (November 2008)

Seperti ada kobaran api di punggungku, dan betapa bodohnya aku waktu itu menghiasi hatiku dengan amarah karena terbakar rasa cemburu, padahal status yang aku jalani bersamanya adalah hubungan yang di dalam Islam tidak diperbolehkan. Itu pertama kalinya dia mengkhianatiku dan aku masih menerimanya ketika dia ingin memperbaiki hubungan kami, padahal karena masalah ini aku harus dua kali ke dokter karena terkena penyakit maag, kemudian dia mengulang kesalahan yang sama untuk yang kedua dan yang ketiga kalinya.

Pengkhianatan terakhir yang dilakukannya menghasilkan pisau yang terhujam di dinding kamarku, sebagai bentuk dari luapan emosiku dan itu adalah akhir dari segalanya, meskipun saat itu aku masih sangat mengharapkannya namun perlahan akal sehatku mulai berontak untuk tidak mengharapkan lelaki itu, jera dengan semua permainannya, mungkin ini kehedakNya dan "Allah tahu yang terbaik untukku". (Maret 2010)

Itulah salah satu dari sekian banyak tabiat burukku, aku sulit mengendalikan emosiku ketika amarah merasuk jiwa, padahal Rasul menasehati kita untuk menahan amarah "Laa taghdhab wa lakal jannah". Sifat itu semakin terpupuk saat aku menjalin hubungan dengannya, anak dari pemilik pesantren tempat aku menuntut ilmu, mungkin karena faktor kontroversi dari keluarganya yang membuat aku merasa tertekan dan mudah marah, syukurlah hubungan kami berakhir.

Tabiat burukku yang sering meluapkan amarah dengan anarkis terkadang berimbas pada orang lain, aku pernah melempar batu bata pada teman kantor lamaku yang berlaku kurang ajar, meskipun batu bata itu tidak mengenainya, dan aku pernah menyiram kopi panas di baju teman kantor baruku ketika dia untuk yang ketiga kalinya mengelus tanganku padahal aku sudah memperingatkannya dengan cara yang baik.

Kebiasaan ketika aku masih kecil sering berkelahi terbawa sampai sekarang, mengingat aku di apit diantara saudara lelaki yang membuat aku merasa terlindungi (aya dekengna mun ceuk urang sunda mah), waktu aku duduk di bangku SD ketika terjadi perselisihan, aku pernah menendang temanku Ferry, aku mendorong sahabatku Susi dengan bangku, atau ketika aku SMP, aku berkelahi dengan tetanggaku Ahmad karena masalah adikku, punggungnya terluka oleh cakaranku, dan masih banyak kekasaranku yang lain.

Sangat jelek perangaiku itu, sama sekali tidak mencerminkan seorang wanita yang seharusnya penuh dengan kelembutan. Namun manusia berhak berubah, terlebih untuk menjadi lebih baik, Alhamdulillah ya (ala Syahrini) sekarang ketika amarah mulai hadir, aku mulai bisa mengendalikan emosiku dengan cara menasehati diriku sendiri "La taghdhab, la taghdhab, la taghdhab".

                                                                           ***

Cerita di atas adalah intermezo dari pembahasan "Cemburu Menguras Hati", bagaimana kita mengelola hati ketika rasa cemburu datang. Orang bilang cemburu itu tanda sayang dan hal yang wajar, akan tidak wajar jika rasa cemburu telah meracuni hati dan dilampiaskan pada hal yang negatif.

Menurutku jika seseorang benar-benar mencintai pasangannya, sudah dipastikan akan merasa cemburu jika orang yang dicintainya dekat dengan yang lain, siapapun. Untuk yang sudah menikah cemburu itu seperti bumbu, tapi untuk yang belum terikat dalam pernikahan alias masih pacaran, apalagi pelampiasannya seperti kasus di atas, rugi. Aku berani bilang seperti ini karena pengalaman pribadi, tak ada gunanya menghabiskan energi untuk hal yang tidak ada faidahnya untuk kita. Yang lebih unik lagi jika kita cemburu ketika seseorang yang kita cintai dekat dengan yang lain, padahal tidak ada hubungan apapun dengan kita, "Untuk cemburupun aku tidak berhak".

