Minggu, 30 Desember 2012

Menanti Sinar Mentari

Bila rindu ini masih milikmu, ku hadirkan sebuah tanya untukmu, harus berapa lama aku menunggumu, aku menunggumu... 

Rasa ini belum pergi, masih tetap bersemayam dalam hati Dewi. Meskipun ada perih yang menjalar, tapi itulah bagian dari mencintai.  Dalam kesunyian malam yang mencekam, Dewi masih menanti Mentari meski ia pun merasa lelah. Ia yakin, bahwa Mentari akan hadir.

"Mentari" Dewi menyebut namanya di tengah keheningan malam. Apakah Mentari mendengar seruan Sang Dewi?

Dewi sangat yakin, Mentari akan bersinar indah pada kalanya, cantik pada masanya. Dengan porsi yang sesuai, dengan ritme yang harmonis. Tentang Mentari yang menghias pagi, melembutkan hati, dan memberikan banyak pembelajaran.

"Seringkali hal yang bagimu itu biasa, tapi bagi orang lain itu luar biasa" ucap Mentari ketika hatinya tersentuh oleh pesona Sang Dewi.

"Maafkan aku jika telah mengusik hatimu" permohonan maaf ini masih tersimpan dalam benak Dewi. Menunggu moment yang tepat untuk disampaikan kepada Mentari.

Jumat, 21 Desember 2012

Elegi Sang Mentari

"Seperti butiran embun yang menitikan kesejukan pada sebuah kelopak daun, seputik hatimu pun menawarkan segala keindahan kasih." pesan terkirim untuk Mentari.

Meski hanya setitik, namun dapat menyentuh keangkuhan hati Dewi. Dan butiran kebeningan embun itu adalah sebentuk hati Mentari. Mentari memberikan siraman kelembutan yang selama ini hanyalah sebuah impian bagi Dewi, yang selalu berulang singgah dan sirna hanya dalam sekian masa. 


"Aku masih mencintainya" kembali batin Dewi berbisik.

Kapan rasa itu hadir Dewi pun tak menyadarinya. "Sungguh sebuah tanya yang terindah, bagaimana dia merengkuh sadarku, tak perlu ku bermimpi yang indah, karena ada dia di hidupku" pesan kembali terkirim untuk Mentari.  


Tapi Mentari tak selamanya menjelma menjadi embun pagi. Seringkali awan-awan kelabu menghalangi bias Sang Mentari.  Terkadang rasa ini mewujudkan tangisan-tangisan malam Dewi. "Mengapa jiwaku terasa perih?" tanya Dewi pada Sang Malam.
 

Seringkali Mentari menerbangkan asa Dewi di langit biru. Namun terkadang ia membiarkan Dewi terjatuh dalam kubangan harapan yang tak pasti.
 

"Pada akhirnya, segala sesuatu akan selalu kembali kepada takdirnya" ucap Mentari.
 

Dewi membuka jendela hatinya. Ia melihat hatinya retak.  Ia masih menanti Mentari yang akan mengganti sayapnya yang patah oleh cinta. Mentari yang mengumpulkan lembaran-lembaran elegi yang Dewi tulis dengan air mata.

Cinta tak henti-hentinya menguji Dewi. Gelombangnya begitu besar mengombang-ambing. Cahayanya terik meluluhkan pilar-pilar hati Dewi. Perlahan Dewi mulai memahami untuk melepaskan dan mengikhlaskan. "Allah, aku kembalikan hati ini kepadaMu. Sebab hanya Kaulah yang menggenggam sekeping hatiku ini" Dewi pun terlelap dalam tidurnya.

Rabu, 12 Desember 2012

Mentari Beranjak Pergi

"Bahkan saat kau memutuskan untuk membuang jauh-jauh bayangan dirinya dari hidupmu pun, dia tetap berjanji pada dirinya untuk memberi yang terbaik sekuat yang ia mampu untuk bidadarinya. Maka jika apa yang kau katakan dua hari yang silam itu benar, tolong sampaikan manfaat apa yang sudah ia peroleh dan harapkan dari cintanya yang telah luput dari pengetahuannya. Mentarimu hanya manusia biasa. Ada banyak hal yang alpa dari kesadarannya. Sampaikanlah padanya agar ia bisa menyebutnya dalam do'a dan istighfarnya." kalimat itu membuat Dewi terpaku dalam perenungan.

"Berikan aku waktu tuk menikmati rasa ini. Aku hanya butuh waktu tuk memahat puing-puing asa menjadi bangunan keyakinan yang kokoh." batin Dewi berbisik.

Seperti janji-Nya mempergilirkan siang dan malam, pun roda kehidupan terus berputar, adakalanya langit biru, terkadang gelap pekat memayungi. Jika kini panas terik ditingkahi rinai hujan, mungkin esok hujan sepanjang hari. Jika hari ini cerah menghangatkan, mungkin esok terik matahari membakar.

