Jumat, 21 Desember 2012

Elegi Sang Mentari

"Seperti butiran embun yang menitikan kesejukan pada sebuah kelopak daun, seputik hatimu pun menawarkan segala keindahan kasih." pesan terkirim untuk Mentari.

Meski hanya setitik, namun dapat menyentuh keangkuhan hati Dewi. Dan butiran kebeningan embun itu adalah sebentuk hati Mentari. Mentari memberikan siraman kelembutan yang selama ini hanyalah sebuah impian bagi Dewi, yang selalu berulang singgah dan sirna hanya dalam sekian masa. 


"Aku masih mencintainya" kembali batin Dewi berbisik.

Kapan rasa itu hadir Dewi pun tak menyadarinya. "Sungguh sebuah tanya yang terindah, bagaimana dia merengkuh sadarku, tak perlu ku bermimpi yang indah, karena ada dia di hidupku" pesan kembali terkirim untuk Mentari.  


Tapi Mentari tak selamanya menjelma menjadi embun pagi. Seringkali awan-awan kelabu menghalangi bias Sang Mentari.  Terkadang rasa ini mewujudkan tangisan-tangisan malam Dewi. "Mengapa jiwaku terasa perih?" tanya Dewi pada Sang Malam.
 

Seringkali Mentari menerbangkan asa Dewi di langit biru. Namun terkadang ia membiarkan Dewi terjatuh dalam kubangan harapan yang tak pasti.
 

"Pada akhirnya, segala sesuatu akan selalu kembali kepada takdirnya" ucap Mentari.
 

Dewi membuka jendela hatinya. Ia melihat hatinya retak.  Ia masih menanti Mentari yang akan mengganti sayapnya yang patah oleh cinta. Mentari yang mengumpulkan lembaran-lembaran elegi yang Dewi tulis dengan air mata.

Cinta tak henti-hentinya menguji Dewi. Gelombangnya begitu besar mengombang-ambing. Cahayanya terik meluluhkan pilar-pilar hati Dewi. Perlahan Dewi mulai memahami untuk melepaskan dan mengikhlaskan. "Allah, aku kembalikan hati ini kepadaMu. Sebab hanya Kaulah yang menggenggam sekeping hatiku ini" Dewi pun terlelap dalam tidurnya.