Ada pesan yang masuk di hapeku, sms dari sepupuku yang menyuruh aku untuk pulang ke Lampung pada hari pernikahan tanteku, tidak aku balas dan beberapa saat kemudian "Kriiing... Kriing..." suara hapeku, tidak aku angkat. Galau sedang melanda jiwa "Aku kecewa pada ayahku", aku buka media di hapeku dan aku pilih music, saat seperti ini sebaiknya aku mendengarkan ayat suci yang dilantunkan Musyari Rasyid, sampai di surat At-Takwir ayat 26, hatiku terusik ketika Allah bertanya "Fa aina tadzhabun?". Aku pertama kali mendapatkan penggalan ayat tersebut di buku "Memaknai Kematian" yang aku beli sekitar tahun 2008.
Kemudian aku search di google tentang penggalan ayat tersebut, kebetulan pekerjaan kantor tidak terlalu banyak, aku dihantarkan pada buku berjudul "Meraih Cinta Ilahi" dan ternyata pengarang buku tersebut sama. Di kata pengantar diceritakan tentang pengajian yang diadakan setiap hari ahad di Masjid Al-Munawwarah, pengajian tersebut di buka untuk umum dan murid SMA Plus Muthahhari setiap minggunya mendapat kewajiban untuk menghadiri acara itu secara bergiliran (aku jadi teringat masa-masa di SMA dulu).
"Hendak ke mana kalian pergi?" Sejenak merenungi perjalanan hidup yang telah aku lewati, tersadar setelah jauh melangkah. Wahai Tuhan seluruh alam semesta, betapa aku telah banyak menghabiskan waktuku dengan kesenangan dunia, padahal Engkaulah tempat kembali. Nabi Ibrahim berkata "Sesungguhnya aku pergi menghadap Tuhanku dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku" dalam surat Ash-Shaffat ayat 99. Ketika itu Nabi Ibrahim pergi ke suatu negeri untuk dapat menyembah Allah dan berdakwah. Seperti Nabi Ibrahim, seorang
mukmin adalah ia yang telah mengambil keputusan bahwa perjalanannya
adalah untuk menuju Tuhan.
Pertanyaan "Fa aina tadzhabun" juga dikenal dalam istilah Latin yang
menyebutnya, "Quo Vadis?" Istilah Latin itu ditujukkan
untuk orang yang menyimpang atau aneh, demikian pula
dalam Al-Quran. Allah bertanya kepada
orang-orang yang jalannya melenceng yaitu kepada kaum kafir karena mereka
mengingkari Al-Qur'an, padahal sudah diterangkan bahwa Al-Qur'an itu
benar-benar datang dari Allah dan di dalamnya berisi pelajaran dan
petunjuk yang memimpin manusia ke jalan yang lurus. Maka ke manakah kalian akan pergi?
Apa sebenarnya tujuan akhir dari perjalanan
hidup ini? Apakah itu berupa karir, kedudukan, kekayaan,
atau kemasyhuran. Al-Quran senantiasa mengingatkan kita
untuk mulai berangkat menuju Tuhan. Allah berfirman: Oleh karena itu, bersegeralah berlari kembali menuju
Allah. (QS. Al-Dzariyat : 50). Allah tidak hanya menyuruh
kita untuk berjalan, bahkan memerintahkan kita
berlari kepadaNya. Hidup terlalu singkat jika kita pergi menuju Tuhan dengan cara berjalan, kita harus
berlari sebelum waktu kita di dunia habis dan berakhir, sementara aku masih saja merangkak karena terlena dengan pesona dunia.
Nabi pernah bertanya kepada para
sahabatnya, "Bagaimana keadaan kalian, seandainya
di antara kalian suatu saat berada di padang pasir
membawa perbekalan dan unta, lalu kalian tertidur; dan ketika
bangun, kalian mendapati unta dan perbekalanmu hilang?" Para sahabat menjawab, "Tentu cemas sekali,
ya Rasulallah!" Rasulullah melanjutkan, "Di saat kalian
cemas, tiba-tiba kalian lihat unta itu kembali dari tempat jauh
dan menghampiri kalian dengan membawa seluruh perbekalanmu.