Ya, Mentari tak selalu hadir menyapa, terkadang mendung. Begitu pun dengan cintanya, tapi dengan segala keterbatasan yang ada, ia berani mencintai kekasihnya. Dewi bisa merasakan hangatnya sinar Mentari, meski terkadang terik panasnya menyengat. Dewi pun bisa merasakan pelita itu menerangi bilik-bilik hatinya, meski terkadang kegelapan memayungi. Mentari hanya manusia biasa yang jauh dari kesempurnaan. Hakikatnya, kesempurnaan hanya milik Sang Khalik.  

"Meski ku rapuh dalam langkah, kadang tak setia kepadamu. Namun cinta dalam jiwa hanyalah padamu. Maafkanlah bila hati, tak sempurna mencintaimu. Dalam dada ku harap hanya, dirimu yang bertahta" lirik lagu "Rapuh" menemani lamunan Dewi.  

Mentari tak selalu menemanimu setiap saat, jika senja tiba ia harus kembali ke peraduannya. Tapi tugasnya tak selesai sampai di situ, karena sejatinya Mentari sedang menyinari belahan bumi yang lain. Meskipun Dewi tak bisa melihat Mentari di malam hari, tapi cahaya rembulan adalah pantulan dari sinarnya. Lihat bagaimana cara Mentari mencinta, dalam ketiadaannya ia masih berusaha memberikan yang terbaik untuk kekasihnya. 

Ternyata kehadiran Mentari telah menggangu sistem keseimbangan hati Dewi. Tak terasa bulu mata Dewi yang lentik basah oleh air mata. "Dan matahari berjalan ke tempat peristirahatannya"

Senin, 03 Desember 2012

Rindu Sinar Mentari

"Kau seperti nyanyian dalam hatiku yang memanggil rinduku padamu, seperti udara yang ku hela kau selalu ada. Hanya dirimu yang bisa membuatku tenang, tanpa dirimu aku merasa hilang dan sepi"

"Ada yang menunggumu di telaga rindu" ucap sekeping hati pada Mentari. Telaga yang tak pernah kering akan kerinduan yang mendalam. 

Dewi rindu pada semburat cahaya di antara rindang pepohonan. Lalu ia berteriak  "Mentari, aku di sini!" tapi teriakan itu hanya bergema di hatinya. 

Diam penuh gejolak dalam hati yang tersamarkan oleh senyuman. Apa yang bisa terlihat saat senyum mengembang di antara perih yang masih tersisa? 

"Senyum itu melegakan hati" ucap Mentari beberapa tahun silam. 

Dewi menatap Mentari dari kejauhan, namun hanya sebatas menatap. Mulutnya seolah terkunci untuk memanggil Mentari. Rindu hanya sebuah rindu yang tak terkatakan. Dewi bersandar di bawah pohon rindang, dalam dinginnya kerinduan yang tak tersampaikan. Detik demi detik waktu terus berjalan. 

"Di mana Dewi?" Mentari terlihat gelisah, ada segurat kecewa di wajahnya.

Mentari pun beranjak pergi, Dewi hanya menatap kepergiannya. Ia tak ingin menyentuh hati Mentari lagi. Senja menenggelamkan Mentari di ufuk kerinduan. Dewi menghela nafas, mencoba menerima dan tetap dalam kebisuan. Dan jarak menjadikan semuanya tetap dalam kerinduan.

Ketika gejolak itu semakin kuat, rindu itu membakar hati. "Terima kasih atas hari, aku bisa melihat Mentari meski dari jauh"

"Biarkan rindu itu tetap ada, akan aku titipkan rindu pada Mentari pagi" Mentari selalu berusaha mengahangatkan pagi dengan sinarnya. Dewi tertunduk, matanya mulai berkaca-kaca pada akhirnya air mata itu tak terbendung lagi. 

"Tak perlu meminta maaf, jika harus ada yang disalahkan itu adalah aku" Dewi teringat perkataan Mentari.

Sabtu, 01 Desember 2012

Setulus Cinta Mentari


“Terus melangkah melupakanmu, lelah hati perhatikan sikapmu. Jalan pikiranmu buatku ragu, tak mungkin ini terus bertahan”

Sekali lagi Dewi tersesat pada gulungan rasa cinta. Meskipun lelah, ia masih belum bisa mengusir seseorang yang telah membelenggu hatinya. Terdengar begitu random? Ya, begitulah. Untuk kesekian kalinya Dewi harus belajar melupakan seseorang.

Sore ini hujan, tanpa sengaja Dewi terseret dalam lorong kenangan, terpelanting bertubi-tubi. Hujan sangat sukses mendramatisir semuanya. Seakan cerita lama sedang bebas berkoar-koar dalam benak Dewi, menyemai benih-benih inspirasi.

