Dewi
ingin menghapus sajak yang selalu ia tulis untuk Mentari. Bukan hanya sebait
tapi seluruh, demi hatinya yang kian merapuh.
"Ya Tuhanku, tuangkanlah kesabaran atas diriku, kokohkanlah langkahku"
Luruh kembali airmatanya yang ia janji tak
ingin menjatuhkannya lagi. Bukan hanya setitik rintik tapi menggerimis.
"Kau ingat aku pernah tumbuhkan perdu rindu, pada titian jembatan antara jurang, pada bebukit yang meninggi julang, hanya biar aku tahu ada jalan menujumu" tulis Sang Dewi.
"Kau ingat aku pernah tumbuhkan perdu rindu, pada titian jembatan antara jurang, pada bebukit yang meninggi julang, hanya biar aku tahu ada jalan menujumu" tulis Sang Dewi.
Andai
Dewi mampu menumpahkan seluruh airmatanya lalu ia reguk hingga mabuk agar
dahaga kerinduan itu terpuaskan.
Tapi kemarau panjang itu gersang, membunuh padang-padang ilalang, dan kerinduan itu mati ditelan musim berganti, terbakar Mentari yang terlampau terik.
Tapi kemarau panjang itu gersang, membunuh padang-padang ilalang, dan kerinduan itu mati ditelan musim berganti, terbakar Mentari yang terlampau terik.
Seharusnya aku tak menulis apa pun lagi untukmu. Karena tiada kata yang
sanggup melukiskan nganga luka.