Untuk wanita yang sudah menikah dan suamimu ingin menikah lagi, itu merupakan ujian kesabaran agar kamu naik derajat, dari hati yang terdalam; wanita mana yang sanggup di madu? Tapi Allah menjamin kamu dengan surga, kamu wanita pilihan (pelajari juga ya syarat poligami). Dan untuk yang sedang mengharapkan seseorang yang kamu cintai namun belum mempunyai hubungan apapun, dan kamu merasa cemburu jika dia dekat dengan yang lain, tenang saja kalau memang dia jodoh kamu, cepat atau lambat pasti Allah persatukan. Intinya jalani semua dengan ikhlas, karena sifat ini menjadi bagian terpenting dalam menyikapi semua masalah, apapun masalahnya.

Saran aku jika kamu sedang tenggelam dalam rasa cemburu, berpikirlah objektif, generalisasi semua duduk permasalahan dengan bijak, konsultasi pada teman yang kamu anggap memiliki jawaban yang bijak dan mohon petunjuk pada Sang Maha Bijak, perbanyak mengingat Allah "Hanya dengan menginat Allah hati menjadi tenang". Ingat! Jangan lampiaskan amarahmu (menasehati diriku sendiri); seseorang dikatakan berani bila ia tetap mampu ber-mujahadah li nafsi, melawan nafsu dan amarah. Kemudian ia tetap dapat mengendalikan diri dan menahan tangannya padahal ia punya kemampuan dan peluang untuk melampiaskan amarahnya. Temanku bilang; marah itu panas, panas itu api, api itu neraka dan neraka adalah tempatnya syetan.

Senin, 26 September 2011

Nostalgia Masa Kecil

Teringat indahnya masa kecilku ketika pertama kalinya aku belajar memanjat pohon jambu di halaman rumahku sehingga aku menjadi pemanjat pohon yang handal. Ketika aku belajar mengendarai sepeda dan kakakku mengejar sepeda yang aku ayuh karena meluncur cukup kencang ketika berada di jalanan yang menurun, sepeda itu tidak aku rem karena takut jatuh, maklum aku belajar naik sepeda langsung roda dua dan sepeda itu terlalu tinggi untuk digunakkan olehku. Ketika aku bermain layang-layang di genting rumahku bersama adik dan kakakku, "Kebebasan yang terkendali" itu filosofi yang aku dapatkan dari layang-layang.

Cerita yang masih melegenda adalah aku dan adikku sering mengayuh becak yang sedang parkir di depan rumahku, sementara tukang becaknya sedang makan di warung ibuku. Umurku dan adikku hanya berjarak sekitar dua tahun, suatu hari ketika kami sedang asyik bergiliran mengayuh becak dan melewati garasi becak, juragan becak itu marah;

"Heh becak saha eta, balikeun! Bangor pisan nya budak Ceu Ade teh"

Cerita yang tidak kalah menarik adalah waktu kecil aku sering di ajak bermain sepak bola oleh teman-teman lelaki, kemudian ketika aku belajar di Pondok Pesantren Istiqomah Mudawamah Tasikmalaya, aku pernah mengikuti perlombaan sepak bola wanita bersama penduduk kampung, sepulangnya aku dimarahi habis-habisan oleh salah satu pengajar di sana, padahal niatku hanya untuk meramaikan acara 17 agustus.

                                                                            ***

Lebaran kemarin setelah ba'da dzuhur meskipun kondisi badanku kurang sehat, aku putuskan untuk pergi bersilaturahmi ke Kota Sumedang, aku bersama adik sepupuku Uwi mengendarai motor Scoopy warna biru metalik, cukup meneganggkan juga track menggunakan motor yang berbody bohay dan ompong. Dulu ketika masih SD, kota ini menjadi tujuan untuk mengisi liburanku dengan menuntut ilmu agama, aku pesantren kilat di Pondok Pesantren Darul Qur'an Sumedang.


