Senin, 22 Agustus 2011

Senyum Dalam Tangis

Kesedihan kerap merangkul saat terjebak dalam problematika, realita kehidupan yang pahit, nafas-nafas tersengal gontai sesak terasa di rongga dada, memacu mata tuk menumpahkan bulir air, rasa yang selalu membawa pilu hingga menjadi serpihan, hati pun terkoyak karena kegetirannya, perih... Sayatan luka yang teramat dalam.

Namun selalu ada hikmah, pahitnya kehidupan menghadiahkan bunga-bunga kedewasaan dan kebijaksanaan "Jika Allah menghendaki kebaikan bagi hambaNya, maka Dia mengujinya".

Ini hanya temporary! Akan menjadi masa lalu dan tak perlu larut dalam ratapan, ada pelangi setelah hujan, ada sinar mentari setelah gelap malam dan ada senyum dalam tangis "Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan"

22 Ramadhan 14:00

Perasaan sedih menghampiri setelah menutup telepon tadi siang, segera saja aku berjalan menuju BCA untuk menunaikan permohonan orang yang tadi meneleponku, selalu dan selalu seperti ini.

Aku menaiki anak tangga penyeberangan, hatiku mulai menjerit seolah letih dengan semua ini. Aku berusaha menahan gejolak rasa yang sudah berkumpul di ujung tenggorokanku "Ya Allah, aku lelah". Mencoba menahan tetesan air dari mataku namun tak mampu, ingin rasanya tersungkur dalam sujud.

Rasa sedih ini akumulasi dari dilematika yang terjadi dalam hidupku beberapa hari ini, masalah klise yang entah kapan akan berakhir. Tapi aku yakin "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya".

"Rabbanaa wa laa tuhammilnaa maa laa thaaqatalanaa bih"

                                                                               ***

Sore ini sepulang kerja aku berangkat ke Bekasi mengantarkan baju untuk ponakannku, katanya hadiah ultah pada tanggal 16 Agustus kemarin sekaligus THR. Tiba di Bulak Kapal sekitar pukul lima, di depan Taman Makam Pahlawan aku menunggu di jemput oleh kakakku, menunggu memang pekerjaan yang membosankan tapi justeru bisa menjadi tolok ukur untuk menguji kesabaran.

Alhamdulillah! Beberapa orang yang mengendarai motor mulai menepi untuk berbuka puasa, dan aku masih berusaha bersabar menunggu kedatangan kakakku. Dari jauh aku lihat sosok wanita tua renta dengan langkah yang terhuyung, membawa sekantong keresek yang entah apa isinya dan sebotol air mineral.

Nenek itu menyapa sepasang suami istri yang sedang berbuka puasa, terlihat si suami memberikan lontong (indahnya berbagi), lontong itu jatuh sebelum sampai di tangan nenek itu, namun wanita tua itu memungutnya. Kemudian dia berjalan kembali, jaraknya semakin mendekatiku. Aku rogoh uang lima ribu rupiah dari tas cokelatku (tas hadiah ultah dari Leli), aku berikan uang itu padanya berharap akan bermanfaat. Dia mengatakan sesuatu yang aku tidak mengerti.

Aku bertanya padanya "Mau kemana Nek?"

Lagi-lagi dia mengatakan sesuatu dengan bahasa yang tidak aku mengerti.

"Gak tau Nek" kataku sambil mengelengkan kepala, aku sama sekali tidak tahu apakah itu pernyataan atau pertanyaan, jika petanyaan "Ya Allah, aku tidak bisa menjawab pertanyaannya".

Wanita tua lusuh dan kumal yang sekilas seperti orang gila itu berlalu, mataku masih tertuju padanya sampai dia hilang diantara hiruk pikuk orang yang lalu lalang. Mungkin perihnya kehidupan yang aku alami masih lebih ringan di banding wanita tua itu, mataku berkaca-kaca sesaat kemudian aku pun tersenyum.