Dewi membuang pandangan ke arah jendela yang sudah berlumur buih-buih rerintik, mereka seperti sedang menertawai perempuan berkerudung ungu itu. Dewi tengah jatuh di titik jenuh, tanpa sengaja bulir air menetes dari pelupuk matanya. Hujan selalu mengerti saat lengkung senyum terbentuk tapi jiwa meneriaki perih. Ia mewakili air mata yang terdiam.

"Aku butuh Mentari" batin Dewi. Tapi kali ini Dewi pun tak mungkin mengharapkan Mentari. Hujan membuat Mentari bersembunyi di balik awan.

"Kring... Kring..." suara dering telepon genggam. Pintu hati yang berdecit memaksa meraih kotak ungu itu.

"Apa yang tidak mungkin di dunia ini" begitu kata Mentari ketika mendengarkan keluh kesah Dewi.

"Bolehkah aku hadir dalam mimpimu? Menyelinap diam-diam sekedar menyapa dan berucap terima kasih" pinta Dewi. 

"Setelah itu?" tanya Mentari.

"Tenang saja, aku akan pergi secepat air yang terbakar matahari" dalam sadar Dewi berharap Mentari menahannya, sayangnya ragu terlanjur menyebar.

Pikiran Dewi mulai menjelajah waktu, memutar cuplikan cerita terdahulu, memproyeksikan sang Mentari. "Kau yang selalu merotasikan spektrum di bawah timbunan waktu. Namun akhirnya harus aku sudahi memimpikanmu. Kau yang masih jadi bagian do'aku" bulir air itu kembali menetes di pipinya.

Kabut rindu tumpah, kali ini semakin tebal. Dada Dewi mendadak sesak! "Mengetahuimu mencintaiku, seakan menjatuhkan musim sebelum waktunya. Sehingga merindukanmu dan tidak tersalur akan menjadi begitu meracun pada sirkulasi jantungku" Dewi sulit menepis rasa rindunya pada Mentari.

"Ah, aku masih mencintainya" dalam nanar Dewi masih berharap, tapi biar hujan menghapus jejak Mentari. Mungkin Dewi akan bertemu seseorang yang akan mencintainya setulus cinta Mentari.

Minggu, 11 November 2012

Biarkan Mentari Berlalu

Tanpa ditulis pun, kenangan tetap serupa buku. Lembar demi lembarnya selalu terbuka tiap kali kita mengingatnya. Kenangan itu ibarat cermin. Dari bening dan buramnya, dari utuh dan retaknya, kita berkaca. Jika kenangan kita adalah memar senja, di titik itulah kita mengingatnya. Jika kenangan kita adalah pelangi senja, maka di tempat kita berdiri sekarang, aku yakin kita berbahagia. 
  
Dewi mengukir kenangan dalam kesendirian, merangkainya satu persatu dalam dinding hatinya. Kenangan itu menjadi desiran yang bisa dinikmatinya setiap waktu, jiwanya menggapai setiap kisi-kisi indah dari kenangan itu. Kenangan tentang Sang Mentari.

Kenangan itu begitu terpeta di jiwanya. Betapa tidak, selama tiga tahun ia mengenal Mentari. Seseorang yang selama ini menjadi motivator untuk Dewi berubah menjadi lebih baik. Tapi mungkin Dewi tak akan lagi bertemu dengannya. Kenapa?

Mentari tak lagi menyiramkan benderang cahaya di pucuk langit hati Dewi. Sejak beberapa hari lalu, pucuk cahaya itu telah memaklumatkan keredupannya. Di hati Dewi, Mentari tak lagi bermandikan sejuta kerlap kerlip bagaikan di sebuah negeri kunang-kunang.

Jelaga cahaya yang mempesona itu hilang. Dewi tertatih-tatih mengembalikan detail ingatannya dalam buku kenangan. Dan salah satu isi jalan kenangan yang paling berkesan itu, yang ia ingat secara sempurna, ketika Mentari selalu menyejukkan hatinya. Tapi itu semua hanya akan menjadi sejumput kisah di masa lalu.

Mentari berlalu di hadapan Dewi, terbenam membawa sejuta kenangan. Dan Dewi tak akan menunggu lagi kehadirannya. Biarkan hari esok Mentari terbit tanpa Dewi di sampingnya. Meskipun Dewi akan terbakar rindu sinarnya. Tapi Dewi harus melepas kepergian Mentari.

"Tolong jaga dan selalu ingat semua yang positif yang kau dapatkan dari aku, lalu buanglah jauh-jauh semua yang negatif dari aku" pesan terakhir Mentari.

Senin, 17 September 2012

Secarik Kertas Harapan

"Senangnya hatiku, hilang panas demamku" senang rasanya bergelut dengan suasana baru di kampus, bersyukur sekali karena Allah telah mengabulkan satu persatu harapanku, 10 tahun yang lalu aku pernah menulis di secarik kertas, tentang impianku 10 tahun mendatang. Di mulai dari harapan lulus Ujian Akhir Nasional "Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?", kemudian aku ikut SPBM saat itu aku mengambil pilihan pertama Komunikasi dan pilihan kedua Bahasa Indonesia di UNPAD tapi sayangnya aku tidak lolos SPMB.

