Kamis, 14 Juli 2011

Tak Akan Terganti

Lelaki itu adalah sosok ayah dalam kehidupanku selama ini, hingga aku bertemu dengan ayahku, posisinya tak tergantikan. Pikiranku mengembara ke masa lalu, ketika lelaki itu dengan bangga menceritakan kepada tetangga yang berkunjung ke rumah; Bahwa karya tulis cucunya dimuat di harian umum. Dan kemudian otakku memutar kembali tayangan di satu episode kehidupanku yang tak akan pernah terlupakan;

Malam itu sepulang dari kampus, aku putuskan untuk tidak berangkat ke tempat kursus karena sudah terlambat, jalanan macet. Sesampainya di kostan segera ku ambil air wudhu dan menunaikan ibadah shalat maghrib, tidak lama adzan isya berkumandang, setelah adzan berhenti langsung saja aku tunaikan ibadah shalat isya, tidak seperti biasanya.

Di penghujung do'aku; Ya Allah, ampuni dosa kakekku, mudahkanlah sakaratul mautnya, wafatkan ia dalam keadaan khusnul khatimah.

Hapeku berdering "Sel pulang, bapak gak ada" suara di seberang sana.

"Iya" jawabku singkat.

Tut tut tut.

“Kullu nafsin dzaiqatul maut”.

“Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”.

Air mataku tak terbendung, mengalir dengan derasnya, bergegas aku berkemas. Dalam hatiku “Aku harus pulang malam ini” langkahku gontai. Di dalam bus yang mengantarkanku menuju kota Bandung, aku tatap jendela, aku tidak ingin orang di sampingku tahu kalau aku menangis.

Jam dua dini hari tiba di terminal Leuwi Panjang, sambil menunggu adikku menjemput pikiranku menerawang, sesekali menghapus tetesan air yang mengalir di pipiku. Setibanya di rumah sudah banyak kerabat dan para tetangga yang melayat.

Di dalam rumah sosok itu sudah terbujur kaku, berbungkus rapi kain kafan;

"Keun wae da Seli mah geus silaturahmi jeng bapa" kata ibuku. Ku tatap tubuh yang terbaring kaku di hadapanku.

Pagi itu adalah pertama kalinya aku berada di mobil jenazah, di dalam mobil tak hentinya kami berdzikir. Sampai di tempat pemakaman acara penguburan berlangsung, di sini kelak tempat jasadku dikebumikan.

                                                                             ***

Beberapa hari setelah kepergiannya, ada kesedihan yang menyeruak di hati, air mataku menetes, mengingat aku sering bertengkar dengannya. Ku kirim risalah singkat pada seorang ustadz menceritakan perihal kesedihan yang sedang aku alami;

Menangislah karena takut dosa niscaya ke dua mata Syelly akan diharamkan dari api neraka. Semua manusia pasti banyak dosa, tapi sebaik-baik orang berdosa kata Rasulullah adalah yang mahu bertobat. “Kullu bani  Adama  khatta’un  wa  khairul-khatta’in  al- tawwabun. Jawaban dari ustadz menenangkan hatiku.

                                                                              ***

Sampai saat ini terkadang aku teringat; Ketika ia menceritakan masa perjuangannya. Ketika ia terluka dalam peperangan dan Proklamator Indonesia menyalaminya. Ketika aku, adikku dan kakakku pergi bersamanya ke Gua Pakar menggunakan sepeda. Ketika pohon jambu batu di halaman rumah yang batangnya ia bengkokkan agar bisa dijadikan tempat duduk saat kami memanjat. Ketika ia pulang ke rumah dengan membawa sepeda vespa untuk adikku dan semua kenangan lain yang telah menjadi sejarah dalam kehidupanku. Kau tak akan terganti.

Saat terakhir aku menjenguknya, ia mendo’akan;  

"Sing menangkeun jodo nu alus, ulah nu goreng, anu nyaah ka Seli”. Waktu itu meskipun berat meninggalkannya tapi aku harus ke Jakarta untuk mencari rezeki.

Ya Allah, terangilah dan lapangkanlah kuburnya.