Bersambung...

Jumat, 23 September 2011

Hati Yang Terluka

Aku seperti tidak bisa menerima kenyataan yang sedang aku hadapi, ayahku telah beristri lagi dan dari pernikahan mereka Allah berikan aku adik tiri yang wajahnya mirip dengan adik kandungku, aku jadi punya dua orang adik lelaki. Entah mengapa saat itu jika aku melihat wajah adik tiriku rasanya ingin sekali menjitaknya.

Setelah beberapa hari bersama mereka, keluarga yang baru aku kenal setelah umurku beranjak dewasa, banyak informasi yang masuk ke telingaku tentang ayahku, semua buat aku gamang. Pada siang itu aku tanyakan semua pertanyaan yang berkecamuk di pikiranku, di mulai dengan pertanyaan; selama ini dia kemana?

Ketika semua teman-temanku bercerita tentang pekerjaan ayahnya, aku hanya terdiam atau mengarang cerita tentang pekerjaan ayahku, karena aku tidak tahu apa pekerjaannya. Ketika aku sudah bisa menulis, dengan ukuran tulisan yang besar aku menulis surat padanya bercerita tentang kabar kami, dari semua surat yang aku kirimkan tidak pernah ada satupun surat yang ia balas, hingga akhirnya pada usia sekitar 16 tahun aku lelah mengirim surat. Ketika ibuku melahirkan adikku tanpa kehadirannya, ya, ayahku meninggalkan kami ketika adikku masih di dalam kandungan.

Aku ungkapkan semua kekecewaanku, aku katakan tentang kebesaran hati ibuku yang mampu membesarkan kami tanpa didampingi olehnya dan aku bersyukur ibuku bukan orang yang tega meniggalkan anaknya di panti asuhan. Seorang wanita tangguh yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan anak-anaknya, mulai dari pagi buta sampai larut malam. Entah sudah berapa banyak tetesan air mata yang mengalir di pipiku siang itu, hatiku terasa perih, karena luka yang ia torehkan selama 15 tahun.

Allah, betapa pahitnya kenyataan ini! Aku putuskan untuk pulang ke Bandung malam nanti, namun situasi malam itu tidak mendukung karena kendaraan umum di daerah itu jika malam hari sudah tidak ada, aku semakin kecewa, maksudku jika pada malam hari tidak ada kendaraan umum di daerah itu, kenapa tidak memberi tahu, jadi aku bisa mengambil keputusan untuk pulang siang itu juga. Kembali ku teteskan air mata, sekitar dua jam aku menangis "Aku ingin pulang", aku ingin bersama ibuku.

Esok harinya setelah menelepon ibuku, akhirnya aku putuskan untuk pulang ke Bandung hari lusa. Mungkin kemarin aku terlalu emosi mengambil keputusan untuk pulang hari itu juga, aku coba menikmati suasana di sana. Tiba saatnya aku kembali ke kota kelahiranku, aku diantar oleh ayahku, namun sepanjang perjalanan tidak terlalu banyak komunikasi yang terjalin.

Tiba di Kota Bandung pukul satu malam,

Senin, 19 September 2011

Hingga Akhir Waktu

Beberapa hari yang lalu ada yang masuk di pesan facebookku dari seorang lelaki, dia mendapat alamat facebookku dari teman kursusku. Katanya dia sedang mencari pasangan dan ingin ta’aruf denganku, kemudian temanku setelah meminta izin memberikan nomor hapeku padanya. Kami mulai komunikasi, awalnya dia hanya menanyakan; Sedang apa? Lagi kerja ya? Sudah pulang ya? Dan beberapa sms yang hanya basa basi, hitungannya dari 3 sms yang dia kirim hanya 1 yang aku balas, karena memang bukan hal yang penting menurutku.

