Jumat, 04 Mei 2012

Pensil Mekanik Hati

Seringkali kita tak pernah bisa memprediksi dari awal kepada siapa kita akan jatuh cinta, itulah yang terjadi beberapa tahun silam ketika aku jatuh cinta padanya. Aku mengaguminya bukan karena pesona fisik, lebih kepada pesona non fisik. Pemikirannya yang bijak, itulah poin paling besar yang membuat aku menaruh rasa kagum padanya (kita sebut dia Hasan).

Rasa cinta itu sempat memudar ketika aku sibuk tenggelam dalam rasa kecewa pada seseorang yang selama tiga tahun lebih berbagi suka dan duka, namun kemudian meninggalkanku karena aku mulai berpaling pada Hasan. Ya, Hasan telah mengalihkan perhatianku.

Awal aku bertemu dengannya di sebuah lembaga pendidikan di kota Jakarta ini, dan sampai sekarang aku masih belajar di tempat itu, aku pun tidak pernah menyangka bahwa dalam perjalananku menuntut ilmu, ada sebentuk kekaguman yang hadir di hatiku pada Hasan dan berkembang jadi rasa cinta kemudian menganugerahkan kekuatan dan semangat dalam menjalani aktivitas keseharianku.
 
Cinta memang selalu menghadirkan berjuta rasa, mulai dari rasa bahagia, semangat, optimis, bahkan rasa kecewa yang terkadang menyeret kita untuk bertindak di luar akal sehat. Ya, banyak sekali orang yang karena putus cinta lantas bunuh diri. Salah satu efek positif yang ditimbulkan oleh cinta adalah ketika cinta menghadirkan kekuatan untuk terus melakukan metamorfosa ke arah yang lebih baik. Kalau kata salah seorang temanku, cinta itu kalma'i yajri fin nahri wayasri bainal mazari'i tsumma nasyarabu minhu fataqwa asjaduna bihi.

Ini hanya sepenggal kisah dari sekian banyak cerita yang terjadi dalam hidupku semenjak aku mencintainya; ketika kami bersama teman-teman yang lain pergi berwisata, dan kemudian pada kegiatan tersebut ada acara saling tukar kado yang di bungkus kertas koran. Saat itu aku membeli kado di Alfa Mart, pensil mekanik Faber Castell berwarna hijau yang harganya Rp. 10.500, bahkan aku harus sembunyi-sembunyi membungkus kado itu di tempat kami berkumpul sebelum kami berangkat menuju tempat wisata, aku bungkus kado itu berlapis-lapis dengan koran dan selotip, aku lupa membawa gunting tapi aku menyimpan cutter di tasku, seingatku tanganku sempat tergores cutter.

Acara tukar kado itu di kemas dalam bentuk kuis, Hasan sebagai moderator yang mengajukan pertanyaan, aku dan teman yang lain menjadi peserta yang harus menjawab setiap pertanyaannya, peserta yang bisa menjawab pertanyaan memiliki kesempatan untuk mengambil kado lebih dulu. Karena kadoku paling kecil, tidak ada yang antusias untuk memilihnya, ada sedikit rasa sedih saat itu. Ketika pertanyaan Hasan tidak terjawab oleh kami, salah satu dari teman kami menyuruh Hasan untuk memilih kado, akan tetapi Hasan berkata: nanti ana belakangan saja. Dan Allah menghiburku, setelah kado itu satu persatu di ambil, yang tersisa hanya kado dariku, secara otomatis kado itu menjadi milik Hasan, saat itu betapa senangnya hatiku.

Beberapa hari setelah pulang dari acara tersebut aku membeli pensil yang sama dengan warna yang berbeda, biru. Aku pernah melihat pensil hijau dariku terselip di saku baju Hasan, aku tersenyum dan dalam hati bergumam "Pensilnya di pakai". Seiring bergulirnya waktu, perasaanku pada Hasan mulai terkikis karena perhatianku mulai teralih pada orang lain. Namun aku masih menyimpan beberapa kata bijak yang ia  ucapakan, dan salah satu yang paling tersimpan dalam memori otakku ketika Hasan berkata "Allah sudah siapkan seseorang untuk anti".

Suatu ketika pensil milikku terjatuh, dan dengan kemurahan hatinya Hasan mengambilkannya untukku. Sampai saat ini pensil biru itu masih ada meskipun sempat hilang beberapa kali. Rasa cinta lebih sering membuat hari-hari kita terasa cerah karena telah menyisipkan kecerahan di hati. Dan untuk saat ini perasaanku pada Hasan mulai hadir kembali, tapi meskipun kuncup rasa itu tumbuh lagi dan mengembang, aku tetap membatasi tanganku untuk hanya mengaguminya tanpa berusaha untuk memetiknya. Terima kasih karena telah membuat hidupku semakin berwarna.