Akhirnya aku masuk salah satu Lembaga Pendidikan di Bandung, setahun kemudian aku sudah mulai training di perusahaan, kemudian bekerja. Tapi  karena satu dan lain hal akhirnya aku memutuskan untuk berhenti kerja dan memilih untuk menuntut ilmu di Pesatren yang berada di Tasikmalaya "Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?" dan ini juga salah satu harapanku ketika masih duduk di SMA.


Hampir satu tahun aku belajar di sana, tapi akupun memutuskan untuk keluar dan mencari rezeki lagi. Aku kembali bekerja di Jakarta, dan beberapa bulan kemudian aku masuk kuliah di Universitas Bung Karno, tapi jurusan yang aku ambil bukan Komunikasi atau Bahasa Indonesia jutru Ilmu Hukum, padahal cita-citaku di secarik kertas itu menjadi Sastrawan dan Wartawan. Tapi intinya harapanku terkabul kembali kerja sambil kuliah "Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?".


Setahun kemudian Allah mengabulkan lagi harapanku, belajar Bahasa Arab di Almanar "Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?". Tahun ini Allah pun mengabulkan lagi harapanku, aku bertemu dengan seorang Ustadz yang berkecimpung di dunia jurnalistik, aku mulai belajar membuat artikel dan ternyata saudaraku mengajakku untuk bergabung di RRI Bandung. Berarti cita-citaku untuk menjadi Sastrawan meskipun tidak sekolah sastra dan cita-citaku untuk menjadi Wartawan meskipun tidak sekolah jurnalistik itu semua bisa terwujud "Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?".


Dulu waktu aku masih kecil, aku sering menulis namaku dengan gelar yang berderet dan alhamdulillah aku sudah punya gelar Sarjana Hukum "Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?", dua tahun lagi isnya Allah aku dapat gelar Magister Hukum, dan ketika aku akan masuk kuliah S2, ayahku bilang "Kalau mau sekolah sampai jadi Doktor silahkan" Subhanallah "Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?".


Aku di tahun ini bercerita pada temanku, ingin belajar politik dan lagi Dia mengabulkan harapanku di tahun ini juga, salah satu mata kuliahku di magister adalah Politik Hukum, awal aku orientasi, ada kuliah umum bersama Burhanudin Muhtadi mengenai politik, seminggu kemudian ada kuliah umum bersama Ketua Komisi Yudisial dan membahas tentang hukum dan politik. "Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?".

Allah selalu memberikan yang terbaik untuk hambaNya, ia tidak terlalu cepat memberi dan tidak pula terlambat. Termasuk ia yang sedang aku nanti, aku menantimu karena Allah.

Senin, 10 September 2012

Rona Jingga Mentari

"Morning Sunshine" rona jinggamu meyelusup di antara celah-celah hatiku, menyapa reranting kecil harapan, memanggil kuntum bunga cinta bermekaran bersama lembayung pagi. Lihat bagaimana cahayamu terbiaskan butir-butir air hujan, membalut suasana indah di pesisir pantai rindu. "Aku tahu mentari ada di hati, ia mewarnai hatiku dengan pelangi".

Dini hari gemericik air hujan menemani tidur Dewi, meskipun merasa kurang nyenyak tapi ia sangat bersyukur karena hujan membasahi Jakarta setelah kemarau panjang. Sama halnya dengan kegersangan yang melanda hati Dewi beberapa hari ini. Tapi lihat bagaimana Allah membolak-balikkan hati seseorang. Selalu ada harapan baru untuk menyongsong masa depan.

"Ya Allah, obati hatiku" itu do'a Dewi beberapa hari yang lalu. Dan aku bisa melihat bagaimana kondisi Dewi pagi ini setelah menerima kabar berita dari seseorang. Tapi musim semi yang terjadi di hati Dewi saat ini bukan karena sms yang ia terima tadi pagi. Ya, bukan sms itu! Melainkan motivasi yang diberikan oleh ibunda tercinta dan kedua sepupunya Puspita dan Utari serta dari Ustadz Basyir dan Ustadz Husain.

Dewi sedang membangun semangat baru dari kepingan-kepingan harapan yang terserak karena ketidakpastian. Ia teringat perkataan dari Ketua Komisi Yudisial ketika beliau bertanya apakah Dewi sudah menikah apa belum, kemudian Prof. Eman berkata "Saya punya calon ganteng".

Ya, saatnya Dewi mengabaikan orang-orang yang selama ini hanya mengganggu hati dan pikiran Dewi. Saatnya Dewi mulai mengikis semua angan-angan yang tak pasti. Perhatikan di luar sana masih teramat banyak orang-orang yang menyayangi Dewi, dan mereka tak ingin melihat Dewi larut dalam suasana seperti ini. Jadi jalan terbaik adalah mengabaikan orang-orang yang mungkin hanya akan menyisakan luka di hati Dewi.