Setelah beberapa hari, dia menyampaikan niatnya untuk ta’aruf denganku, kurang lebih seperti ini;

Dia : "Maaf, bolehkah aku ta’aruf lebih dekat dengan kamu?"

Aku : "Silahkan, tapi sekarang saya lagi gak kepikiran untuk ta’aruf ke jenjang pernikahan, lagi fokus skripsi, awal 2012 sidang"

Dia : "Ta’aruf kan gak harus cepet-cepet nikah, tapi saling memahami sifat masing-masing dulu"

Tidak aku balas sms terakhir, karena yang aku maksud kalau untuk ta'aruf sebagai teman tidak masalah, karena untuk saat ini otakku sedang penuh dengan tugas akhir dan pekerjaan kantorku yang menumpuk, kemudian dia sms lagi menanyakan perihal nomor hape;

Dia : "Nomor hape kamu ganti yang ini ya?"

Aku : "Gak, sementara yang itu non aktif dulu terlalu banyak orang sms, lagi fokus tugas akhir"

Dia : "Kalau gituh aku gak akan ganggu kamu dulu, tapi kalau sms untuk bangunin shalat tahajjud gak apa-apa kan?" (Sebelumnya dia telah beberapa kali mengingatkan aku untuk shalat tahajjud dan dhuha).

Aku : "Terserah, tapi saya juga sudah pasang alarm, jadi percuma"

Dia : "Oh, terima kasih ya sudah kasih kesempatan untuk ta’aruf lebih dekat" aku tidak membalas sms terakhir karena aku sudah mengantuk.

Sebenarnya aku sudah mulai terbiasa dengan kesendirianku (Sally Sendiri), dan sekarang ada orang yang rajin membangunkanku untuk shalat tahajjud, aku bersyukur karena ada yang mau mengingatkanku dalam hal kebaikan, seperti salah satu do'aku padaNya bahwa aku ingin memiliki suami yang bisa membangunkanku untuk shalat tahajjud, mengingat waktu tidurku cukup panjang, setiap harinya rata-rata aku menghabiskan waktu untuk tidur 10 jam terkadang aku mampu tidur 12 bahkan 14 jam jika aku sedang tidak ada kewajiban menunaikan ibadah shalat. Tadi malam dia masih membangunkanku untuk shalat tahajjud meskipun selalu tidak aku balas, bahkan ketika aku pulang ke Bandung, dia mengirim sms padahal seingatku tidak memberitahunya tentang kepulanganku;

"Assalamu’alaikum, Syel jadi pulang ke Bandung hari ini? Hati-hati di jalan ya"

Terbersit tanya dalalam hatiku; ini mau ta’aruf apa mau pacaran islami? Karena menurutku kalau ta’aruf komunikasinya tidak seperti ini, jadi seperti orang pacaran saja. Karena meskipun aku dulu pernah dua kali pacaran (seperti kata temanku: kalau pernah pacaran mah bukan akhwat namanya, tapi ah gawat), walaupun aku tidak pernah mengaku-ngaku sebagai seorang akhwat dan aku memang belum kaffah mengikuti aturan islam tapi sekarang aku tidak pernah berminat untuk kembali bermain api (pacaran), karena aku tidak ingin membakar hatiku dengan hal seperti itu lagi, mengingat betapa sulitnya aku berjuang selama kurang lebih enam bulan untuk melupakan seseorang yang dahulu dia selalu berusaha ada untukku dan dia akhiri hubungan kami dengan pengkhianatan.

