Senin, 11 Juni 2012

Senyum Sang Mentari

Senyum sang mentari mengiringi perjalanan Dewi pagi itu. Ia mencoba mengumpulkan sejuta asa meski puing-puingnya masih berserakan. Hari ini waktunya belajar bahasa arab, dengan langkah penuh semangat Dewi pergi ke sebuah lembaga pendidikan. Cahaya mentari nampak merona, kilaunya menerpa wajah Dewi, hampir tiga tahun ia belajar di sana, bukan waktu yang singkat dan telah banyak cerita yang terukir di hatinya.

Ketika akan memasuki pintu gerbang, Dewi teringat kejadian seminggu yang lalu kala melihat satu episode yang membuatnya tertegun, ketika itu dalam hatinya berkata "Ingin seperti itu Ya Allah". Kejadian itu membuat Dewi cemberut karena merasa iri, dan tak menyadari bahwa ada sosok seseorang di hadapannya. Saat Dewi mulai sadar siapa yang ada dihadapannya, senyum langsung terkembang di bibirnya, begitupun dengan seseorang itu seperti sang mentari yang tersenyum. Senyuman dari hati, jatuh ke hati (lirik lagu Raihan).

Kali ini ketika memasuki pintu gerbang, mata Dewi langsung mencari sesuatu yang menandakan adanya benda itu berarti adanya seseorang. Tapi Dewi tak menemukan benda itu, dalam hati berkata "Mungkin dia belum datang". Tiba waktunya untuk belajar, beberapa saat kemudian Dewi mulai terkantuk-kantuk di kelas, mungkin karena semalam begadang di tambah hembusan angin dari kipas seolah mengusap-usap matanya.

Bel istirahat pun berdering, Dewi bergegas pergi ke kantin sambil mencari sosok seseorang. Tapi sepertinya tidak ada tanda-tanda kehadirannya, kemana dia? Bel berdering kembali, jam pelajaran kedua di mulai. Ini adalah salah satu pelajaran favorit Dewi, di tambah guru yang mengajar adalah Sang Idola. Entah kenapa meskipun Sang Idola yang mengajar tetap saja rasa kantuk menyerang Dewi.

Dewi teringat kembali dengan sosok yang selama ini banyak memiliki andil dalam perubahan Dewi ke arah yang lebih baik. Bagi Dewi, dia seperti sinar mentari pagi, ketika merangkak naik sinarnya menghangatkan, kemudian terang pun datang segera memancarkan cahaya cemerlang, atau seperti suasana senja, cahaya itu tenggelam dalam damai. Banyak hal yang Dewi suka darinya, sosok itu selalu menyapa dengan ramah jika bertemu, minimal tersenyum untuk Dewi.

"Senyummu di wajah saudaramu adalah sedekah." (HR. Tirmidzi).

Kepribadiannya merenda di hati Dewi, kiranya tak seorang pun yang tidak tertarik dengan cahaya yang olehnya mata kita menemukan merah, biru, kuning, jingga, dan sederet warna lainnya. Cahaya itu mengayakan selaksa rasa. Bagaimana jika seandainya pakaian yang kita kenakan tertenun dari benang-benang cahaya? Bagaimana jika wajah-wajah kita memendarkan kilau cahaya? Apalagi jika kita bertelekan di atas mimbar-mimbar yang terbuat dari cahaya?

Seperti itulah sosoknya dalam pandangan Dewi. Allah telah mempertemukan Dewi dengannya pada ruang rasa tanpa pernah ada praduga. Meskipun mungkin Dewi tak akan bisa merengkuhnya, sama halnya dengan ketidakmungkinan Dewi merengkuh sang mentari. Namun, dia telah menjadi teman ketika Dewi merayakan sepi, meskipun sosoknya tak berwujud dihadapan Dewi. Selalu menjadi penyemangat ketika kisah-kisah hidup Dewi surup bersama kidung sendu yang suram menenggelamkan kejora. Dengan motivasi darinya Dewi kemudian bangkit karena masih ada secercah harapan dan perlahan kidung itu pun karam. 

Pelajaran hari ini selesai sudah, dan Dewi tak menemukan sosok yang ingin ia lihat tadi pagi. Sepertinya dia tidak datang hari ini! Meskipun Dewi tak melihatnya, namun ia selalu memercikkan cahaya di hati Dewi.