Rabu, 05 September 2012

Pesan Rindu Mentari

"Kau inspiratorku tak hadir di sisiku"

Sore itu sinar mentari menyorot wajah Dewi, ia sedang menanti sebuah bus untuk pulang ke kota kelahirannya, meninggalkan kota tempat ia mencari rezeki. Ada rasa haru menyelimuti hati Dewi, pernah suatu ketika Dewi berkata "Aku bertahan di kota ini karena kuliah, kalau sudah selesai lebih baik pulang ke Bandung". Tapi ternyata ketika hari itu telah tiba, Dewi seakan berat meninggalkan kota yang selama ini telah membuatnya jatuh bangun.

Mungkin karena di kota ini ada seseorang yang telah bersemayam di hatinya. Jika harus memilih, tak ada seorangpun yang menginginkan terpisah jarak dengan seseorang yang ia cintai. Begitupun dengan Dewi, hati kecilnya tak menginginkan terpisah dengan seseorang yang selama ini menjadi mentari dalam hidupnya, antara Jakarta-Bandung.

Bayang-bayangmu dibatas senja, matahari membakar rinduku.

Lamunan Dewi berkelana mengarungi lintasan mimpi menembus lorong demi lorong alam bawah sadarnya. Seketika ia terhenyak ketika mentari melintas di hadapannya, mentari terlihat gelisah bagai ranting yang tertiup angin bergoyang tanpa arah. Dewi menatap nanar jingganya sang mentari "Ada apa gerangan?". Mentari hanya terdiam tapi tersirat pesan bahwa mentari pun merindukan seseorang.

Dewi bertanya pada rona jingga "Adakah cinta membahana di hati  mentari?". Tanpa pikir panjang ia menjawab "Ya", sesaat kemudian pipi Dewi merona. Selama ini benih yang tersemai di hati Dewi tak pernah salah.

Rabu, 15 Agustus 2012

Datang Tanpa Permisi

Salahkah jika cinta datang tanpa permisi? Tidak ada yang salah.

Cinta layaknya fluida yang mengalir, dengan begitu cepat ia mengisi ruang hati. Jika kau menyukainya karena kelebihannya, itu berawal dari rasa kagum. Terkadang cinta tak memberimu sedikitpun waktu  apakah ia pantas dicinta atau tidak. Karena cinta datang begitu saja bahkan tanpa permisi. Cinta adalah sumber kekuatan, yang membuatmu tegak berdiri dan mampu berlari. Membangunkanmu tiap kali kau terjatuh. Menghapus peluhmu juga menyeka air matamu.

Hakikatnya cinta tak hadir begitu saja. Ia tumbuh di hati manusia karena ada yang menciptakannya, mengaturnya dan memeliharanya. Sebuah kekuatan yang teramat dahsyat. Yang mampu menciptakan kekuatan cinta. Dialah Sang Maha Cinta. Cinta adalah anugerah dariNya. Ia adalah bagian dari naluri yang dimiliki manusia, gharizatunna’u. 

Cinta adalah kepatuhan. Ia senantiasa tunduk pada Rabbnya. Karena cinta adalah akhlak mulia. Maka, jika cinta ada di hatimu, jangan berani-berani kau mencintainya tanpa ridhaNya. Meski cinta adalah kekuatanmu, tapi kau akan tetap lemah tanpa Allah di hatimu. Seperti cahaya di atas cahaya. Allah adalah kekuatan di atas kekuatan cinta. Bahkan cinta rapuh tanpa cintaNya. Cinta hampa tanpa kehadiranNya. Cinta senantiasa bersujud menyembah keagunganNya. Cinta senantiasa bertasbih memuji keindahanNya.

Cinta sebenarnya tidak buta. Ia justru adalah guiding star yang menuntunmu pada surgaNya. Cinta memang tak selalu berlumurkan bahagia. Karena cinta butuh pengorbanan. Ia ikhlas berkorban demi yang dicintainya. Bahkan meski yang ia korbankan adalah dirinya sendiri, kebahagiaannya sendiri. Namun demi yang dicintai ia berkata “siap” meski air mata mengalir menemani kesiapannya. Cinta memang egois, yang ia inginkan hanyalah melihat yang dicinta bahagia (terutama di surga). Ia tak tega melihat yang dicinta menjatuhkan air mata (apalagi menangis di neraka).

Lantas bagaimana dengan cinta yang menuntunmu pada murka Allah?