Aku sendiri tidak mengerti dengan semua gejolak yang sedang terjadi di hatiku "Hati wanita adalah lautan terdalam yang sulit diselami", jujur saja aku ingin segera menikah tapi dari beberapa orang yang pernah mengutarakan maksudnya padaku, termasuk salah satu temanku di pesantren yang ingin mempererat tali silaturahmi dengan ikatan pernikahan, namun sepertinya hatiku belum merasa mantap, hingga beberapa orang sering berkomentar yang sedikit mengiris hatiku dan membuat aku menangis dalam renungan. Jika mereka menganggap aku seorang pemilih, apakah aku salah? Karena menikah bukan untuk satu dua hari, mungkinkah aku membangun biduk rumah tangga bersama orang yang aku tidak mencintainya? Semua orang pasti berharap akan bersama orang yang dikasihinya hingga akhir waktu, seperti lirik lagu Sepanjang Hidup - Maher Zain;

Sepanjang hidup bersamamu
Kesetiaanku tulus untukmu
Hingga akhir waktu...
Kaulah cintaku, Cintaku
Sepanjang hidup seiring waktu
Aku bersyukur atas hadirmu
Kini dan selamanya aku milikmu
Yakini hatiku.

Lirik lengkapnya cari sendiri ya, ada dalam bahasa Inggris juga "For the rest of my life", penyanyinya orang Libanon, ganteng banget.

Senin, 12 September 2011

Wisata Pulau Dewata

Tak seperti hatiku yang riuh, suasana hening tanpa  gemuruh angin yang berbisik, aku masih terjaga hanyut dalam pergolakan batinku, waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari, padahal pagi ini aku akan berlibur ke Bali. Ada yang sedang aku pikirkan dan cukup menyita waktu tidurku. (08 Sep 2011)

Pulau Bali atau biasa di sebut Pulau Dewata adalah daerah wisata yang terletak diantara Pulau Jawa dan Pulau Lombok, aku pergi bersama Herta, Yanto, Dadan, Iwan, Selvy dan Rafli. Kami pergi ke pulau tersebut dengan menggunakan Maskapai Penerbangan Air Asia. Tidak terlalu banyak daerah wisata yang kami kunjungi di sana, namun cukup memberikan kesan bahwa pulau tersebut memang indah. Objek wisata yang kami kunjungi adalah GWK, Dream Land, Pantai Kuta, Tanah Lot, Bedugul, dan malam terakhir kami makan di Jimbaran.

Hari ketiga berada di Pulau Bali, pagi setelah shalat shubuh kami sudah keluar hotel ingin menikmati sunrise di Pantai Kuta, tapi ternyata salah prediksi di pantai ini keindahan matahari bisa dinikmati pada sore hari, aku bermain dengan ombak yang sedang pasang dan di pinggir pantai aku ukir namaku, tadinya aku ingin mengukir nama seseorang juga, tapi niat itu aku urungkan cukup namanya terukir di hatiku saja dan tak akan terhapus oleh sapuan ombak.

Sorenya kami pergi ke Tanah Lot untuk menikmati sunset, di sana mataku tertuju pada panah yang di jual pedagang souvenir, aku langsung menanyakan berapa harga panah tersebut dan Alhamdulillah setelah tawar menawar berlangsung aku dapatkan harga yang relatif murah karena sebelumnya aku sudah searching di internet. Kemudian temanku bertanya:

Aku: Mau manah apa Seli?

Dia: Mau manah hati seseorang.

Awalnya temanku sudah khawatir akan terjadi masalah di bandara jika membawa senjata tajam, dan memang kekhawatiran itu terjadi.


Bersambung...

Jumat, 02 September 2011

Rasa Yang Tertinggal

Idul fitri kali ini tanpa adanya sosok lelaki itu, seseorang yang beberapa bulan lalu istirahat untuk selamanya, ada yang hilang! Tak seperti biasanya, rumah tua yang aku tempati sejak kecil itu, jika hari raya banyak saudara dan kerabat dekat yang berkunjung untuk bersilaturahmi, karena kakekku adalah anak lelaki tertua di keluarganya.

Beberapa tetangga mulai berkunjung ke rumah untuk bersilaturahmi dan saling memaafkan, kemudian aku dan ibuku pun bersilaturahmi ke rumah tetangga setelah itu kami berangkat ke rumah paman dan bibiku di Ujung Berung (nama daerah di Kota Bandung, tempat aku dilahirkan dan tempat pemakaman keluarga).

