Kamis, 28 Agustus 2014

Apa Kabar Mentari?

"Apa kabar Mentari? Aku menatapmu di setiap gerik mata." sapa Sang Dewi di sudut pagi berselimut embun.

Ada rasa yang membumbung di relung hati ketika Sang Dewi menikmati hangatnya sentuhan Sang Mentari, berkas-berkas sinarnya yang mengintip malu-malu dari balik dedaunan rimbun menjalar ke seluruh raga Sang Dewi.

"Aku selalu merindukanmu, mengatup sepi bersama lirih senandung pagi hanya untuk melihatmu"

"Aku memugar rasa di musim semi bersama bulir embun menyemai hijau daun"

Angin semilir diantara bias cahaya Mentari, hingga meliuk lembut helai demi helai hati Sang Dewi. Senyumnya melengkung bak bulan sabit.

"Ada rindu yang tertepi di sini"
 
Ini tentang cerita di musim semi, kala rasa memugar di awal hari. Detik demi detik menghimpun mimpi melecut harap di reranting hati yang lirih.
 
Pada warna pagi yang tak lagi kelam, karena Mentari lembut menerpa ujung dedaunan. Dalam damai Dewi mengulum senyuman, sebab semalam risau telah tertanggal bersama sang fajar di timur asa merekah.

"Aku ingin selalu menyemai  di atas jejak tentang cinta sederhana milik kita, berhulu dan bermuara, mengalirkan daya pada jarak yang hendak tertempuh, berharap waktu tak membuat debu, dan kita setia merawat janji dan rindu"

Kamis, 30 Januari 2014

Sehangat Senyum Mentari

Kemilau mentari merekah dengan sinar yang cerah, wangi mawar lenyapkan resah merebak dari kelopak merah "Ku pinang kau dengan Bismillah" ucap Sang Mentari.

Sang Dewi bersenda sunyi di langit pagi melebur badai di lumbung hati. Kuncup bunga mawar bermekaran menghiasi hati.  Ia mengulum senyum ceriakan hari, merah merona di paras berseri.

11 Januari, hari itu memudarkan rahasia-rahasia di tempayan kalbu Sang Dewi. "Kau dan aku hanyalah selembar cerita, kau yang merangkai bait demi baitnya, lalu kusam jemariku menarik pena aksara pula tanda baca."

"Mungkin terlalu sederhana aku mencintaimu, namun aku berharap senyum Mentari tak pernah mengkerut dan kidung peri cahaya tak menjadi petikkan sumbang kecapi suri." Ucap Sang Dewi

Aku berharap kita duduk berdua di atas dipan-dipan suka, duka menghitung canda perkutut dan sendu keledai. Mengetuk waktu, mengurai benang-benang kusut sembari menunggu kau atau diriku yang terlebih dulu menaiki kereta hijau bisu.

Selasa, 08 Oktober 2013

Mentari Bulan Oktober

"Kerlingan matamu dan sentuhan hangat" Mentari pagi menyapa Sang Dewi.

"Berbahagialah bagi orang yang cerdas dalam memanfaatkan sisa umurnya hanya untuk mendapatkan cinta dari yang menciptakan cinta dan tidak pernah putus asa dalam setiap hidupnya." ucap Mentari pada Sang Dewi.

Minggu, 22 September 2013

Hangat Mentari Pagi

Aku menikmati tetes embun pagi, sebuah kesejukkan yang didapat dari bulir-bulir air di atas pucuk dedaunan yang mengawali pagi dengan nafas kehidupan. "Terjatuh aku dalam keindahan penantian".

Suara riuh gemericik mengajarkan pada rasa syukur setiap harinya ketika mata tak lagi terpejam karena lelap. "Ingatkah engkau kepada embun pagi bersahaja yang menemanimu sebelum cahaya?"

Pagi ini mentari besinar rekah, memanjakan mata oleh pernik keemasannya. Mestinya kau bersamaku melakukan ziarah hatiku, menapaki bukit matahari menelusuri rimba gelisahku. Tapi kau tak menyapa pagi ini, tak seperti hangat mentari pagi.

"Terucap keraguan hati yang bimbang yang terhalang kepastian cinta."

Ada saatnya aku diam dan menyentuh sepi karena tarian riuh kata tak memberiku ruang untuk sekedar bernyanyi dan biarkan suara hati menggelagayut kembali jemari tangan.

"Dengarkanlah permintaan hati yang teraniaya sunyi." 
 
Aku ambil kayuh dan mendayung pagi jelajahi samudera hari dan biarkan bulir keringat membasahi. Sejenak melepaskan senyum di pipi sambut mentari yang tiada berhenti berbagi cahaya warna warni karena mendung dan gemuruh yang telah berlalu.  

Aku telah menyimpan rapat kenangan kusam sepeninggal malam, kini pagi melagukan rindu begitu dalam dan menampilkan segala riuh tentang jejak langkah yang terus menjauh. Kenangan membahasakan dirinya dalam luruh dedaunan.
 
Ada saatnya aku pergi dan tak harus memberi kabar karena kereta pagi tak pernah bergeser waktu keberangkatannya menuju matahari. 