Jika kau ingin selalu berada di dekatnya padahal ia tak halal bagimu, itu bukan cinta tapi nafsu. Mungkin kau hanya kesepian. Jika kau ingin diperhatikannya padahal itu tak halal bagimu, itu bukan cinta tapi nafsu. Mungkin kau hanya kurang perhatian. Coba lihat surat An-Nazi’at ayat 40-41. Disana disebutkan bahwa orang yang mampu menahan hawa nafsunya, maka tempat kembalinya adalah surga. Mau ke surga kan?

Jadi, jangan kau rendahkan cinta. Jangan kau gunakan kata cinta untuk memperhalus kata nafsu. Maka orang-orang yang mengatasnamakan cinta untuk membenarkan dosanya. Mereka terlalu picik. Buat apa dekat dengannya jika kedekatan itu justru menjauhkanmu dari surga? 

Semua orang Allah berikan benih cinta, namun hanya sedikit yang mampu merawatnya hingga menjadi pohon cinta, yang meneduhkan, yang kokoh, yang berdiri, yang tegak. Nafsu itu hama yang membuat pohon cintamu layu bahkan mati. Maka, jagalah pohon cintamu dengan iman agar “hama” itu mati. Dan sirami pohon cintamu dengan taqwa agar ia tumbuh subur. Dan di surga kelak kau dapat memetik buah dari pohon cinta.

Cinta adalah amal shalih, maka seperti tertera di surat Al-Insan ayat 9, bahwa beramal itu hanya karena Allah, hanya untuk dapatkan ridhaNya. Begitu juga cinta, ia tulus mencinta. Tidak mengharapkan balasan dan terima kasih. Ia ada karena Allah, maka ridha Allah lebih dari cukup baginya. Cinta adalah titipan, maka tak harus kau memilikinya. Karena semesta alam juga isinya adalah milikNya, termasuk juga ia yang kau cintai. 

Aku mencintaimu karena Allah.

Rabu, 25 Juli 2012

Catatan Pelangi Hati

There's never a right time to say goodbye, but I gotta make the first move, and know it's hard but I gotta do it. We know that we should be apart, so why don't you go your way, and I'll go mine. Live your life, and I'll live mine, you'll do well, and I'll be fine. Cause we're better off, separated. I know it hurts so much but it's best for us, maybe you and I are destined to lose.


Arti kalimat di atas menyedihkan juga ya? Ada rasa haru menyeruak di hati Dewi. Ia baru punya niat untuk mulai menjaga jarak dengan seseorang yang ia kagumi (berapa km ya?). Meskipun menurut Dewi tidak pernah ada waktu yang tepat mengucapkan selamat tinggal untuk seseorang yang selama ini kepribadiannya merenda di hatinya. Tapi Dewi harus memulai langkah pertama dengan menjaga jarak. Bagi Dewi ini sangat sulit, karena ia akan kehilangan catatan tentang hari-hari yang indah bersamanya.


Ini Dewi lakukan karena merasa telah jauh melangkah ke dalam hati orang tersebut, padahal dulu ia tidak berharap mencari celah di hatinya. Masalahnya kalau memang ini bisa di bilang masalah; jika memang diantara mereka berdua sama-sama tidak berharap sesuatu yang lebih dari kedekatan yang selama ini terjalin, untuk apa masih membicarakan masalah keterikatan hati diantara keduanya. Dewi hanya mencoba untuk menggugah kesadaran diri, ia tahu status lelaki itu di publik sebagai siapa, ia merasa khawatir hanya akan menjadi sumber fitnah bagi lelaki itu.


"Dewi akan menemukan yang terbaik untuk Dewi, kuncinya berbaik sangka sama Allah". Itulah kalimat yang pernah terlontar dari mulut lelaki itu. Dewi berharap lelaki itu akan baik-baik saja dalam menjalani kehidupannya seperti sedia kala, begitu pun dengan Dewi, meskipun cukup sulit tapi ia harus menjalaninya. "Ya, mungkin kami ditakdirkan untuk saling kehilangan".


Tapi, satu hal yang mungkin tidak akan Dewi lupakan, bahwa semua catatan tentang hari-hari indah bersama lelaki itu telah menjadi pelangi yang terlukis di hatinya (pasti GR negh orang). Lihat bagaimana lelaki itu melukiskan selaksa warna pada hati Dewi. Terkadang hanya dengan  sebaris “senyum” manis, ia membuat hati Dewi bahagia. 


Sore di taman selepas hujan. Dewi melihat pelangi tergelayut indah di langit. Lihat bagaimana sang mentari mengurai cahaya menjadi selaksa warna. Mentari menatap Dewi dengan teliti, dia menyimak setiap cerita dengan hati-hati. “Aku tahu mentari ada di hati, ia mewarnai hatiku dengan pelangi”.


Dewi teringat pertanyaan temannya "Jadi sudah ikhlas?" 


"Dari dulu juga sudah ikhlas, aku melihat dia bahagia bersama istri dan anaknya itu sudah lebih dari cukup" jawab Dewi dengan penuh haru. 

