Kamis, 04 Agustus 2011

Berarti Untuk Dirinya

"Assalâmu'alaikum" aku membuka percakapan di telepon.

"Wa'alaikum salâm geulis" suara yang mengangkat telepon.

Aku tertawa mendengar sambutan dari orang itu, seorang wanita yang selama ini membesarkanku tanpa didampingi suaminya. Malam itu aku memberi kabar padanya perihal kepulanganku besok, mengingat lusa adalah hari pertama di bulan Ramadhân.

Esok harinya aku tiba di Kota Bandung sekitar pukul sepuluh pagi, di sambut cuaca yang cerah ceria senada dengan warna hatiku, di rumah hanya ada adikku Enti, sepupuku Diah, dan dua orang tamu yang beberapa hari ini menginap di rumah, sedangkan ibuku masih di pasar.

Malamnya aku, sepupuku dan guru ngajiku Ibu Mimin melaksanakan shalat tarawih di Masjid Al-Anwar yang berbasis Muhammadiyah, sayang sekali tidak bersama ibuku karena beliau sibuk memasak, persiapan untuk sahur nanti.

Alhamdulillâh, aku lalui hari pertama sahur di rumah bersama keluarga, setelah shalat shubuh aku berangkat ke terminal Leuwi Panjang di antar kakakku Ega, aku harus ke Jakarta karena meskipun hari pertama puasa kantorku tidak libur.

Ini adalah tahun ke empat aku berpuasa di Kota Jakarta, tempat aku mencari rezeki dan menuntut ilmu, seandainya aku bisa menghabiskan bulan Ramadhân ini bersama ibu. Jarak yang memisahkan aku dan ibu begitu terasa jika aku merindukannya, lagu Opick feat Amanda menemani pagiku hari ini;

Satu Rindu

Hujan kau ingatkan aku
Tentang satu rindu
Di masa yang lalu saat mimpi
Masih indah bersamamu

Terbayang satu wajah
Penuh cinta penuh kasih
Terbayang satu wajah
Penuh dengan kehangatan
Kau ibu... Oh Ibu...

Allâh Ijinkanlah aku
Bahagiakan dia
Meski dia telah jauh
Biarkanlah aku
Berarti untuk dirinya
Oh Ibu...

"Ratu Jiwaku" teringat salah satu judul puisiku yang dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat ketika aku masih duduk di bangku SMA.

                                                                                     ***

Sore ini sepulang dari kantor aku menyempatkan diri ke Toko Buku Sagung Seto untuk mencari poster organ tubuh (tugas bahasa arab dari Ustadz Ahmad), sebelum ke toko buku aku mampir dahulu ke kantor lamaku, salah satu dari temanku bertanya;

"Mana undangannya?" kata Mas Kiki.

"Ih, cariin dulu atuh" jawabku.

Di susul salah satu temanku yang lain;

"Gimana kabarnya dia?" Mas Janex menanyakan salah satu teman kami kepadaku.

"Loh, kok dia segh?" kataku spontan.

"Kan gosipnya terakhir sama dia" jawabnya.

"Oh, iya degh" ada yang terlintas di benakku.

                                                                             ***

Ternyata di toko buku tersebut aku tidak menemukan poster yang aku harapkan, hanya poster organ tubuh per kasus dan harganyapun sangat mahal. Aku pulang dengan tangan kosong, di tengah perjalanan aku berinisiatif untuk ke mini market mengingat sabun cuciku sudah habis, aku mampir dulu di warung sunda membeli makanan untuk sahur nanti, penjualnya seorang janda beranak dua yang di tinggal wafat suaminya.

Kisah hidup penjual nasi itu semakin memupuk kerinduanku pada ibu, seorang wanita yang mencari rezeki dengan membuka warung nasi di rumah kakekku, semua itu ia lakukan untuk membesarkan keempat anaknya, ia pernah bercerita padaku; Bahwa kepedihan hidup yang ia jalani karena ditinggalkan suaminya, terhapus seketika saat ia menginjakkan kaki di Tanah Suci Makkah, Subhanallâh.

Allâh aku mohon dengan sangat bahagiakan dia.

"Rabbighfirlii waliwaalidayya warhamhumaa kamaa rabbayaani saghiiraa"

Kabulkanlah Wahai Sang Penjawab Permintaan.