"Mati rasa" sepertinya ada yang konslet di hatiku ini, setiap kali aku mencoba untuk membuka hati pada orang yang menyukaiku, selalu saja tidak menemukan magnet yang membuat aku untuk tertarik padanya, bahkan pada orang yang sekitar 3 tahun aku telah mengenalnya. Aku mencoba untuk mencari taste itu tapi usahaku belum berhasil, entah karena aku kurang berusaha untuk menelusuri celah agar aku menemukan rasa itu. Atau aku masih terjebak di Unit Galau Darurat karena hatiku masih menyimpan memori tentang seseorang yang membuat aku kesulitan untuk menghapusnya.
Sebenarnya usaha mereka sudah cukup untuk membuat hatiku tergugah, mulai dari perhatian bahkan ungkapan hati mereka yang mungkin tulus dan itu cukup untuk membuat hati berbunga, seharusnya! Tapi mengapa semua terasa datar saja? Tidak ada getaran yang mengalir di hatiku. Apa hatiku sudah benar-benar mati rasa? Lebih parahnya lagi, aku merasa lelah dengan semua perhatian atau ungkapan hati mereka, yang akhirnya aku memilih untuk mengabaikan itu semua. Berbeda dengan orang yang membuat aku lama berada di Unit Galau Darurat, itu karena aku telah menyukainya, cukup salut untuknya karena "Nobody ever made me feel this way". Jika aku bertemu dengannya, jantungku terasa berdegup lebih kencang, membuat aku salah tingkah, atau mungkin wajahku berubah jadi merah, aku jadi khawatir orang itu bisa mendengar degup jantungku.
So, what I must stick with him? Tapi aku mungkin tak akan mengungkapkan perasaanku padanya, cukup aku dan teman-teman terbaikku yang tahu tentang ini. Meskipun aku merasa lelah ketika dihadapkan pada suatu keadaan
yang tidak seimbang antara akal sehat dan nurani. Lelah ketika harus
berlaku normal meski semuanya menjadi abnormal. Lelah
ketika mata menjadi buta akibat dari perasaan yang membius tanpa ampun. Lelah
ketika imaginasi menjadi liar oleh khayalan yang terlalu tinggi. Lelah ketika
pikiran menjadi galau oleh harapan yang tidak pasti. Lelah untuk mencari suatu
alasan yang tepat untuk sekedar melempar sesimpul senyum atau sebuah sapaan
"Apa kabar?". Lelah untuk secuil kesempatan akan sebuah moment
kebersamaan. Lelah karena menahan keinginan untuk melihatnya.
Dan sampai saat ini aku masih terdiam! Diam menunggu sang waktu memberi sebuah moment.
Diam untuk mencatat segala yang terjadi. Diam untuk memberi kesempatan otak
kembali dalam keadaan normal. Diam untuk mencari jalan keluar. Diam untuk berkaca pada diri sendiri dan bertanya "Apakah aku
cukup pantas?". Diam untuk menimbang sebuah konsekuensi dari rasa yang
harus dipendam. Diam dan dalam diam kadang semuanya tetap menjadi tak terarah.
Dan dalam diam itu pula, aku menjadi gila karena sebuah rasa dan pesona tetap
mengalir.
Sayangnya, dalam keheningan dan diam yang aku
rasakan, lebih banyak rasa galau daripada sebuah usaha untuk mengembalikan pola
pikir yang lebih logis. Galau ketika semua bahasa tubuh
seperti digerakkan untuk bertindak bodoh. Apakah mencintai seseorang senantiasa membuat
orang bodoh? Tentu tidak. Namun itu pula yang aku rasakan selama satu tahun lebih. Galau ketika mata terus meronta untuk sebuah sekelibat
pandangan. Galau ketika mulut harus terkatup rapat meski sebuah kesempatan
sedikit terbuka. Galau ketika mencintai menjadi sebuah pilihan yang
menyakitkan. Galau ketika mencintai hanya akan menambah beban hidup. Galau
ketika berpikir mungkin segalanya tidak akan terjadi, tapi kemudian kembali berharap pada Yang Maha Berkehendak, Jika Dia menghendaki sesuatu, hanyalah berkata "Jadilah!" Maka jadilah.
Dalam kelelahan, diam dan kegalauan yang aku rasakan selama ini,
ada rasa syukur pada Sang Maha Rahim atas apa yang aku alami. Syukur
ketika rasa pahit menjadi bagian dari mencintai seseorang. Syukur ketika
berhasil memendam semua rasa untuk tetap berada pada zona diam. Syukur untuk
sebuah pikiran abnormal namun tetap berusaha untuk bertingkah normal. Syukur ketika rasa galau
merajalela tak terbendung. Syukur ketika rasa perih tak terhingga datang
menyapa. Syukur karena tak ditemukannya sebuah nyali untuk mengatakan "Aku
mencintaimu". Syukur ketika perasaan hancur lebur menjadi bagian dari
mencintai. Syukur ketika harus menyembunyikan rasa sakit dan cemburu dalam
sebaris ucapan "Aku tidak punya hak untuk cemburu".
Akhirnya bagiku, keputusan untuk mencintai
melalui do'a menjadi pilihan yang paling pantas. Setidaknya, mencintai
secara tulus melalui do'a mungkin akan menjadi
lebih bermakna. Dalam do'a, akhirnya semua aku kembalikan
kepada Yang Maha Mengabulkan. Bahwa mencintai seseorang itu butuh pengorbanan. Bahwa terkadang akal dan perasaan campur aduk tak tentu arah. Bahwa aku hanyalah manusia biasa. Bahwa aku tidak bisa berlaku pintar sepanjang
waktu. Bahwa aku juga punya kebodohan yang kadang susah untuk
diterima akal sehat. Bahwa dengan segala kekurangan yang ada, "Aku berani
mencintai". Bahwa aku bersedia membayar harga dari mencintai seseorang. Bahwa aku bersedia menanggung rasa sakit yang luar biasa. Bahwa aku mampu untuk
tetap hidup meski rasa perih terus menjalar. Bahwa "Aku belum mati rasa" karena aku masih bisa merasakan efek yang ditimbulkan oleh cinta.
Dan hari ini, dari semua pembelajaran yang telah aku terima, berkembang menjadi sebuah bentuk KEPASRAHAN. Sebuah zona yang terbentuk karena aku merasa tidak berdaya. Dimana aku merasa belum memiliki kemampuan untuk membuat segalanya menjadi mungkin. Mencintai dalam kepasrahan, meskipun masih berharap dan sangat sulit bagiku untuk tidak mengingatnya. Dan hingga hari ini, aku masih mencintainya. Aku sadar hal itu akan memberi rasa perih namun bagiku lebih susah untuk tidak mencintainya. Rabb, aku mencintainya namun jangan Engkau biarkan rasa cintaku padanya melebihi rasa cintaku padaMu, jika memang dia adalah jodohku maka halalkan cintaku, namun jika bukan karuniakan kepadaku kepasrahan atas kehendakMu bahwa Engkau telah menyiapkan seseorang yang terbaik untukku.