Selasa, 19 Juni 2012

Risalah Selaksa Kesedihan

Sekali lagi nanar menjadi saksi ketika kaki ini mulai lelah melangkah. Tidak! Aku tidak akan menyerah sampai di sini. Dan aku masih terus berjalan meski sesekali tak kuasa menahan air mata yang merayap pelan dari pelupuk. Kesedihan meradang dalam jiwa, perih ini masih menjalar. Ishbiriy... Ishbiriy...

"Kita pasti pernah dapatkan cobaan yang berat, seakan hidup ini tak ada artinya lagi."

Tapi hidupku terlalu berarti jika harus menyerah pada masalah "Laa yukallifullaahu nafsan illaa wus'ahaa". Jadi ingat perkataan seseorang "Saat kita diuji dengan ujian yang -nampaknya- terlalu berat, itu berarti Allah anggap kita orang kuat yang bisa memikul beban itu. Ujian selalu berbanding lurus dengan kekuatan setiap orang (perkataan siapa ya? pasti nanti ada yang GR).

"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta". (QS. al-Ankabut: 2-3).
 
Bersambung...

Senin, 11 Juni 2012

Senyum Sang Mentari

Senyum sang mentari mengiringi perjalanan Dewi pagi itu. Ia mencoba mengumpulkan sejuta asa meski puing-puingnya masih berserakan. Hari ini waktunya belajar bahasa arab, dengan langkah penuh semangat Dewi pergi ke sebuah lembaga pendidikan. Cahaya mentari nampak merona, kilaunya menerpa wajah Dewi, hampir tiga tahun ia belajar di sana, bukan waktu yang singkat dan telah banyak cerita yang terukir di hatinya.

Ketika akan memasuki pintu gerbang, Dewi teringat kejadian seminggu yang lalu kala melihat satu episode yang membuatnya tertegun, ketika itu dalam hatinya berkata "Ingin seperti itu Ya Allah". Kejadian itu membuat Dewi cemberut karena merasa iri, dan tak menyadari bahwa ada sosok seseorang di hadapannya. Saat Dewi mulai sadar siapa yang ada dihadapannya, senyum langsung terkembang di bibirnya, begitupun dengan seseorang itu seperti sang mentari yang tersenyum. Senyuman dari hati, jatuh ke hati (lirik lagu Raihan).

Kali ini ketika memasuki pintu gerbang, mata Dewi langsung mencari sesuatu yang menandakan adanya benda itu berarti adanya seseorang. Tapi Dewi tak menemukan benda itu, dalam hati berkata "Mungkin dia belum datang". Tiba waktunya untuk belajar, beberapa saat kemudian Dewi mulai terkantuk-kantuk di kelas, mungkin karena semalam begadang di tambah hembusan angin dari kipas seolah mengusap-usap matanya.

Bel istirahat pun berdering, Dewi bergegas pergi ke kantin sambil mencari sosok seseorang. Tapi sepertinya tidak ada tanda-tanda kehadirannya, kemana dia? Bel berdering kembali, jam pelajaran kedua di mulai. Ini adalah salah satu pelajaran favorit Dewi, di tambah guru yang mengajar adalah Sang Idola. Entah kenapa meskipun Sang Idola yang mengajar tetap saja rasa kantuk menyerang Dewi.

Dewi teringat kembali dengan sosok yang selama ini banyak memiliki andil dalam perubahan Dewi ke arah yang lebih baik. Bagi Dewi, dia seperti sinar mentari pagi, ketika merangkak naik sinarnya menghangatkan, kemudian terang pun datang segera memancarkan cahaya cemerlang, atau seperti suasana senja, cahaya itu tenggelam dalam damai. Banyak hal yang Dewi suka darinya, sosok itu selalu menyapa dengan ramah jika bertemu, minimal tersenyum untuk Dewi.

"Senyummu di wajah saudaramu adalah sedekah." (HR. Tirmidzi).

Kepribadiannya merenda di hati Dewi, kiranya tak seorang pun yang tidak tertarik dengan cahaya yang olehnya mata kita menemukan merah, biru, kuning, jingga, dan sederet warna lainnya. Cahaya itu mengayakan selaksa rasa. Bagaimana jika seandainya pakaian yang kita kenakan tertenun dari benang-benang cahaya? Bagaimana jika wajah-wajah kita memendarkan kilau cahaya? Apalagi jika kita bertelekan di atas mimbar-mimbar yang terbuat dari cahaya?

Seperti itulah sosoknya dalam pandangan Dewi. Allah telah mempertemukan Dewi dengannya pada ruang rasa tanpa pernah ada praduga. Meskipun mungkin Dewi tak akan bisa merengkuhnya, sama halnya dengan ketidakmungkinan Dewi merengkuh sang mentari. Namun, dia telah menjadi teman ketika Dewi merayakan sepi, meskipun sosoknya tak berwujud dihadapan Dewi. Selalu menjadi penyemangat ketika kisah-kisah hidup Dewi surup bersama kidung sendu yang suram menenggelamkan kejora. Dengan motivasi darinya Dewi kemudian bangkit karena masih ada secercah harapan dan perlahan kidung itu pun karam. 

