Jumat, 08 Juni 2012

Sebuah Refleksi Hati

Jika anda menginginkan sesuatu yang bukan milik anda -Cinta- dan tak mungkin anda miliki karena sudah ada pemilik yang sah, masihkan anda berniat mengambilnya? Bila keinginan itu masih ada di hati, maka ada yang salah dengan kesehatan mental anda. Karena meski cinta atau karena alasan apapun, tidak ada yang membolehkan manusia menghalalkan segala cara mendapatkan keinginannya.

Tulisan ini adalah sebuah refleksi hati untuk menggugah kesadaran diri. Apa yang sedang aku alami dan aku rasakan, mungkin untuk sebagian orang akan mengerti dan memakluminya, dan itu memang sesuatu yang wajar terjadi, tapi tidak sedikit orang yang akan mencaci dan menghujat hal ini. Aku adalah seorang wanita yang memiliki segudang cerita cinta dalam kehidupan yang aku jalani, termasuk ketika aku mencintainya.

Ya, ketika aku mencintai Hasan...

Siapa itu Hasan telah aku ceritakan di kisah "Pensil Mekanik Hati", dari sejak awal aku mencintai Hasan, aku tak berharap mencari celah di hatinya, cukup aku mencintainya dalam hening, menjadi secret admirer yang senantiasa bahagia ketika melihat dia bahagia. Seiring berjalannya waktu, semua perasaanku pada Hasan akhirnya terungkap, tapi aku sama sekali tidak mengharapkan Hasan akan menjadi milikku. Meskipun sesekali terbersit dalam lintasan pikiranku untuk bersamanya, tapi mungkin itu tidak akan terjadi.

Karena aku harus sadar diri, sebuah konsep yang terbentuk dari sebuah pemikiran bahwa Hasan mungkin bukan untukku. Aku tahu dan sangat tahu apa yang sedang terjadi di hatiku saat ini, seperti keadaanku dua tahun yang lalu, bahagia ketika mencintai Hasan. Bahkan kebahagian saat ini melebihi kebahagiannku dua tahun yang lalu. Tapi selalu aku tanamkan dalam hati dan pikiranku untuk tidak memiliki Hasan.

Karena telah ada pemilik yang sah bagi Hasan, dan aku tidak berniat mengambil Hasan dari pemiliknya. Tapi, bagaimana jika berbagi? Dan ini selalu jadi kontroversi. Terlepas dari semua itu, aku ingin menyampaikan ini pada Hasan, tapi aku hanya punya keberanian mengutarakannya di sini, seandainya kau baca tulisan ini; bahwa aku adalah wanita yang senantiasa bahagia ketika melihat keluarga kecilmu bahagia, ketika melihat senyum manis istrimu, ketika melihat anak-anakmu tertawa riang dan tetaplah bersama mereka sampai kapanpun, untuk menjadi sosok suami dan ayah yang patut dibanggakan.

Cinta tak harus memiliki, itulah sebuah ungkapan klise yang sering kita dengar. Adakah yang bisa memahaminya ketika menghadapi permasalahan yang sama di mana ia harus mengucapkannya sepenuh kesadaran dan berdasarkan pemikiran yang dewasa? Secara implisit, ungkapan tersebut menyiratkan tentang keikhlasan terhadap takdir, keberanian menerima kebaikan untuk orang lain yang dicintai.

Sama seperti aku saat ini, meskipun cinta tapi aku tidak harus memiliki Hasan. Bukan berarti ini sebuah bentuk pelarian dari ketidakmampuanku memiliki Hasan. "Dirimu di hatiku tak lekang oleh waktu meski kau bukan milikku". Meskipun salah satu kebahagiaan dalam hidup ini adalah bersama dengan orang yang dicintainya, tapi bagiku cukuplah Hasan adalah sketsa yang terlukis dalam hatiku.

Sementara di luar sana hujan melagukan tetes-tetes airnya, nada yang mengalun begitu indah. Dan aku masih terpaku bersama semua sktesa tentang kisah ini, masih setengah percaya dengan realita yang mulai tersingkap. Misteri ini begitu cepat terkuak, sementara aku masih sibuk menata hati. Sekejap saja hati ini terpaut kembali pada pesona itu, meski masih meyisakan titik kisah lain. Kini air hujan perlahan merambati hati, meluruhkan suasana yang beku karena dinginnya malam. You fill my soul with something I can’t explain.