Apa perasaan kalian?" Para sahabat kembali
menjawab, "Tentu kami akan bahagia sekali." Nabi yang mulia
lalu berkata, "Allah akan lebih bahagia lagi melihat hambaNya
yang datang kepadaNya daripada kebahagiaan seseorang
yang kehilangan unta kemudian ia melihat untanya datang
kembali kepadanya."
Hadits riwayat Ahmad dan Al-Thabrani
berbunyi, "Barangsiapa yang mendekati Allah
sesiku, Dia akan mendekatinya sehasta. Barangsiapa
mendekati Allah sambil berjalan, Allah akan menyambutnya
sambil berlari." Balasan dari Allah selalu lebih hebat dari
apa yang kita lakukan.
Dalam surat Luqman ayat
15, Allah juga menyuruh kita untuk mengikuti jalan orang yang kembali kepadaNya, jadi alangkah baiknya jika kita selalu berkumpul dengan orang-orang yang senantiasa berada di jalan menuju Dia. Dan perjalanan menuju Tuhan harus dilakukan dengan menyucikan
diri dan membersihkan hati. Hati kita sering
terkotori dengan dosa yang kita lakukan, dosa-dosa itu menghijab
kita dari Tuhan. Mereka yang mampu berjumpa dengan
Tuhan adalah mereka yang membawa hati yang bersih; bukan
yang membawa harta dan anak-anaknya. Ya Allah, hamba adalah manusia yang bergelimang dosa, namun ingin kembali kepadaMu dalam keadaan fitri.
Dalam bahasa Arab, kata tazakka yang
berarti menyucikan diri, juga berarti "tumbuh".
Oleh karena itu, di dalam Islam, pertumbuhan seseorang diukur dari
tingkat kesucian dirinya. Semakin suci dan bersih seseorang,
semakin tinggi pulalah derajatnya. Psikologi Humanistik juga
mengenal hal ini, Abraham Maslow menyebut puncak pertumbuhan
manusia adalah pertumbuhan kepribadiannya, ia menyebutnya dengan aktualisasi diri atau self
actualization.
Barangsiapa
yang keluar dari rumahnya dengan maksud untuk berhijrah kepada Allah dan RasulNya, lalu kematian menjemputnya, maka sungguh
telah tetap pahalanya di sisi Allah... (QS. An-Nisa : 100).
Sebagian ulama menafsirkan kata "rumah"
dalam ayat itu sebagai diri, egoisme, atau keakuan kita. Kita selalu berpikir akan kepentingan
pribadi semata. Bila kita beribadah, itu pun dilakukan
dalam konteks kepentingan diri kita. Kita bersedekah untuk menolak
bencana demi keselamatan diri kita. Kita menunaikan
shalat agar terhindar dari neraka dan mengharapkan surga.
Kita sering beribadah dengan ibadah para pedagang, menjual ibadah kita untuk ditukar dengan pahala.
Hal ini berbeda dengan para ulama, mereka berupaya keluar dari "rumah" mereka untuk beribadah bukan karena mengharap pahala tetapi karena rasa
terima kasih kepadaNya. Mereka merasa berhutang budi
atas segala anugerah Allah, itulah ibadah
yang sesungguhnya. Hubungan mukmin dengan Tuhannya bukanlah
hubungan bisnis, melainkan hubungan cinta.
Al-Quran menyebut orang yang beribadah kepada Tuhan tanpa
meninggalkan dirinya karena terlalu cinta akan dirinya,
sebagai orang yang telah mengambil Tuhan selain Allah. Ia mencintai
dirinya lebih dari ia mencintai Tuhan.
Di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan
selain Allah. Mereka mencintainya sama seperti
mereka mencintai Allah. Sementara orang-orang yang
beriman sangat mencintai Allah. (QS. Al-Baqarah : 165).