Minggu, 22 September 2013

Hangat Mentari Pagi

Aku menikmati tetes embun pagi, sebuah kesejukkan yang didapat dari bulir-bulir air di atas pucuk dedaunan yang mengawali pagi dengan nafas kehidupan. "Terjatuh aku dalam keindahan penantian".

Suara riuh gemericik mengajarkan pada rasa syukur setiap harinya ketika mata tak lagi terpejam karena lelap. "Ingatkah engkau kepada embun pagi bersahaja yang menemanimu sebelum cahaya?"

Pagi ini mentari besinar rekah, memanjakan mata oleh pernik keemasannya. Mestinya kau bersamaku melakukan ziarah hatiku, menapaki bukit matahari menelusuri rimba gelisahku. Tapi kau tak menyapa pagi ini, tak seperti hangat mentari pagi.

"Terucap keraguan hati yang bimbang yang terhalang kepastian cinta."

Ada saatnya aku diam dan menyentuh sepi karena tarian riuh kata tak memberiku ruang untuk sekedar bernyanyi dan biarkan suara hati menggelagayut kembali jemari tangan.

"Dengarkanlah permintaan hati yang teraniaya sunyi." 
 
Aku ambil kayuh dan mendayung pagi jelajahi samudera hari dan biarkan bulir keringat membasahi. Sejenak melepaskan senyum di pipi sambut mentari yang tiada berhenti berbagi cahaya warna warni karena mendung dan gemuruh yang telah berlalu.  

Aku telah menyimpan rapat kenangan kusam sepeninggal malam, kini pagi melagukan rindu begitu dalam dan menampilkan segala riuh tentang jejak langkah yang terus menjauh. Kenangan membahasakan dirinya dalam luruh dedaunan.
 
Ada saatnya aku pergi dan tak harus memberi kabar karena kereta pagi tak pernah bergeser waktu keberangkatannya menuju matahari.