Minggu, 11 Agustus 2013

Sajak Untuk Mentari

"Kepadamu pemilik hati yang sempat termiliki, yang hadir sebagai bagian rangkaian takdir, aku menulis ini untukmu"

Dewi ingin menghapus sajak yang selalu ia tulis untuk Mentari. Bukan hanya sebait tapi seluruh, demi hatinya yang kian merapuh.

"Ya Tuhanku, tuangkanlah kesabaran atas diriku, kokohkanlah langkahku"

Luruh kembali airmatanya yang ia janji tak ingin menjatuhkannya lagi. Bukan hanya setitik rintik tapi menggerimis.

"Kau ingat aku pernah tumbuhkan perdu rindu, pada titian jembatan antara jurang, pada bebukit yang meninggi julang, hanya biar aku tahu ada jalan menujumu" tulis Sang Dewi. 

Andai Dewi mampu menumpahkan seluruh airmatanya lalu ia reguk hingga mabuk agar dahaga kerinduan itu terpuaskan.

Tapi kemarau panjang itu gersang, membunuh padang-padang ilalang, dan kerinduan itu mati ditelan musim berganti, terbakar Mentari yang terlampau terik.

***
Seharusnya aku tak menulis apa pun lagi untukmu.  Karena tiada kata yang sanggup melukiskan nganga luka.

Mentari Menorehkan Luka

Dalam kesendirian dan terik padang perjalanannya, cinta telah memberikan pelajaran berharga bagi jiwa Sang Dewi untuk bercermin.

"Aku tengah belajar cara lain memahami cinta. Terkadang aku tak mampu berbuat apa-apa atas hatiku." Dewi mulai membaca isi hatinya perlahan-lahan.

"Allah, ampunilah kebodohanku. Aku hanyalah orang yang tengah belajar menjadi pemimpin untuk diriku sendiri.

Pikiran adalah hal paling fana yang Dewi ketahui. Ia seperti membangun sarang dari angin dan hidup di pusaranya yang tak pernah henti mengajarkan kekecewaan.

"Ya Allah, ampunilah kepicikan hatiku yang tak mampu melihat rahasia-Mu." Tapi, siapa bisa mengira besar gelombang di bawah laut? Dewi mulai kecewa pada retorika Mentari yang menghantamnya dalam beku.

Danau di kelopak mata Dewi mulai terlihat, ia beberapa kali menghela napas dengan susah-payah, lantas menyerah pada air mata yang tak kunjung kering. Ia menelungkupkan punggungnya memeluk meja dan tersedu-sedu.

Dewi berharap Mentari merengkuh pundaknya yang laksana kepundan gunung tengah bergolak-golak. Tapi Mentari berlalu tanpa mengucapkan sepatah kata.

Dewi hanya seorang manusia lagi tengah berusaha membagun keyakinan pada Mentari. Hatinya begitu ringkih, Mentari yang selama ini menyinarinya, menorehkan luka yang begitu dalam. Luka itu begitu terpeta di jiwanya.

"Anggaplah kesalahan itu sesuatu yang wajar melekat pada manusia." Dewi berusaha berdamai dengan hatinya.

Ia tak kuasa untuk tidak menangis. Kelopak itu menjelma sumber air yang terus memuntahkan isinya hingga kuyup seluruh pipi yang kian tirus itu.

Kamis, 18 Juli 2013

Padang Kerinduan Mentari

Dewi tersesat di padang kerinduan pada Mentari yang selama ini senantiasa membalut hatinya dengan kehangatan cahaya.  

"Aku telah lama mencintainya, aku tidak tahu apa yang terjadi padaku ketika aku melihat matanya" Dewi menunduk ketika matanya beradu pandang dengan Mentari.

Embun berbaris di lembaran daun yang masih berpelukan menanti Mentari menyeruput setiap butirannya. Mentari memberai kabut yang kerap mendaki di wajah sendu. 

"Begitu banyak rerupa keindahan di tiap lekuk lakumu. Warna langitmu jernih serupa laut menampung seribu biru."

Dewi mereguk sejuk di tiap teduh Mentari, dan yang ia tahu, ia selalu memucuk rindu di sebalik dendang Mentari yang mengalun menyalin rindu bersama lagu di kalbu. Ia mencoba melukis pelangi bersama jemarinya.

Bila waktu tiba, ia menunggu jeda menatap ilalang yang meliuk di setiap bayu menyapa, kerling hatinya hanya tertuju pada alamat Mentari, membenam senyap dalam senandung yang pernah Mentari kirimkan.

Dewi mengulum senyuman kala Mentari alirkan sinar ke hulunya, serupa pelangi yang senantiasa ia nanti di senja yang jingga. "Kau indah... Dan terindah di setiap rasa." 

"Kini aku tegak di sini menantimu dalam cinta yang kita punya. Sebab dari sini, mimpiku menjadi daya, jemariku terus menari di lembar-lembar cinta sederhana yang kau bingkiskan."

"Jiwaku segar tanpa gulana meski tanya kerap melebur di udara, aku kian mengenali waktu tak ingin tersudut pada jarak tertempuh, bersamamu menghapus jejak lalu yang kerap mengirim luka tanpa aku harap."