Pelajaran hari ini selesai sudah, dan Dewi tak menemukan sosok yang ingin ia lihat tadi pagi. Sepertinya dia tidak datang hari ini! Meskipun Dewi tak melihatnya, namun ia selalu memercikkan cahaya di hati Dewi.

Jumat, 08 Juni 2012

Sebuah Refleksi Hati

Jika anda menginginkan sesuatu yang bukan milik anda -Cinta- dan tak mungkin anda miliki karena sudah ada pemilik yang sah, masihkan anda berniat mengambilnya? Bila keinginan itu masih ada di hati, maka ada yang salah dengan kesehatan mental anda. Karena meski cinta atau karena alasan apapun, tidak ada yang membolehkan manusia menghalalkan segala cara mendapatkan keinginannya.

Tulisan ini adalah sebuah refleksi hati untuk menggugah kesadaran diri. Apa yang sedang aku alami dan aku rasakan, mungkin untuk sebagian orang akan mengerti dan memakluminya, dan itu memang sesuatu yang wajar terjadi, tapi tidak sedikit orang yang akan mencaci dan menghujat hal ini. Aku adalah seorang wanita yang memiliki segudang cerita cinta dalam kehidupan yang aku jalani, termasuk ketika aku mencintainya.

Ya, ketika aku mencintai Hasan...

Siapa itu Hasan telah aku ceritakan di kisah "Pensil Mekanik Hati", dari sejak awal aku mencintai Hasan, aku tak berharap mencari celah di hatinya, cukup aku mencintainya dalam hening, menjadi secret admirer yang senantiasa bahagia ketika melihat dia bahagia. Seiring berjalannya waktu, semua perasaanku pada Hasan akhirnya terungkap, tapi aku sama sekali tidak mengharapkan Hasan akan menjadi milikku. Meskipun sesekali terbersit dalam lintasan pikiranku untuk bersamanya, tapi mungkin itu tidak akan terjadi.

Karena aku harus sadar diri, sebuah konsep yang terbentuk dari sebuah pemikiran bahwa Hasan mungkin bukan untukku. Aku tahu dan sangat tahu apa yang sedang terjadi di hatiku saat ini, seperti keadaanku dua tahun yang lalu, bahagia ketika mencintai Hasan. Bahkan kebahagian saat ini melebihi kebahagiannku dua tahun yang lalu. Tapi selalu aku tanamkan dalam hati dan pikiranku untuk tidak memiliki Hasan.

Karena telah ada pemilik yang sah bagi Hasan, dan aku tidak berniat mengambil Hasan dari pemiliknya. Tapi, bagaimana jika berbagi? Dan ini selalu jadi kontroversi. Terlepas dari semua itu, aku ingin menyampaikan ini pada Hasan, tapi aku hanya punya keberanian mengutarakannya di sini, seandainya kau baca tulisan ini; bahwa aku adalah wanita yang senantiasa bahagia ketika melihat keluarga kecilmu bahagia, ketika melihat senyum manis istrimu, ketika melihat anak-anakmu tertawa riang dan tetaplah bersama mereka sampai kapanpun, untuk menjadi sosok suami dan ayah yang patut dibanggakan.

Cinta tak harus memiliki, itulah sebuah ungkapan klise yang sering kita dengar. Adakah yang bisa memahaminya ketika menghadapi permasalahan yang sama di mana ia harus mengucapkannya sepenuh kesadaran dan berdasarkan pemikiran yang dewasa? Secara implisit, ungkapan tersebut menyiratkan tentang keikhlasan terhadap takdir, keberanian menerima kebaikan untuk orang lain yang dicintai.

Sama seperti aku saat ini, meskipun cinta tapi aku tidak harus memiliki Hasan. Bukan berarti ini sebuah bentuk pelarian dari ketidakmampuanku memiliki Hasan. "Dirimu di hatiku tak lekang oleh waktu meski kau bukan milikku". Meskipun salah satu kebahagiaan dalam hidup ini adalah bersama dengan orang yang dicintainya, tapi bagiku cukuplah Hasan adalah sketsa yang terlukis dalam hatiku.

Sementara di luar sana hujan melagukan tetes-tetes airnya, nada yang mengalun begitu indah. Dan aku masih terpaku bersama semua sktesa tentang kisah ini, masih setengah percaya dengan realita yang mulai tersingkap. Misteri ini begitu cepat terkuak, sementara aku masih sibuk menata hati. Sekejap saja hati ini terpaut kembali pada pesona itu, meski masih meyisakan titik kisah lain. Kini air hujan perlahan merambati hati, meluruhkan suasana yang beku karena dinginnya malam. You fill my soul with something I can’t explain.