Ada yang menyentuh jiwa dan rasa yang tertinggal di hati ketika mendengar cerita tentang Azis dan Fauzi. Kedua anak lelaki itu adalah sepupuku, anak dari Mang Rahmat (adik dari ibuku). Pagi itu setelah mereka melaksanakan Shalat Ied, mereka pamit kepada Mang Nana (suami dari adik ibuku);

"Mang ka bumi heula nya" kata Azis. Rumah paman dan bibi dari ibuku bersebelahan.

"Nya sok" jawab Mang Nana.

Setelah beberapa menit kemudian, Azis dan Fauzi belum juga muncul di rumah bibiku, Mang Nana menyusul ke rumahnya, di rumah itu mereka berdua sedang diselimuti rasa sedih, tetesan air mengalir dari mata mereka.

"Hayu ka imah urang ngupat" ajak Mang Nana.

Ketika di rumah bibiku, Azis sungkem dan langsung memeluk bibiku sambil menangis.

"Geus ulah dicengceurikan da nu geus euweuh mah euweuh" kata Mang Nana.

Azis dan Fauzi baru saja di tinggal wafat oleh ibunya dan kini ayahnya berada di Palembang untuk mencari rezeki mengikuti jejak kakaknya. Rahmat adalah adik kedua ibuku, pekerjaannya sebagai tukang ojeg dan dia adalah seorang pemabuk namun mempunyai istri yang shalihah, seorang guru ngaji yang ketika wafatnya banyak sekali yang melayat, terkadang Allah menyatukan dua jiwa yang memiliki perbedaan sangat signifikan dalam satu ikatan pernikahan. Namun Sang Pemabuk itu mendapat hidayah Allah ketika bapaknya meninggal. Ia mulai rajin melaksanakan shalat lima waktu dan belajar mengaji pada istrinya, hatinya pun mulai terikat dengan masjid. Subhaanallah.

                                                                                             ***
Suatu hari dirumah Mang Rahmat;

"Lis, ajarkeun ngaji" kata Mang Rahmat.

"Sok" kata Bi Lisda.

"Ari iyeu huruf naon" tanya Mang Rahmat.

Pamanku baru tergugah hatinya untuk belajar mengaji, tapi tak pernah ada kata terlambat untuk belajar, malamnya Bi Lisda hendak melaksanakan Shalat Tahajjud;

"Rek kamana Lis?" tanya Mang Rahmat.

"Shalat Tahajjud" jawab Bi Lisda.

"Rahmat miluan" hatinya terketuk "Tapi Rahmat mah teu bisa jadi imam" lanjutnya.

"Teu nanaon teu jadi imam ge, shalat masing-masing weh, shalatna dua roka'at, bacaanna mah jiga shalat biasa, tah iyeu du'a tas shalatna.

Keharmonisan yang terbangun ketika suami istri saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran. Subhaanallaah, Subhaanallaah, Subhaanallaah. Meskipun suasana ini hanya berlangsung beberapa bulan tapi telah memberikan ibrah bagi Mang Rahmat, karena Allah berkehendak beberapa bulan setelah kepergian bapaknya, istrinya pun meninggalkannya.

Skenario yang cukup mengiris hati namun menghadiahkan berjuta hikmah; seorang pemabuk yang mendapat hidayah setelah bapaknya meninggal dunia namun harus berbesar hati ketika Allah pun mengambil nyawa istrinya, dua anak yang baru beranjak dewasa namun harus kehilangan sosok yang selama ini menaunginya dengan kasih sayang dan harus merayakan hari lebaran tanpa kehadiran sang ayah. Kematian adalah sesuatu yang pasti dan setiap jiwa akan merasakannya, banyak rasa yang tertinggal yang Allah pahatkan dengan tinta emas di relung hatiku setelah kepergian mereka.




*Mohon maaf kepada seluruh tokoh yang terlibat dalam kisah ini jika ada tulisan yang kurang berkenan.